"Seseorang yang memiliki pola pikir islami adalah yang menjadikan Islam sebagai tolok ukur dalam berpikirnya. Saat memahami suatu realitas, maka saat itu pula ia menggunakan pemikiran Islam."
Oleh. Heni Rohmawati, S.E.I.
(Kontributor NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Alhamdulillah bulan Syawal tengah menemani umat Islam. Syawal adalah bulan di mana banyak kaum muslimin merayakan hari raya Idulfitri bersama keluarga. Sungguh pemandangan yang sangat indah dan dinanti oleh para perantau untuk bersama keluarga. Tempat mencari rezeki yang jauh atau sedang menuntut ilmu di negeri seberang, telah memisahkan seseorang dari keluarga, terobati saat bertemu kala Lebaran.
Di saat Lebaran ini juga, sebagian besar muslimah di negeri mayoritas muslim ini terlihat menutup auratnya dengan baik. Suasana islami dan penuh bahagia terus memancar dari wajah-wajah yang menghubungkan tali silaturahmi dan silah ukhuwah. Kerudung dan jilbab sudah menjadi tren yang syar’i dan pemandangan sehari-hari kaum muslimah.
Kerudung yang dalam bahasa arabnya adalah khimar, mereka kenakan. Sungguh tampak anggun dan cantik bagi muslimah. Terpancar aura ketakwaan dari pakaian yang dikenakan. Semangat menutup aurat ini patut diapresiasi apalagi di tengah sistem kapitalisme seperti ini, banyak sekali serangan pemikiran Barat yang kian masif. Karena istikamah di tengah godaan bukanlah hal yang mudah.
Muslimah yang baik adalah muslimah yang beriman dan bertakwa. Kerudung adalah simbol sebagai identitas diri bahwa ia adalah seorang muslimah. Namun ketakwaan tidak hanya ditunjukkan dari sisi pakaian, tapi juga kepribadian.
Kepribadian yang dimaksud adalah kepribadian yang terdiri dari pola pikir dan pola sikap. Bagaimana seseorang berpikir dan menilai sesuatu. Sementara pola sikap adalah bagaimana seorang muslimah bertingkah laku.
Berawal dari pandangan dasar akan kehidupan di dunia ini, Islam memiliki jawaban yang memuaskan akal seseorang. Jawaban yang menghunjam ke hatinya akan menjadi keyakinan kuat dan menjadi akidah seseorang. Maka kepribadian Islam adalah kepribadian yang menjadikan akidah Islam sebagai landasannya, baik landasan pola pikirnya maupun landasan pola sikapnya.
Seseorang yang memiliki pola pikir islami adalah yang menjadikan Islam sebagai tolok ukur dalam berpikirnya. Saat memahami suatu realitas, maka saat itu pula ia menggunakan pemikiran Islam. Saat mengambil suatu keputusan pun tidak terlepas dari pemikiran Islam. Semua itu dilakukan dalam rangka mendapatkan rida Allah Swt.
Ia tidak terpikir untuk berpikir “terserah gue”, karena berpikir adalah aktivitas yang telah dijelaskan dalam Islam. Baik itu melalui Al-Qur’an dan sunah Rasul-Nya. Maka, tidak ada istilah suka-suka dan bebas sebebas-bebasnya dalam memandang berbagai perkara. Hal ini semata-mata berharap ada pahala dari Allah yang akan diterima. Dan sebagai bentuk pengakuan akan lemahnya manusia di hadapan Allah, atas ketidaktahuan terhadap berbagai hal.
Adapun pola sikap islami adalah cara yang digunakan seseorang untuk memenuhi kebutuhannya yang tercakup dalam kebutuhan jasmani dan naluri-naluri (naluri mempertahankan diri, naluri beragama, naluri berkasih sayang) berdasarkan akidah Islam. Apabila pemenuhan tersebut tidak sesuai dengan aturan Islam, maka tidak disebut berpola sikap islami. Tapi disebut pola sikap yang lain.
Wajib Memiliki Kepribadian Islam yang Khas
Setiap muslim dan muslimah dikatakan berkepribadian yang khas atau unik apabila memiliki pola pikir dan pola sikap islami. Jika tidak, maka kepribadiannya tidak khas. Maka setiap muslim atau muslimah harus senantiasa menyeimbangkan agar pola pikir islami seiring dengan pola sikap yang islami. Apa yang dipikirkan sesuai dengan perilaku dalam kehidupan nyata. Tidak hanya sekadar teori, tetapi dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari.
Oleh karena itu, wanita muslimah yang telah berkerudung dan mengenakan jilbab, mesti menyempurnakan ketaatannya dengan menjadikan kepribadiannya juga kepribadian Islam yang telah diwajibkan dalam Islam. Karena hakikatnya perbuatan seorang muslim adalah terikat dengan hukum syarak. Sebagaimana Kalamullah dalam surah An-Nisa ayat 65, “Maka demi Tuhanmu, hakikatnya mereka belum beriman hingga menjadikan engkau (Muhammad) sebagai pemutus dalam urusan yang mereka perselisihkan, (hingga) tidak ada rasa berat hati mereka terhadap apa yang engkau putuskan. Dan mereka menerima dengan sepenuhnya.”
Begitulah, ketika Allah telah memerintahkan sesuatu, hendaknya seorang muslimah melaksanakannya. Dan apabila Allah telah mengharamkan sesuatu, seyogianya muslimah yang taat akan mengindahkannya. Bahkan, di hatinya tidak ada satu keberatan pun dalam menaati Rabb -nya.
Godaan Dunia Terus Menyerang
Sungguh saat ini kaum muslimin sedang berjuang keras untuk tetap istikamah dalam ketaatan. Bagaimana tidak, gempuran yang tiada mengenal waktu terus-menerus menggempur kepribadian umat Islam di mana saja berada. Berbagai media Barat tanpa henti menawarkan godaan dunia, sehingga tidak sedikit kaum muslimin yang terlena dan terjebak dalam pemahaman yang salah kaprah dan berakhir meninggalkan kepribadian Islam. Baik itu pola pikirnya maupun pola sikapnya.
Muslimah harus senantiasa waspada akan segala racun yang bisa meracuni pemikiran Islamnya juga pola sikapnya. Agar selalu membersihkan pemikirannya dari hal-hal yang bertentangan dengan Islam dan pola sikapnya agar jangan sampai terjatuh dalam perilaku yang mengundang dosa.
Sungguh pahala istikamah umat Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam akhir zaman sangatlah istimewa. Rasulullah saw. bersabda, "Lanjutkanlan olehmu untuk senantiasa amar makruf nahi munkar, hingga engkau menyaksikan kekikiran yang dituruti, kehidupan dunia yang diagungkan, juga orang-orang yang terpesona dengan pendapatnya sendiri. Hendaklah kamu bergaul dengan orang-orang sependapat denganmu. Dan jauhilah orang-orang awam. Karena setelah zamanmu akan datang suatu masa di mana orang yang tetap teguh dengan agamanya bagaikan menggenggam bara api. Ketahuilah, pada waktu itu orang yang istikamah memegang agamanya maka pahalanya semisal dengan 50 orang dari kalian."
Abdullah bin Mubarok menyampaikan, orang selain Utbah menambahkan riwayat dengan redaksi : “Apakah yang 50 kali itu generasi kami, atau generasi mereka? Rasul saw. Menjawab, “Untuk mereka).” (HR. Abu Dawud)
Wallahu a’lam bishowab.[]