”Strategi UE untuk melepas ketergantungan pada Cina, tetap tidak akan menjamin kemandirian dan kekuatan ekonominya di bawah sistem kapitalisme. Hal ini karena perekonomian dunia di bawah sistem kapitalisme sangat tidak stabil.”
Oleh. Sartinah
(Tim Penulis Inti NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Perlahan tetapi pasti, Cina telah bermetamorfosis menjadi negara dengan kekuatan ekonomi terbesar kedua di dunia. Pengaruhnya yang demikian besar telah menjerat banyak negara dan menciptakan ketergantungan yang sulit dilepas. Dengan alasan dan kekhawatiran ini pula, Uni Eropa bermaksud mengurangi ketergantungan ekonomi pada Cina, sambil tetap berkolaborasi pada isu-isu global.
Seperti diwartakan Detik.com (13/05/2023), Kepala Kebijakan Luar Negeri Uni Eropa (UE) Josep Borrell, mengungkapkan bahwa saat ini mereka sedang menyusun strategi keluar dari ketergantungan pada Cina. Rencana tersebut pun mendapat dukungan dari para menteri Uni Eropa. Borrell menyebut, ketergantungan sebuah negara pada negara lainnya akan mengakibatkan risiko besar. Pandangan tersebut berangkat dari ketergantungan Uni Eropa sebelumnya pada gas dari Rusia. Mirisnya, saat perang berkecamuk antara Rusia dengan Ukraina, UE justru kelimpungan karena kesulitan mendapatkan pasokan gas.
Lalu, apa strategi UE untuk lepas dari ketergantungan pada Cina? Bagaimana pula karakteristik politik ekonomi Cina untuk menjerat negara maju dan berkembang sebagai mitra dagangnya? Bagaimana sejatinya konsep politik dan kemandirian ekonomi yang kokoh agar tidak mudah bergantung dan terjajah negara lain?
Strategi UE Keluar dari Jerat Cina
Menjelang pertemuan para menteri luar negeri di Stockholm pekan ini, pejabat UE mengirimkan tujuh halaman proposal ke negara-negara anggota, sebagaimana diberitakan Routers pada Jumat (12/05). Dalam sebuah surat yang menyertai proposal tersebut, Josep Borrell mengatakan, alasan UE mengalibrasi ulang kebijakan terhadap negeri Tirai Bambu tersebut, yakni:
Pertama, UE menganggap Cina telah banyak berubah seiring meningkatnya nasionalisme. Kedua, UE memperkirakan persaingan antara Washington dan Cina masih terus meningkat. Ketiga, Cina memiliki peran penting menyangkut isu-isu regional dan global.
Karenanya untuk mengurangi ketergantungan UE pada Cina, beberapa strategi pun digagas sebagaimana tercantum dalam dokumen yang telah disepakati para menteri UE. Pertama, UE akan melakukan penyaringan investasi yang lebih ketat, serta kontrol ekspor yang kuat. Kedua, mendiversifikasi sumber pasokan di sektor-sektor utama, khususnya yang esensial untuk transisi hijau dan digital seperti telekomunikasi 5G dan 6G, semikonduktor, bahan baku baterai, dan mineral penting. Jika negara sebesar UE saja merasa harus lepas dari pengaruh dan ketergantungan pada Cina, seharusnya negara-negara yang lebih lemah kedudukannya secara ekonomi dan politik, lebih khawatir lagi.
Politik Ekonomi Cina
Sudah menjadi rahasia umum bahwa saat ini Cina telah melesat menjadi raksasa ekonomi dunia dan adidaya regional yang sedang berusaha menandingi hegemoni AS. Ekonominya pun telah mendominasi arus perdagangan dan investasi global, termasuk sebagai pemberi dukungan pembiayaan bagi negara maju dan berkembang. Karena itu, banyak negara yang akhirnya menjadikan Cina sebagai mitra dagang terbesar, termasuk Indonesia.
