Takut Menikah, Salahkah?

"Pun tatkala rumput tetangga terlihat lebih hijau, ia memiliki pasangan yang baik, ekonomi yang baik atau keluarga yang baik, pasti di dalamnya memiliki ujian yang tak dapat kita lihat."

Oleh. Nurjanah Triani
(Kontributir NarasiPost.Com)

NarasiPost.Com-Akhir-akhir ini pemberitaan tentang pernikahan membuncah ke permukaan. Ada kabar undangan, ada kabar perceraian. Ada kabar kehamilan, ada kabar perselingkuhan. Fenomena antrean pengajuan perceraian pun tak kalah mencuri perhatian. Kabar kebahagiaan yang silih berganti dengan kabar kehancuran. Dari berita yang bermunculan, ribuan komentar para pembaca menuliskan "Sepertinya pilihan untuk tidak menikah adalah hal yang tepat".

Kekhawatiran tentang pernikahan marak terjadi hari ini. Hal ini terjadi karena banyaknya pemberitaan yang menjadi momok menakutkan bagi pemuda yang ingin menuju pernikahan. Kekerasan yang begitu sering diberitakan, perselingkuhan yang menggemparkan, lalu perceraian yang banyak dijadikan pilihan. Tak sampai di sana saja, couple goals yang mereka jadikan rules model dalam relationship, yang terlihat tenang nan mesra di sosial media, ternyata memilih mengakhiri pernikahannya. Bak pisau bermata dua, seperti apakah rasa menikah itu nyatanya? Mana yang harus dipercaya, mereka yang terlihat mesra, atau mereka yang saling menggugat antara keduanya?

Adalah wajar, kala banyak pemuda yang merasa memilih tidak menikah adalah pilihan tepat. Trust issue terhadap pernikahan memang pekat. Sekalipun, ketika melihat pasangan yang terlihat serasi di sosial media, jadi skeptis hanya pura-pura saja. Perasaan khawatir yang mendominasi, hingga ketakutan yang tak terkendali. Itu semua terjadi pada pemuda kini.

Salahnya di Mana?

Lantas, jika benar pernikahan adalah pintu keberkahan, mengapa banyak perceraian? Jika benar pernikahan adalah pintu ketenangan, mengapa masalah demi masalah berakhir peperangan? Jika benar pernikahan adalah rahmat, mengapa diwarnai dengan amarah? Salahnya di mana? Mungkin itu adalah pertanyaan para pemuda dalam benak mereka. Mengapa pernikahan bak langit dan bumi antara tujuan dan kenyataannya.

Pernikahan adalah ibadah terlama bagi seorang hamba. Layaknya suatu ibadah, tak mungkin tak ada ujian di dalamnya. Bentuk ujiannya pun berbagai rupa, entah harta, keluarga, anak, hingga sanak saudara. Tak ada pernikahan yang terbebas dari ujian. Jika suami baik, mungkin ujian ada di istri. Jika istri baik, mungkin ujian ada di suami. Jika keduanya baik, mungkin ujian ada di anak. Jika anak baik, mungkin ujian ada di orang tua. Jika orang tua pun baik, mungkin ujian lewat harta. Jika semua sudah baik, mungkin ujian hadir lewat tetangga.

Fokus utama seorang hamba bukanlah pada permasalahan ujiannya, namun fokus pada tujuan awalnya. Mengingat kembali tujuan awal dalam membangun rumah tangga, dengan selalu memperbaiki diri agar selalu siap menghadapi apa pun yang ada di depan sana. Sebab bagi orang beriman, hidup memang untuk diuji.

Hal yang perlu kita tanamkan adalah tak ada ujian yang diberikan melebihi batas kemampuan. Atas apa yang Allah berikan, Allah tahu kita mampu menjalaninya. Pun tatkala rumput tetangga terlihat lebih hijau, ia memiliki pasangan yang baik, ekonomi yang baik atau keluarga yang baik, pasti di dalamnya memiliki ujian yang tak dapat kita lihat.

Salahnya di mana? Mengapa kebahagiaan diiringi dengan ujian? Tak ada yang benar-benar salah. Sebab semua hal berkesinambungan. Entah dari ekspektasi yang terlalu tinggi, atau dari diri yang belum bisa mengimbangi.

