”Tawuran bukan hanya masalah masyarakat, sekolah, dan keluarga, tetapi lebih kepada masalah sistematik yang semuanya saling berkaitan.”
Oleh. Nilma Fitri
(Kontributor NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Imbauan pihak kepolisian ramai bersuara agar Sahur on The Road (SOTR) tidak dilaksanakan dalam Ramadan tahun ini. Apresiasi kegembiraan menyambut datangnya Ramadan itu, kini telah dihentikan. Padahal, geliat SOTR sangat akrab dengan deru nafas Ramadan. Kemeriahannya yang hanya terjadi sekali setahun itu, kini terusik dengan kericuhan, keributan, hingga tawuran.
Itulah alasan mengapa Polres Metro Bekasi Kota mengimbau masyarakat untuk tidak menggelar Sahur on The Road (SOTR) tahun ini. Kapolres Metro Bekasi Kota, Kombes Pol Dani Hamdani mengatakan, kegiatan SOTR dinilai dapat memicu tawuran. Karena pada beberapa waktu sebelumnya kegiatan ini malah dijadikan sebagai ajang tawuran (sindonews.com, 20/3/2023).
Tidak hanya di Bekasi, baru-baru ini warga Cilincing, Jakarta Utara dibuat risau dengan aksi tawuran yang terjadi di wilayahnya pada bulan Ramadan. Aksi tawuran tersebut turut memakan korban, yaitu seorang remaja berinisial KM (17 tahun) dan seorang polisi, Aipda Y ikut terluka karena terkena lemparan senjata tajam.
Berawal dari hal sepele, saling ejek antarkelompok di media sosial, hingga saling tantang dan berujung dengan adu fisik dan senjata tajam. Tawuran pun akhirnya dipilih sebagai jalan akhir perselisihan (Detiknews.com, 1/4/2023).
Dampak Tawuran
Fenomena tawuran kini menjadi hal lumrah di masyarakat. Keberadaannya menimbulkan keresahan bagi masa depan generasi bangsa saat ini. Dampaknya sangatlah pelik. Bukan hanya bagi negara dan masyarakat sekitarnya, tetapi juga keluarga dan pelaku tawuran. Luka-luka hingga cacat permanen dan kematian, tentu saja sangat membawa pengaruh pada masa depan.
Penyesalan mendalam yang datangnya belakangan, terutama bagi korban yang cacat permanen, akan terus dibawa sepanjang hidupnya. Begitu juga yang menjadi korban jiwa, pupus sudah kehidupan hanya sampai usia remaja. Cita-cita kandas, masa depan pun tandas.
Akibat lain, seolah tawuran menjadi "habit" (kebiasaan) dan "tren" yang mengakar di kalangan remaja. Perkelahian dan kekerasan dipilih demi mencapai tujuannya. Bahkan mereka yang tetap eksis tawuran, akan tersungkur dalam ketinggian rasa egoismenya. Dan tidak mampu memahami orang lain serta mengembangkan potensi positif dalam dirinya.
Faktor Penyebab Fenomena Tawuran
Bulan Ramadan yang sejatinya diisi dengan banyak beribadah, digeser oleh remaja menjadi waktunya tawuran. Sahur on The Road (SOTR) sebagai bagian kemeriahan Ramadan pun harus rela diamputasi karena khawatir virus tawuran turut menggerogoti rasa khusyuk menjalankan ibadah Ramadan. Miris, bahkan Ramadan pun tak mampu menjadi momentum rohani penghenti tawuran bagi remaja.
Tentu saja hal ini tidak bisa dianggap remeh. Fenomena tawuran yang kerap berulang, adalah peringatan bahwa kondisi remaja Indonesia saat ini tidak dalam keadaan baik-baik saja. Aksi tawuran bukanlah hal yang mudah dicegah, apalagi oleh remaja itu sendiri sebagai aktor utama tawuran. Kita tidak bisa hanya menyalahkan dan menyudutkan sisi remajanya saja sebagai aktor tawuran. Tetapi juga peran orang tua, masyarakat, dan yang utama adalah negara sebagai pemangku kebijakan berjalannya sistem, sangat dibutuhkan untuk mendukung pengendalian tawuran secara optimal sebagai pihak yang paling bertanggung-jawab.
Menilik faktor penyebab dari sisi para remaja. Adanya krisis identitas, membuat remaja kehilangan arah sebagai hamba Allah, dan tidak mampu menemukan nilai positif dalam dirinya. Sehingga mereka kehilangan jati diri dalam memaknai kehidupan dan menuntut eksistensi dengan cara yang salah.
Selain itu lemahnya kontrol diri remaja bahkan sampai pada predikat yang buruk, berdampak pada ketidakstabilan emosi. Kemarahan dan rasa frustrasi mudah terpicu dan berujung pada kekurangpekaan mereka terhadap lingkungan sosialnya. Kontrol diri yang lemah dan buruk ini akan membawa remaja pada kecenderungan melarikan diri atau menghindar dari masalah yang dihadapi. Mereka menjadi suka menyalahkan orang lain dan memilih tawuran sebagai cara singkat keluar dari masalah.