Cina merupakan negara yang "ramah" dalam mengucurkan pinjamannya kepada negara lain yang dianggap berkaitan dengan kepentingan ekonomi negaranya. Tawaran menggiurkan pun diberikan demi membuat negara-negara berkembang jatuh dalam perangkapnya, baik melalui pinjaman berbunga maupun investasi.
Celakanya, saat sebuah negara mengalami kesulitan membayar utangnya, Cina justru memberikan kucuran dana berikutnya sebagai talangan, hingga negara pengutang benar-benar terjerat dan tak sanggup membayar. Saat gagal bayar, negara pengutang harus rela menyerahkan aset strategisnya pada Cina.
Salah satu negara yang menjadikan Cina sebagai salah satu mitra dagang terbesar adalah Indonesia. Di periode pertama kepemimpinan Presiden Jokowi misalnya, sang presiden berambisi atas poros maritim, yakni ingin menguatkan konektivitas antarpulau dengan pembangunan tol laut dan sejumlah infrastruktur penting.
Ambisi tersebut nyatanya sejalan dengan upaya Cina untuk membangun maritime silk road yang merupakan bagian dari One Belt One Road Strategic Pland. Kedua pemimpin negara menyatakan, poros maritim dan maritime silk road merupakan dua hal yang saling melengkapi. Sejak saat itulah Cina mulai membiayai rencana besar pembangunan di era Presiden Jokowi.
Jokowi memprioritaskan infrastruktur yang target pembangunannya diperkirakan membutuhkan dana sekitar US$45 miliar selama periode 2015-2019. Hal itu kemudian direspons oleh Cina dengan mengalokasikan dana sebesar US$50 miliar dalam bentuk pinjaman dari Cina Development Bank dan The Industrial and Commercial Bank of Cina. Periode tersebut sekaligus menandai meningkatnya utang luar negeri dari Cina khususnya untuk sektor swasta. Berbagai proyek kerja sama dengan Cina akhirnya membuat Indonesia sangat bergantung pada Cina.
Bahaya Bergantung pada Negara Lain
Perbandingan dan cakupan hibah dan utang Cina ke seluruh dunia dapat dikatakan sangat besar, apalagi setelah pengumuman Belt and Road Initiative pada 2013 silam. Melalui BRI, Cina membangun banyak jalan raya, pelabuhan, rel, dan pipa yang menciptakan jalur infrastruktur dari Cina ke Asia Tengah dan Eropa. Cina disebut sampai menggelontorkan hampir setengah triliun dolar (US$462 miliar), untuk pembiayaan pembangunan luar negerinya yang mencakup lebih dari 60 negara. Ini utamanya menjerat negara-negara yang kesulitan membiayai pembangunan.
Padahal, janji dan iming-iming Cina sama sekali tidak menguntungkan negara peminjam. Hal itu justru menjadi jeratan utang yang sulit dilepaskan. Ekspansi utang Cina bahkan disebut memantik kontroversi banyak pihak. Dalam sebuah studi terbaru yang dilakukan lembaga think-thank asal Jerman, Kiel Institute pada Maret 2021, disebutkan tentang klausul kerahasiaan yang mencegah negara peminjam untuk mengungkapkan persyaratan dan keberadaan pinjaman. Studi itu juga menyebut bahwa syarat-syarat yang dikenakan oleh kreditur akan memperbesar pengaruh kreditur atas kebijakan ekonomi dan luar negeri negara peminjam.
Menggantungkan ekonomi dan politik pada negara kapitalis seperti Cina, tentu berbahaya bagi kedaulatan sebuah negara. Apalagi bagi negara berkembang yang masih minim anggaran pembiayaan infrastrukturnya. Negara tersebut akan semakin terjerat dalam utang tak berkesudahan yang berakibat pada berpindahnya aset-aset strategis negara pada Cina.
Ini bukanlah omong kosong semata. Namun, telah menjadi rahasia umum yang nyaris ketahui semua negara. Salah satu negara yang menjadi korban "pahitnya" akibat dari gagal bayar pada Cina adalah Sri Langka. Negara tersebut awalnya diberikan kucuran dana pinjaman sebesar AS$1,5 miliar untuk membiayai proyek prestisius yakni pembangunan pelabuhan Hambantota. Namun, karena salah urus, pelabuhan tersebut justru tidak menghasilkan keuntungan sama sekali. Walhasil, Sri Langka terpaksa harus merelakan pelabuhan Hambantota dan 15.000 hektare tanah di sekitarnya kepada Cina karena gagal membayar utang. Cina pun akhirnya memiliki hak mengelola pelabuhan tersebut selama 99 tahun.
Rapuhnya Ekonomi Kapitalisme
Cina adalah negara kapitalis yang memiliki ambisi sebagaimana para kapitalis lainnya, yakni mengeruk kekayaan negara lain sebanyak-banyaknya dengan biaya sekecil mungkin. Ini adalah model penjajahan ekonomi gaya baru yang membuat banyak negara terjerat. Dengan menawarkan pinjaman utang dan investasi, Cina telah berhasil mengeruk keuntungan besar dari negara lain.
Di sisi lain, strategi UE untuk melepas ketergantungan pada Cina, tetap tidak akan menjamin kemandirian dan kekuatan ekonominya di bawah sistem kapitalisme. Hal ini karena perekonomian dunia di bawah sistem kapitalisme sangat tidak stabil. Ketidakstabilan tersebut terus menjadi momok bagi negara-negara bangsa di mana pun.
Selain itu, kapitalisme tak mampu mencegah terjadinya badai krisis yang terus berulang. Ditambah lagi, kemerosotan nilai tukar dan inflasi yang tidak terawasi menjadi realitas yang merusak bagi perekonomian di banyak negara. Dari sini tak salah apabila kita menyimpulkan bahwa kapitalisme telah gagal menciptakan kemandirian dan kesejahteraan ekonomi bagi seluruh manusia.
Islam Membangun Kemandirian Ekonomi
Jika kapitalisme telah gagal mewujudkan kemandirian ekonomi, maka Islam dengan ketinggian dan kemuliaan ideologinya mampu memberi solusi bagaimana mewujudkan kemandirian ekonomi. Sebab, Islam adalah agama yang tinggi dan tidak ada yang menandingi ketinggiannya. Beberapa poin yang diterapkan Khilafah untuk membangun kemandirian ekonominya, adalah:
- Sumber ekonomi Khilafah. Negara Khilafah memiliki setidaknya empat sumber ekonomi, yaitu pertanian, perdagangan, industri, dan jasa.
- Dalam bidang pertanian, negara melaksanakan kebijakan berdasarkan pengelolaan lahan pertanian. Hal ini dilakukan dengan mengelola tanah-tanah pertanian yang ada dengan baik untuk memenuhi kebutuhan hidup rakyat. Kebijakan ini disebut intensifikasi. Negara juga dapat mendorong masyarakat untuk menghidupkan tanah mati yang nantinya boleh menjadi milik mereka. Bisa juga dengan memberikan insentif berupa modal dan lainnya. Ini disebut kebijakan ekstensifikasi.
- Kebijakan pertanian akan ditopang oleh perdagangan yang sehat, di mana tidak boleh ada kartel, monopoli, mafia, penipuan, maupun riba. Sebab, semua itu terlarang dalam Islam. Dengan larangan yang telah ditetapkan dan disertai sanksi tegas, maka hasil pertanian akan terjaga, produktivitas tinggi, tetapi harga tetap terjangkau. Pada posisi ini, negara mampu mewujudkan swasembada pangan.
- Selanjutnya bidang industri. Islam hanya membolehkan memproduksi, mengonsumsi, dan mendistribusikan barang-barang yang halal saja. Artinya, semua yang terindikasi haram, maka terlarang untuk dikonsumsi, diproduksi, dan didistribusikan. Selain itu, Islam juga menjadikan hukum industri mengikuti berbagai barang yang diproduksi. Jika barang-barang yang diproduksi haram, maka industrinya pun terkategori haram.
- Terakhir bidang jasa. Selain barang-barang, Islam juga melarang memproduksi, mengonsumsi, dan mendistribusikan jasa yang haram. Terkait upah misalnya, akan dikembalikan halal dan haramnya kepada jasa apa yang diproduksi. Artinya, jika jasanya haram, maka upahnya pun menjadi haram. Jika hal itu dijalankan sesuai ketentuan syariat, maka individu, masyarakat, dan negara pun akan sehat.
- Politik ekonomi dan ekonomi politik Khilafah. Sebagai negara yang pernah menjadi adidaya pada zaman keemasannya, kebijakan Khilafah tidak hanya berhenti pada pemilikan sumber utama ekonominya. Namun, keempat sumber ekonomi tersebut akan ditopang oleh politik ekonomi (kebijakan ekonomi) Khilafah. Yakni, negara akan memastikan terpenuhinya seluruh kebutuhan pokok masyarakat per individu seperti sandang, pangan, dan papan. Termasuk kebutuhan kolektif masyarakat seperti pendidikan, kesehatan, dan keamanan. Dengan terpenuhinya seluruh kebutuhan masyarakat, maka Khilafah dapat menjaga stabilitas domestik. Selain itu, hati rakyat pun akan terpaut pada negara.
Pada saat yang sama, negara akan menerapkan ekonomi politik (sistem ekonomi) yang dibangun dengan tiga pilar, yaitu kepemilikan, pengelolaan kepemilikan, dan distribusi demi terwujudnya politik ekonomi (kebijakan ekonomi) yang dimaksud. Dalam pengelompokan kepemilikan, Islam telah jelas menempatkan bahwa kepemilikan individu adalah milik individu, kepemilikan umum menjadi milik rakyat yang dikelola oleh negara, dan kepemilikan negara menjadi milik negara. Jika ketiga harta kepemilikan tersebut dikelola berdasarkan hukum syarak dan didistribusikan secara tepat dan benar, niscaya masyarakat akan sejahtera.
- Kebijakan moneter Khilafah. Selain kebijakan yang sudah disebutkan di atas, Khilafah juga menerapkan kebijakan moneter yang hanya menggunakan standar emas dan perak, sehingga nilai inflasi tetap nol persen. Hal ini perlu dilakukan untuk menjaga agar daya beli masyarakat tetap tinggi. Selain itu, negara menjamin berjalannya mekanisme pasar secara baik dan benar dengan mewujudkan supplay dan demand secara sehat. Negara juga melarang aktivitas penipuan, kartel, mafia, riba, serta tidak boleh menetapkan harga barang maupun upah jasa.
Khatimah
Sekuat apa pun upaya negara-negara di dunia untuk keluar dari pengaruh dan ketergantungan pada Cina, AS, dan negara besar lainnya, tetapi jika solusi yang diambil masih berpegang pada kapitalisme, maka upaya tersebut ibarat "keluar dari lubang buaya, lalu terjatuh ke lubang singa". Solusi satu-satunya terhadap persoalan krisis yang melanda dunia hanya kembali pada Islam dan menjadikan syariatnya sebagai rujukan.
Dengan kebijakan makro Khilafah yang sudah diuraikan di atas, suatu negara akan memiliki kemandirian ekonomi serta daya tahan yang kokoh baik dari embargo maupun serangan negara lain. Di bawah naungan Khilafah, umat manusia akan terjaga dari berbagai bentuk kezaliman. Sebagaimana jaminan Allah dalam surah An-Nisa ayat 141 yang artinya, "Allah tidak akan memberi jalan kepada orang kafir untuk mengalahkan orang-orang beriman."
Wallahu a'lam bishawab.[]