Ini bukan pernikahan Cinderella. Kekecewaan seseorang terhadap pernikahannya bisa juga dikarenakan ekspektasi yang terlalu tinggi. Bak film Cinderella yang mengatakan setelah menikah akan bahagia selamanya, nyatanya pernikahan dunia nyata tak begitu adanya. Sebab pernikahan ini terjadi di dunia, masih dalam fase kehidupan kita. Yang artinya, selama kita hidup, ujian masih silih berganti menghinggapi. Tak seperti film Cinderella yang setelah menikah tak ada lanjutan kisahnya.

Menghadapi Ujian Pernikahan

Ibadah salat yang hanya 5 menit saja terkadang kita bisa ragu rakaatnya, apalagi sebuah pernikahan yang dijalani selamanya setelah akad nikah. Ibarat yang sebentar saja ada godaannya, apalagi ibadah terlama. Sudah sering kita dengar bahwa setan yang berhasil diberi apresiasi oleh iblis hanyalah setan yang bisa memisahkan dua insan dalam pernikahan. Artinya, godaan yang harus kita hadapi dalam pernikahan memang berat adanya. Jika sandaran dan landasannya rapuh, maka rumah tangga bisa dengan mudah untuk runtuh.

Dalam menghadapi ujian pernikahan, perlu persiapan bahkan sebelum jodoh datang melamar. Ialah persiapan ilmu dan iman. Jika setan yang dipersiapkan untuk memisahkan dua insan adalah setan yang paling diapresiasi iblis, maka perjalanan pernikahan tak akan mudah dilewati tanpa adanya iman yang menyertai. Sekuat apa setan bisa menggoda dua insan, lebih kuat lagi kita harus mempersiapkan keimanan. Jika setan yang bertugas menggoda kita saat salat saja berhasil membuat kita ragu dalam jumlah rakaat, bagaimana kita akan siap menghadapi anak kesayangan iblis nanti?

Selain iman yang perlu dipertebal, ilmu juga diperlukan untuk mengikat keimanan. Keimanan tanpa keilmuan akan kelimpungan. Dan keilmuan tanpa keimanan adalah kesesatan. Ilmu yang perlu dipersiapkan dalam menyambut jodoh yang Allah persiapkan begitu banyak. Ilmu menjadi pasangan yang baik, tata kelola emosi, manajemen keuangan, keahlian rumah tangga, parenting, ilmu harta halal, dan masih banyak lagi. Bahkan, ilmu mengenai pemahaman psikologi antara perempuan dan laki-laki juga diperlukan, agar kita memahami pasangan yang tentu memiliki kebiasaan dan pemikiran yang kadang bertolak belakang.

Lebih dari itu, banyak lagi ilmu yang perlu dipersiapkan menuju pernikahan. Semisal setelah sama-sama lelah beraktivitas, ilmu mengapresiasi pasangan juga perlu diterapkan. Terkadang, hal ini dilupakan, hanya karena gengsi yang menghalang. Padahal, apresiasi adalah hal paling mudah yang bisa kita lakukan untuk sama-sama meringankan beban masing-masing dengan pasangan.

Masalah yang Tak Terduga

Sering kali kita telah mempersiapkan diri untuk ujian rumah tangga yang sudah kita pelajari. Semisal ego dan emosi, manajemen keuangan, dan lain-lain. Saat diri sudah semaksimal mungkin memperbaiki dan menjadi pasangan terbaik untuk sang kekasih, namun tak jarang seseorang harus menghadapi level ujian yang lebih tinggi lagi. Entah perselingkuhan, kekerasan, tidak dinafkahi, dan lain sebagainya. Maka dalam menghadapinya, perlu mengerahkan segala bentuk tawakal kepada Sang Pencipta. Jika perselingkuhan yang tentu dibalut dengan kemaksiatan itu berlanjut begitu lama, dengan mempertimbangkan segala bentuk konsekuensi yang bisa terjadi, contoh penularan penyakit seksual, maka perceraian tidaklah diharamkan. Allah memang membenci perceraian, namun tatkala kemudaratan lebih banyak didapatkan saat mempertahankan pernikahan, maka kehalalan perceraian boleh menjadi pilihan. Pun bertahan dengan kesabaran juga bukan suatu hal yang buruk, tatkala pertimbangan lain menjadi pilihan. Demikian pula dengan kekerasan, bersabar mendapatkan pahala, bercerai pun tidak mengapa. Sebab alasan tersebut cukup untuk menjadi syar'i -nya sebuah pilihan perceraian. Lagi, bertahan atau berpisah tatkala keduanya memberikan kemudaratan, maka ada ranah kita sebagai manusia bisa memilih. Perceraian pun bukanlah sebuah kehancuran. Allah Swt. Berfirman:

