”Wacana menggantikan kerja manusia dengan robot seperti yang diutarakan oleh pemimpin-pemimpin dunia saat ini merupakan salah satu tanda bahwa pemerintahan di bawah sistem kapitalisme justru mengabaikan kesejahteraan rakyatnya.”
Oleh. Muthiah Al Fath
(Tim Penulis Inti Narasipost.Com)
NarasiPost.Com-Dunia terus mengalami kemajuan teknologi dan membuat interaksi kehidupan terus berubah, bahkan ancaman dehumanisasi kian nyata. Mesin perlahan namun pasti mulai menggantikan peran manusia. Sehingga Artificial Intelligence (teknologi AI) atau kecerdasan buatan menjadi topik yang menarik untuk dibahas.
Menurut laporan Bank Investasi Goldman Sachs bahwa kecerdasan buatan (AI) dapat menggantikan 300 juta pekerjaan penuh waktu. Bahkan, AI dapat menggantikan seperempat pekerjaan di AS dan Eropa. Keberadaan AI dinilai dapat meningkatkan total nilai tahunan barang dan jasa yang diproduksi secara global sebesar 7%. Demi “mendorong produktivitas di seluruh perekonomian”, pemerintah Inggris tertarik untuk mempromosikan investasi AI. (www.bbc.com, 1/5/2023)
Namun, penelitian lain menunjukkan bahwa perubahan teknologi yang terjadi sejak 1980-an lebih cepat menggantikan para pekerja dibandingkan menciptakan lapangan kerja. Sehingga dapat disimpulkan bahwa kemajuan teknologi, seperti adanya AI generatif justru akan mengurangi lapangan kerja dalam waktu dekat. Fakta ini jelas membuat para pekerja cemas terhadap dampak AI dan otomatisasi pada dunia pekerjaan.
Sistem Kapitalisme Minim Solusi
Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) melaporkan bahwa jumlah angka pengangguran negara-negara di dunia pada Desember 2022 mencapai 33,9 juta jiwa. Berdasarkan survei Ipsos bahwa “jumlah pengangguran” menjadi isu terbesar keempat yang dikhawatirkan masyarakat dunia, selain isu inflasi dan kemiskinan. Namun saat yang sama, hal mengejutkan disampaikan oleh Konsultan McKinsey bahwa sekitar 800 juta pekerja di seluruh dunia dapat digantikan oleh robot pada tahun 2030 mendatang. Hal ini akan membuat beberapa pekerjaan akan berubah secara signifikan, sementara pekerjaan lain akan terancam lenyap. AI mulai memasuki beberapa pekerjaan yang awalnya diperankan oleh manusia, misalnya announcer, voice over, video editor, hingga writer. Bahkan beberapa tayangan televisi telah menggunakan AI untuk membacakan berita. Di mana ekspresi, suara, dan gerak tubuh begitu mirip dengan manusia.
Memang kehadiran robot tidak dapat dihindari. Apalagi saat negara mendukung hal tersebut, misalnya berencana mengganti PNS dengan robot. Namun pengadaan robot untuk menggantikan manusia sebagai pekerja menjadi penanda bahwa negara di bawah sistem kapitalisme menyebabkan mereka tidak memiliki kemampuan finansial untuk menjamin bahkan membayar gaji para pekerja. Sehingga kehadiran robot dianggap sebagai solusi untuk menghemat anggaran negara karena dapat mengurangi pembayaran gaji, tunjangan, dan pemenuhan kebutuhan utama birokrasi yang semakin membengkak. Oleh karena itu, pemerintah menilai bahwa kehadiran robot merupakan solusi untuk memperbaiki perekonomian yang terancam resesi.
Wacana menggantikan kerja manusia dengan robot seperti yang diutarakan oleh pemimpin-pemimpin dunia saat ini merupakan salah satu tanda bahwa pemerintahan di bawah sistem kapitalisme justru mengabaikan kesejahteraan rakyatnya. Bahkan, penguasa menggunakan teknologi sekadar untuk mendapatkan pujian agar dikatakan sebagai negara yang modern. Aturan dibuat atas dasar materi semata. Artinya, selama itu menguntungkan penguasa maupun korporasi maka kebijakan tersebut akan diterapkan. Tak jarang semua kebijakan diputuskan sepihak meskipun mengorbankan dan merugikan rakyatnya.
Pelayanan ala Kapitalisme
Mewujudkan kemaslahatan di tengah-tengah masyarakat seharusnya menjadi tugas negara. Pemerintah seharusnya memaksimalkan berbagai upaya untuk mewujudkan hal tersebut, misalnya dengan memanfaatkan kecanggihan teknologi untuk mempercepat pelayanan ke masyarakat. Hanya saja, pengaduan masyarakat atas kurangnya pelayanan publik masih terus terjadi. Seperti kurangnya jumlah dokter spesialis di berbagai rumah sakit, tenaga pengajar di sekolah-sekolah, dan lain-lain. Belum lagi mahalnya untuk memperoleh pelayanan publik tersebut. Artinya, sistem pelayanan yang diberikan pemerintah kepada masyarakat masih bermasalah. Tentu saja ini bukan perkara tools semata, melainkan paradigma kapitalisme mengenai pelayanan publik. Kapitalisme menjadikan pengurusan rakyat layaknya penjual dan pembeli. Di sinilah letak masalahnya, bukan sekadar pemanfaatan teknologi.
Layanan publik yang seharusnya dijamin oleh negara, termasuk penyediaan lapangan kerja untuk memenuhi kebutuhan pokok rakyat justru diabaikan oleh negara. Buruknya paradigma tersebut dapat dilihat dari perekrutan ASN yang selalu tidak sesuai dengan kebutuhan rakyat. Belajar dari nestapa ini, kita layak mempertanyakan keseriusan negara dalam memberikan pelayanan maksimal kepada rakyatnya.
Munculnya gelombang PHK dan ketakutan akan terjadinya pengangguran dan meningkatnya angka kemiskinan sebenarnya merupakan problem yang bersifat sistemis. Abai dan lalainya negara dalam memenuhi kebutuhan dasar rakyatnya membuat kondisi ekonomi tidak stabil, sehingga pemenuhan kebutuhan dasar makin sulit karena nyaris seluruh harga kebutuhan pokok meningkat, sementara ancaman pengangguran di depan mata. Itulah sebabnya mengapa sistem kapitalisme yang diadopsi oleh hampir seluruh dunia ini hanya memunculkan ketakutan di tengah masyarakat sebab negara berlepas tangan dalam mengurus rakyatnya.
Kemajuan Teknologi dalam Khilafah
Dalam Islam, pemimpin yang menjalankan roda pemerintahan berperan sebagai pelayan dan pengurus rakyat karena menanggung beban amanah untuk mewujudkan kemaslahatan umat dengan semaksimal mungkin. Negara wajib memenuhi kebutuhan rakyatnya, salah satunya dengan menyediakan lapangan kerja yang memadai. Oleh karena itu, seorang khalifah akan menjadikan kecerdasan buatan (AI) dengan bijak. Mempertimbangkan berbagai hal terkait pemanfaatannya agar kolaborasi antara manusia dan mesin menciptakan kemajuan bersama. Artinya, Islam menganggap kemajuan teknologi bukanlah musuh, melainkan teman untuk membantu menyelesaikan tugas dan pekerjaan menjadi lebih baik lagi.
Teknologi sebagai komponen komplementer bukan sebagai substitusi, memudahkan bukan malah menggantikan. Pemanfaatan teknologi bertujuan untuk meningkatkan kinerja para pekerja bukan malah mengganti manusia yang bekerja. Untuk itu, melalui pendidikan tinggi yang gratis, Khilafah akan berupaya menjadi negara terdepan dalam penguasaan teknologi untuk merealisasikan politik ekonomi yang berbasis Islam demi menyejahterakan rakyat, individu per individu.
Meskipun kecanggihan teknologi dapat membantu pekerjaan manusia, tetap saja AI adalah mesin yang tidak dapat menggantikan peran manusia secara keseluruhan. Contohnya, meskipun AI dapat mengambil keputusan berdasarkan data dan algoritma yang ada, namun tidak dapat mempertimbangkan faktor-faktor etika dan moral seperti yang dilakukan oleh manusia. Sehingga di dalam Islam, kerja sama yang baik antara mesin dan manusia merupakan kunci dalam memaksimalkan manfaat dari kecerdasan buatan. Di mana manusia dapat mendesain AI memahami konteks dan memperoleh pemahaman mengenai situasi tertentu untuk membantunya menyelesaikan tugas-tugas yang memerlukan pemikiran yang kompleks.
Misalnya dalam menjalankan kegiatan bisnis, maka kolaborasi antara manusia dan mesin dapat menciptakan lingkungan kerja yang lebih efektif dan produktif. Kehadiran AI dapat membantu mengurangi beban kerja manusia sehingga lebih fokus pada tugas-tugas yang memerlukan pemikiran inovatif dan kreatif. Sehingga diharapkan adanya kerja sama yang baik antara mesin dan manusia untuk meningkatkan kualitas hidup, serta menciptakan kemajuan yang lebih baik bagi kemaslahatan seluruh umat manusia.
Sebagaimana manusia yang mampu membuat teknologi yang canggih, Allah Swt. sebagai pencipta alam semesta pun telah menghadirkan sistem pemerintahan yang lebih canggih. Balik lagi, bagaimana manusia sebagai makhluk ciptaan bersikap sebagai hamba yang patuh dengan menerapkan segala aturan-Nya. Sebagaimana firman-Nya dalam surah Al-Maidah ayat 50, “Apakah hukum jahiliah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?”
Faktanya, pada era kapitalisme, kemajuan teknologi justru menyebabkan dunia mengalami krisis pangan hingga resesi. Dari semua ini satu hal yang paling sulit dalam sistem kapitalisme adalah menemukan indikator yang jelas tentang makna “kebangkitan teknologi” itu sendiri.
Jika kita mengacu pada Islam maka kebangkitan adalah tatkala manusia bisa efektif menjadi umat terbaik yang dihadirkan Allah ke tengah manusia untuk menyeru yang makruf, dan mencegah yang munkar, serta beriman kepada-Nya. Oleh karena itu, semua teknologi dibuat untuk menopang tercapainya misi tersebut. Inilah dulu yang dilakukan umat Islam generasi awal, baik dalam teknologi pangan, energi, transportasi, informasi, kesehatan dan obat-obatan, hingga pertanian. Dengan begitu, teknologi dapat menyentuh kehidupan rakyat kecil yang merupakan mayoritas untuk menaikkan kualitas hidup seluruh rakyat di dalam Daulah Islam.
Misalnya Abu al-Abbas al-Nabati dari Andalusia, pada awal abad ke-13, telah mengembangkan metode ilmiah untuk botani, mengantar metode eksperimental dalam menguji, mendeskripsikan dan mengidentifikasi berbagai materi hidup dan memisahkan laporan observasi yang tidak bisa diverifikasi. Kemudian dilanjutkan oleh muridnya, Ibnu al-Baitar yang mempublikasikan kitab Al-Jami fi Al-Adwiya Al-Mufrada dan menjadi kompilasi botani terbesar selama berabad-abad. Dari kitab itu memuat sedikitnya 1.400 tanaman yang berbeda, makanan, dan obat yang 300 di antaranya merupakan penemuannya sendiri.
Ini adalah fakta-fakta terkait kecanggihan teknologi bidang pertanian dalam arti sempit. Dalam arti luas, revolusi pertanian terjadi dengan berbagai penemuan lain yang tergolong canggih, misalnya ditemukan alat untuk memprediksi cuaca, peralatan untuk mempersiapkan lahan, teknologi irigasi, pemupukan, pengendalian hama, teknologi pengolahan pasca panen, hingga manajemen perusahaan pertanian.
Meskipun sederhana, namun semua teknologi tersebut tergolong canggih pada zamannya. Di bawah naungan Khilafah, kombinasi sinergis dari semua teknologi menghasilkan akselerasi yang cukup besar dalam revolusi pertanian bagi negara. Sehingga kemajuan teknologi dapat menaikkan panen hingga 100% pada tanah yang sama. Para petani merasa lebih mudah mendapatkan pupuk buatan dan pestisida. Hal ini membuat para petani tidak malas-malasan mengolah tanah mereka karena negara mencegah agar tanah tidak dimonopoli oleh kaum feodal. Hal ini membuktikan bahwa selain teknologi yang canggih, negara juga memerlukan sistem dan hukum yang canggih. Berdasarkan perspektif abad-21, semua teknologi di zaman keemasan Islam dari abad 10 M sampai abad ke-19 M memang terlihat cukup sederhana, namun tepat dan berguna bagi kemaslahatan umat.
Khatimah
Segala sesuatu, termasuk perkembangan teknologi yang seharusnya bersifat positif, namun jika tidak dikendalikan secara benar justru akan beralih fungsi sebagai komponen substitusi yang membawa nestapa. Sungguh ironis, di bawah sistem yang rusak, kecanggihan teknologi justru menyingkirkan peran manusia sebagai makhluk paling cerdas di muka bumi. Jumlah pekerja yang terus berkurang berganti teknologi robotik tersebut sejalan dengan instruksi sistem kapitalisme. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa umat Islam yang minus teknologi jelas akan terjajah, sedangkan teknologi bila tidak dipandu sesuai syariat Islam akan menjajah umat manusia.
Wallahu a’lam bishawwab.[]