"Salah satu contoh sistem pengairan terbaik dapat disaksikan pada masa keemasan Islam, yakni pemerintahan Abbasiyah. Negara membuat aliran air dari Sungai Tigris dan Efrat. Khalifah melibatkan para teknisi muslim dengan membangun dan menyempurnakan kincir air dengan saluran air bawah tanah yang disebut Qanats."
Oleh. Sartinah
(Tim Penulis Inti NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Malaysia tengah diguncang kepanikan karena ancaman krisis air bersih. Ancaman mengeringnya sumber air nasional mereka menyebabkan fenomena panic buying (pembelian secara berlebihan terhadap sesuatu), khususnya di negara bagian Penang dan Kedah. Masyarakat berbondong-bondong memborong air minum kemasan di supermarket karena khawatir kekurangan pasokan air. Bahkan, saat ini rak-rak supermarket yang biasanya dipenuhi botol mineral telah ludes diserbu warga.
Sebagaimana diberitakan Liputan6.com (20/05/2023), beberapa video yang viral di media sosial menunjukkan masyarakat setempat berdesak-desakan saat membeli air minum kemasan. Akibat ancaman krisis air tersebut, sekitar 1 juta orang ikut terdampak. Meski kurang dari sehari pasokan air sudah kembali normal, tetapi banyak pedagang memutuskan menutup tempat bisnis mereka karena tidak dapat menyiapkan bahan makanan tanpa air pada hari sebelumnya.
Jika melihat fenomena berulang di banyak negara termasuk Malaysia, apa sebenarnya yang menyebabkan kekeringan hingga mengakibatkan panic buying? Apakah panic buying dan anjuran hemat air akan menjadi solusi keluar dari krisis air? Lantas bagaimana mewujudkan sistem distribusi air yang adil agar fenomena krisis air tidak terus berulang?
Penyebab Kekeringan
Ancaman kekeringan dan krisis air yang melanda negara bagian Penang dan Kedah disebut terjadi karena terbukanya gerbang bendungan selama akhir pekan kemarin. Menteri Besar Kedah Datuk Seri Muhammad Sanusi Md Nor menyebut, sensor otomatis yang terpasang di salah satu gerbang tidak berfungsi, sehingga mengakibatkan gerbang terbuka dengan sendirinya. Akibatnya, air sungai dalam jumlah besar yang sudah tertampung dalam bendungan mengalir ke laut tanpa terkendali, hingga berakibat menyusutnya pasokan air di Sungai Muda. (Kompas.com, 22/05/2023)
Untuk diketahui, Sungai Muda merupakan sungai terpanjang yang terletak di sebelah utara Malaysia. Sungai ini memiliki panjang 178 km yang melewati daerah Baling, Kulim, Sik, Kuala Muda, Kedah, Seberang Perai Utara, termasuk Penang, sebelum akhirnya bermuara di Selat Malaka. Sungai Muda sendiri merupakan tempat bergantung jutaan orang, karena menjadi pemasok baku bagi banyak perusahaan penyedia air bersih.
Penyusutan air di Sungai Muda telah mengakibatkan menurunnya ketinggian permukaan air di banyak waduk yang menjadi penyuplai air baku. Misalnya saja Bendungan Teluk Bahang hanya terisi 46,2 persen, Bendungan Ayer Itam 39,8 persen, bahkan untuk Bendungan Mengkuang yang kapasitasnya lebih besar hanya terisi 88,22 persen. Padahal bendungan ini biasanya terisi lebih dari 90 persen.
Melihat fakta tersebut, Menteri Utama Penang Chow Kon Yeow, menyerukan agar warga Penang menghemat air. Sebab, pasokan air yang berada di Bendungan Ayer Itam sendiri hanya mampu memenuhi kebutuhan penduduk setempat selama 120 hari ke depan. Bahkan, Presiden Penang Water Watch Chan Ngai Weng, menyebut bahwa menurunnya debit air menjadi peringatan bagi warga Penang. Chan pun menyebut, untuk mengendalikan pemborosan, maka tarif air harus dinaikkan.
Bukan Solusi
Sejatinya fenomena panic buying ketika menghadapi ancaman krisis, bukanlah solusi untuk menyelesaikan kekeringan. Panic buying yang dilakukan warga Penang dan Kedah, justru berpotensi membuat naiknya harga barang khususnya air mineral. Bahkan, pembelian berlebihan akan menyebabkan kelangkaan dan menghilangkan kesempatan bagi pihak lain untuk memperolah barang yang dibutuhkannya.
Demikian pula dengan anjuran untuk menghemat air. Adanya alarm kekeringan dan imbauan negara agar penduduk Penang dan Kedah menghemat air justru menimbulkan kepanikan luar biasa di tengah masyarakat. Karena tidak memiliki solusi, maka panic buying seolah menjadi satu-satunya pilihan. Seharusnya pemerintah menyiapkan strategi sejak awal untuk mencegah terjadinya krisis air jika terjadi kekeringan, atau setidaknya meminimalisasi dampak krisis.
Salah Tata Kelola
Jika melihat permasalahan yang terjadi di Malaysia, setidaknya ada tiga hal yang menyebabkan terjadinya krisis air:
Pertama, berkurangnya curah hujan.
Kedua, berkurangnya kapasitas bendungan yang mengakibatkan terhentinya layanan air bersih selama sehari.
Ketiga, terganggunya distribusi air pada Sungai Muda yang mengakibatkan berkurangnya kapasitas bendungan di bawahnya.
Ini artinya ada perpaduan permasalahan antara faktor alam, ketersediaan teknologi, dan abainya tanggung jawab negara.
Pertama, terkait faktor alam.
Datangnya musim kemarau maupun musim penghujan adalah fenomena alami yang lazim terjadi di setiap negara. Namun, di negara-negara yang menganut ekonomi kapitalisme liberal, faktor hujan dan kemarau justru bisa menjadi petaka. Hal ini terjadi karena sistem ini mengizinkan aktivitas deforestasi, eksploitasi mata air oleh para kapital, pencemaran sungai, serta liberalisasi air bersih perpipaan.
Akibat dari kebijakan merusak tersebut, hutan pun mengalami penyusutan yang mengakibatkan berkurangnya daerah resapan air. Maka tak heran jika musim hujan mengakibatkan banjir, sedangkan saat musim kemarau datang, kekeringan melanda di mana-mana.
Kedua, ketersediaan teknologi.
Sebagaimana diuraikan sebelumnya, menyusutnya volume air di beberapa bendungan di Penang terjadi akibat kerusakan sensor otomatis di salah satu bendungan. Fakta ini sungguh miris. Bukankah malaysia dikenal sebagai negara segudang prestasi dan keunggulannya di bidang ekonomi, politik, sosial budaya, dan pertahanan? Namun, mengapa tak mampu menyediakan teknologi yang lebih canggih untuk mengamankan sumber air rakyatnya?
Bahkan, untuk sekadar peringatan umum ke setiap otoritas di Penang dan Kedah pun tidak ada. Akibatnya, distribusi air menjadi terhambat dan berdampak pada terganggunya aktivitas kehidupan rakyat. Tak heran jika banyak pihak menuding pemerintah Penang dan Penang Supply Corporation bersalah atas kejadian tersebut karena dianggap tidak memiliki perencanaan.
Ketiga, faktor kelalaian negara.
Sejatinya negara adalah penanggung jawab seluruh urusan rakyat. Namun, penerapan sistem kapitalisme telah mengaborsi peran negara sedemikian rupa hingga hanya sebatas regulator dan fasilitator semata. Alih-alih bertanggung jawab terhadap urusan rakyat, negara justru menyerahkan pengelolaan hajat hidup rakyat kepada pihak swasta. Padahal, konsekuensi pengelolaan air oleh perusahaan-perusahaan penyedia air bersih adalah rakyat harus membayar apabila ingin memperoleh air bersih.
Fakta tersebut menjadi bukti bahwa kapitalisme telah gagal mewujudkan kesejahteraan warganya termasuk dalam hal distribusi air. Sistem ini menjadikan sumber air yang notabene merupakan sumber daya alam milik umum menjadi legal diprivatisasi oleh para korporat.
Sistem Irigasi Antikrisis
Kekacauan tata kelola distribusi air dalam sistem kapitalisme hanya mampu diselesaikan dengan sistem Islam. Sebab, Islam adalah agama yang tidak hanya mengurusi masalah akidah semata, tetapi sangat paripurna dalam mengatur seluruh urusan termasuk menjamin pemerataan distribusi air. Di mana, air merupakan nikmat Allah Swt. yang luar biasa dan menjadi sumber kehidupan bagi seluruh makhluk.
Demi mewujudkan kemaslahatan seluruh rakyat, Khilafah akan membangun sistem irigasi yang baik. Sistem irigasi yang baik dapat dilihat dari pemerataan distribusi air kepada seluruh rakyat. Untuk mewujudkan hal tersebut, Khilafah menerapkan beberapa langkah, antara lain:
Pertama, secara umum hutan memiliki fungsi ekologi dan hidrologi yang dibutuhkan oleh jutaan manusia di dunia. Demikian juga dengan sumber-sumber air yang memiliki pengaruh luas terhadap kehidupan masyarakat. Karena itu terhadap hutan, sumber-sumber mata air, lautan, sungai, dan danau, telah melekat karakter sebagai harta milik umum. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam hadis riwayat Abu Dawud dan Ahmad yang artinya,
"Kaum muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air, dan api."
Dengan statusnya sebagai harta milik umum, maka hutan, sumber-sumber mata air, sungai, danau, dan laut tidak dibolehkan untuk dimiliki oleh individu. Meski demikian, setiap individu memiliki hak yang sama dalam memanfaatkan harta-harta tersebut.
Kedua, negara wajib hadir secara benar dalam mengurusi kebutuhan rakyatnya. Karena itu, negara tidak berhak memberikan hak konsesi (pemanfaatan secara istimewa khusus) atas hutan, sumber-sumber air, sungai, laut, dan danau kepada pihak lain. Sebab, Islam tidak mengenal konsep hak konsesi semacam ini. Ini artinya hanya negara yang diberikan amanah oleh Allah Swt. untuk bertanggung jawab langsung terhadap pengelolaan harta milik umum. Amanah tersebut sebagaimana tertuang dalam hadis riwayat Muslim,
"Imam adalah ibarat penggembala dan hanya dialah yang bertanggung jawab terhadap gembalaannya (rakyatnya)."
Ketiga, negara berkewajiban membangun industri air bersih perpipaan sebaik mungkin, sehingga dapat memenuhi kebutuhan air bersih setiap individu masyarakat tanpa terkecuali. Sedangkan status kepemilikan industri tersebut adalah milik umum atau milik negara yang dikelola untuk mewujudkan kemaslahatan Islam dan kaum muslim.
Keempat, untuk mewujudkan hal tersebut negara harus memanfaatkan kemajuan sains dan teknologi. Di samping itu, negara juga memberdayakan para pakar yang berhubungan dengan hal tersebut seperti pakar ekologi, hidrologi, teknik industri, teknik kimia, serta ahli kesehatan lingkungan. Dengan menerapkan seluruh prinsip tersebut, maka jaminan akses air bersih gratis atau murah terhadap setiap orang dapat terjadi kapan pun dan di mana pun.
Salah satu contoh sistem pengairan terbaik dapat disaksikan pada masa keemasan Islam. Saat itu, kota-kota dalam negara Khilafah memiliki irigasi air yang sangat baik. Misalnya saja pada pemerintahan Abbasiyah. Untuk memenuhi kebutuhan air rakyatnya, negara membuat aliran air dari Sungai Tigris dan Efrat. Dalam pembangunannya, khalifah melibatkan para teknisi muslim dengan membangun dan menyempurnakan kincir air dengan saluran air bawah tanah yang disebut Qanats.
Qanats sendiri merupakan sebuah terowongan yang menghubungkan akuifer (seperti lapisan batu, pasir atau tanah yang mengandung sumber air) menuju ke tempat-tempat yang membutuhkan air. Qanats disebut bisa mengambil air yang berada pada kedalaman 50 kaki di bawah tanah. Teknik ini (Qanats) sendiri dirancang oleh seorang matematikawan muslim Persia abad ke-10 bernama Abu Bakar bin Muhammad bin Al Husain al-Karaji atau di Barat dikenal dengan sebutan al-Karkhi (953-1029).
Qanats disebut menjadi salah satu metode yang paling efektif untuk menyediakan air. Teknik ini pun sudah secara luas diterapkan di dunia muslim, khususnya pada masa Khilafah Umayyah dan Abbasiyah. Teknik ini pun tetap mampu menyediakan pasokan air meski saat musim kemarau tiba. Dengan demikian, negara dapat mendistribusikan air secara adil dan merata demi mewujudkan kesejahteraan warganya.
Khatimah
Karut-marutnya pengelolaan sistem irigasi abad modern yang dipimpin oleh kapitalisme telah membuat jutaan bahkan miliaran penduduk dunia mengalami krisis air. Bahkan, krisis ini akan terus berulang sepanjang waktu karena sudut pandang materialistis yang melekat dalam pengurusan rakyat. Hanya dengan kembali pada Islam dan menerapkan seluruh aturannya, masyarakat dunia baru bisa merasakan keadilan dan kesejahteraan, termasuk dalam pemerataan distribusi air.
Wallahu a'lam bishawab.[]