وَجَعَلَ بَيْنَكُم مَّوَدَّةً وَرَحْمَةً ۚ إِنَّ فِى ذَٰلِكَ لَءَايَٰتٍ لِّقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ

Artinya: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir,” (QS. Ar-Rum: 21)

Tujuan utama pernikahan adalah untuk beribadah. Namun dalam beribadah, Allah tahu bahwa kita memiliki naluri berkasih sayang, maka Allah syariatkan pernikahan. Tatkala pernikahan tidak lagi berjalan sebagaimana mestinya, tak ada ketenangan, tak ada rasa tenteram, dan ketika kita merasa saat bersamanya justru membuat kita jauh dari Allah, maka bisa jadi memang perceraian adalah pilihan.

Namun, ketika kita memilih untuk mempertahankan, meskipun pasangan kita sudah jauh dari tujuan itu, maka yang perlu kita lakukan adalah menyelamatkan surga kita masing-masing terlebih dahulu. Saat pasangan tidak memenuhi kewajiban, bukan berarti kita pula ikut-ikutan. Itulah yang disebut menyelamatkan surga masing-masing terlebih dahulu. Banyak kita jumpai saat ini, suami istri bertahan dalam pernikahan, namun di dalamnya saling balas kemaksiatan. Suami mendekati zina, istri balas dengan mendekati juga. Suami tak beri nafkah, istri balas tak pulang ke rumah. Suami tak beri kasih sayang, istri balas dengan tak mau taat. Suami tidak bekerja, istri balas dengan tidak mau menuruti perkataan suaminya. Andai ini terjadi, bukankah jadi tumpukan dosa untuk keduanya? Maka hal bijak yang bisa kita lakukan adalah bagaimana pun perubahan pasangan, bagaimana pun sikap pasangan, kita tetap melaksanakan tugas kewajiban dengan semestinya. Bukan ego yang kalah, tetapi menyelamatkan surga sendiri terlebih dahululah yang utama. Meski demikian, tentu pasangan kita tetap harus diingatkan, ia juga manusia yang tak luput dari dosa. Ia juga punya hati yang bisa luluh dengan doa. Maka sebaik-baiknya pasangan adalah yang saling mengingatkan untuk kembali ke jalan-Nya.

Tak ada kebaikan yang sia-sia, meski tak terbalas oleh manusia. Andai cinta kita pada pasangan benar karena Allah Swt., maka perubahan sikapnya tak akan mengurangi rasa cinta. Sebab alasan mencintai adalah Tuhan Yang Maha Esa, yang tak pernah berubah oleh masa. Seluruh manusia bisa berubah, pun kita juga sama. Tak ada jaminan kita tetap beriman. Pasangan kita pun sama. Namun itulah mengapa cinta perlu dilandaskan pada Sang Pencipta. Tugas kita sebagai manusia yang berpasang-pasangan, berpegangan dan saling mengingatkan saja. Jadilah teman berjuang yang baik untuk pasangan kita, sebagai bentuk tanda cinta dan penyejuk mata untuknya. Sebagaimana yang menjadi doa dalam Al-Qur'an:

رَبَّنا هَبْ لَنا مِنْ أَزْواجِنا وَذُرِّيَّاتِنا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنا لِلْمُتَّقِينَ إِماماً

Artinya: "Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami istri-istri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa”. (QS. Al-Furqan [25]: 74).

Allahua'lam bish shawwab[]

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]

Kontributor NarasiPost.Com Dan Pegiat Pena Banua
Nurjanah Triani Kontributor NarasiPost.Com
Previous
Mendamba Pemimpin Ideal dalam Sistem Kapitalisme
Next
Berawal Persekusi Berujung Baiat, Benarkah demi Eksistensi?
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram