Dari sisi pemenuhan kebutuhan akan fasilitas kesehatan, maka ini merupakan tanggungjawab negara. Kesehatan merupakan kebutuhan asasi yang ketersediaannya tak boleh dikomersialisasi.
Oleh : Ummu Zhafira (Pegiat Literasi)
NarasiPost.Com — Sungguh memilukan. Jurang pemisah miskin dan kaya semakin menganga. Di satu sisi seorang balita dimanjakan dengan berbagai fasilitas mewah. Di saat yang sama, balita lainnya terpaksa meregang nyawa dalam dekapan sang bunda.
Kejadian tragis ini terjadi di Pasar Bantar Gebang, Kota Bekasi, pada Kamis (26/11) lalu. Balita berusia dua tahun itu meninggal dunia ketika diajak ibunya mengemis. Polisi juga telah memastikan bahwa korban adalah anak kandung dari NM (32 tahun). (Detiknews.com, 29/11/2020)
Hingar-bingar gemerlap kota metropolitan nyatanya tak mampu menjadi payung perlindungan bagi warganya. Kemiskinan telah membuat sang ibu tak kuasa membawa anaknya untuk berobat. Bahkan sekedar untuk beristirahat dengan nyaman ketika dalam kondisi sakit.
Ibu korban telah berupaya meminta bantuan kepada warga setempat. Celakanya, dengan kondisi finansial serupa warga tak mampu berbuat apa-apa. Terpaksalah balita tersebut tetap harus menemani sang bunda mencari sesuap nasi yang tak terbeli.
Inilah potret buram kegagalan sistem demokrasi dalam mengentaskan kemiskinan. Di tengah pesatnya pembangunan kota Bekasi, kemiskinan justru semakin kronis menjangkiti. Kejadian ini harusnya menjadi pukulan telak bagi pemangku kebijakan. Dimana peran kebijakan Kota Layak Anak yang digaungkan?
Sepertinya uangkapan "orang miskin dilarang sakit" benar-benar tengah menari mengiringi kepergian sang balita. Kapitalisasi dan komersialisasi sektor kesehatan membuat fasilitas kesehatan sulit dijangkau oleh masyarakat miskin.
Alih-alih mendapatkan layanan kesehatan, sekedar untuk memenuhi kebutuhan makan pun mereka terpaksa menengadahkan tangan kepada orang-orang yang masih memiliki rasa iba. Sungguh miris. Ketika kaum sosialita hidup berfoya bergelimang harta, di saat itu pulalah tak terhitung jumlah kaum papa tenggelam dalam derita.
Dimana peran negara? Bukankah negara memiliki kewajiban untuk mengurusi urusan rakyatnya? Dalam paradigma sistem demokrasi, negara hadir hanya sebagai pembuat regulasi. Sedangkan, setiap kebijakan yang lahir darinya justru hanya berpihak pada kepentingan para kapitalis.
Rakyat kecil hanya dibutuhkan suaranya ketika pemilu tiba. Saat jabatan sudah dalam genggaman, maka janji manis yang pernah terucap hanya akan jadi isapan jempol semata. Tak pernah nyata. Sekedar tipu-tipu demi meraup perolehan suara.
Akankah kondisi seperti ini dibiarkan terus terjadi dalam kehidupan ini? Islam memiliki seperangkat aturan yang mampu mengentaskan kemiskinan. Menjamin seluruh kebutuhan rakyat dengan mekanisme tepat sasaran.
Islam mewajibkan bagi seorang laki-laki sebagai suami dan ayah untuk memberi nafkah kepada istri dan anak-anaknya. Jika kemudian, sang suami ini sudah tidak ada, maka ada jalur perwalian yang harus menggantikan peran sebagai penanggung nafkah. Ketika seluruh wali pun dalam kondisi tak berpunya, tanggungjawab itu berada pada pundak penguasa atau negara.
Selain itu, Islam pun mendorong bagi masyarakat untuk senantiasa memiliki sikap kepedulian yang tinggi terhadap sesama. Salah satunya dengan adanya kegiatan bersedekah. Pelakunya akan mendapatkan ganjaran pahala dan keberkahan harta yang dimiliki. Tak ada sifat individualis dalam Islam.
Dari sisi pemenuhan kebutuhan akan fasilitas kesehatan, maka ini merupakan tanggungjawab negara. Kesehatan merupakan kebutuhan asasi yang ketersediaannya tak boleh dikomersialisasi. Negara wajib memberikn pelayanan kesehatan kepada seluruh rakyatnya secara gratis. Tak lagi memandang apakah si sakit dari kalangan kaya atau miskin.
Rasulullah Saw. bersabda, “Imam/Khalifah adalah pengurus dan ia bertanggungjawab terhadap rakyat yang diurusnya.” (HR. Muslim dan Ahmad)
Pertanyaannya, darimana negara memiliki anggaran untuk bisa meri'ayah semua itu? Bagaimana mungkin seluruh warga miskin diberikan nafkahnya? Dan darimana asal anggaran untuk memberikan jamian kesehatan secara gratis?
Maka jawabannya adalah dari berbagai sumber yang diperbolehkan syara'. Salah satunya dengan mengelola harta yang dimiliki umat. Misalnya adalah kekayaan alam. Negeri ini terlalu kaya untuk membiarkan rakyatnya mati dalam kesia-siaan. Begitu melimpah kekayaan alam yang dimiliki seperti emas, batu bara, minyak bumi bahkan hutan dengan segala manfaatnya.
Di dalam Islam semua itu termasuk kategori harta milik umum. Maka, ia harus dikelola dan hasilnya dikembalikan kepada rakyat. Negara mendorong para ahli di bidangnya untuk membantunya mengelola dengan sebaik-baiknya. Haram hukumnya memberlakukan privatisasi pada kekayaan-kekayaan tersebut. Apalagi menyerahkan pada asing.
Disinilah peran penguasa dan perangkatnya. Dengan segenap upaya mereka hadir untuk melayani rakyatnya. Atas dasar keimananlah mereka akan berusaha sebaik mungkin menjalankan fungsinya sesuai Al-Qur'an dan As-sunah. Mereka pun meyakini bahwa akan adanya hari pembalasan, maka setiap amanah harus diemban dengan tanpa menyisakan kezaliman.
Dengan demikian, problem kemiskinan bisa dientaskan. Sedangkan, jaminan kesehatan tak cuma sekedar teori semata tapi benar-benar bisa dirasakan manfaatnya oleh seluruh warga negara. Tak akan dijumpai lagi kematian kaum papa dalam keadaan lapar dan kesakitan. Wallahu'alam bishawab []