Faktor penyebab dari sisi peran orang tua. Orang tua kurang memberikan perhatian dan kasih sayang. Karena sibuk bekerja demi memenuhi tuntutan hidup akan materi, membuat orang tua lalai memahami masalah dan kondisi yang dihadapi anak-anak mereka.
Kedekatan fisik dan emosional orang tua yang mempengaruhi psikologis anak pun menjadi abai dan tergantikan dengan pemenuhan materi sebagai limpahan kasih sayang yang salah. Anak-anak menjadi rapuh dalam menghadapi masalah, dan membuka celah perilaku-perilaku negatif seperti tawuran.
Penanaman karakter dan akhlak baik, juga tidak lepas dari pengasuhan orang tua. Hal ini akan berpengaruh pada pengelolaan emosi anak dalam lingkungan sosialnya. Bahkan, pengawasan lingkaran pertemanan yang salah akan menggiring anak pada tawuran.
Penyebab fenomena tawuran dari sisi masyarakat, berkaitan dengan lembaga pendidikan yang kurang berperan aktif dalam mencegah tawuran. Edukasi pemahaman yang akan mengubah pemikiran pelajar terhadap tawuran tidak tepat mengena pada dasar pemikiran. Karena lembaga pendidikan saat ini lebih berorientasi sebagai tempat mendapatkan ijazah, dan bukan sebagai tempat pertumbuhan dan pembinaan karakter manusia.
Selain itu, media massa hingga media sosial menyajikan permainan yang mengandung konten kekerasan yang bebas dan mudah diakses para remaja, akan memicu pikiran dan perilaku agresif. Mereka menjadi orang yang mudah tersulut emosinya hanya karena hal-hal sepele.
Peran Negara : Penyebab Utama Tawuran Berulang
Faktor yang tidak kalah penting dan utama adalah peran negara sebagai pemegang regulator sistem kemasyarakatan. Karena tawuran bukan hanya masalah masyarakat, sekolah, dan keluarga, tetapi lebih kepada masalah sistematik yang semuanya saling berkaitan.
Peran negara juga yang akan mampu menciptakan lingkungan yang baik bagi remaja. Melindungi dan menjaga generasi dari pengaruh-pengaruh budaya dan pemikiran yang merusak. Sedemikian penting itulah eksistensi negara untuk menyelamatkan generasi dari fenomena tawuran yang merusak.
Kapitalisme dan sekularisme yang saat ini diterapkan negara Indonesia merupakan faktor paling berimbas pada tawuran yang terus berulang. Sistem sekuler yang meniadakan nilai-nilai agama dari kehidupan telah berhasil mencabut pagar pembatas kebebasan perbuatan manusia. Aturan agama yang menghalangi manusia berbuat maksiat, takut akan dosa tercerabut oleh sistem ini. Menciptakan remaja yang sempurna secara fisik, namun alpa dalam ketaatannya kepada pencipta manusia.
Liberalisme, sebagai akar ideologi kapitalisme, semakin memperparah pemikiran remaja. Atas nama hak dan kebebasan, membuat remaja bebas berbuat dan berkehendak. Aturan agama dianggap sebagai pengekang kebebasan hak asasi manusia. Menghilangkan rasa takut akan dosa, dan bebas sekehendak hati walaupun dampaknya merugikan orang lain.
Inilah yang tengah menyusup pada semua sistem aturan negara kita. Dalam kurikulum pendidikan, pemerintah Indonesia telah mencoret frasa agama dari peta jalan pendidikan. Agama dianggap candu karena akan menghalangi tujuan hidup memperoleh kesenangan. Kebahagiaan hidup pun diukur dari banyaknya materi sehingga menghasilkan manusia-manusia yang berambisi akan materi dan duniawi.
Sekularisme sukses melakukan itu semua. Melemahkan akidah remaja dan merusak moral generasi bangsa. Remaja tidak mampu memahami hakikat kehidupan yang datang dari pencipta. Sehingga, krisis pencarian jati diri dan lemahnya kontrol diri remaja terus berkembang dan menjadi momok tak kunjung selesai.
Belum lagi tatanan ekonomi kapitalisme yang berhasil meregulasi keluarga Indonesia. Menjadikan para orang tua harus bekerja keras hanya demi memenuhi kebutuhan hidup. Kepuasan materi menjadi standar dan tolak ukur kehidupannya, membawa efek bagi orang tua mendidik tidak dengan agama.
Para orang tua mengukur keberhasilan pendidikan dari kalkulasi angka sebagai standar mendapatkan pekerjaan yang layak. Sehingga, orang tua lebih khawatir dengan nilai akademik anak yang merosot daripada moralnya yang anjlok.
Negara juga belum mampu membuat aturan bermedia yang dapat menyaring pengaruh buruk bagi remaja. Pada era kapitalisme-liberalisme saat ini, tidak ada syarat ketat dalam hal bermedia. Tayangan-tayangan yang tidak mendidik bebas berselancar dalam layar. Siapa saja yang memiliki modal bebas mengelola dan menerbitkan media massa dan media sosial. Sehingga budaya dan nilai-nilai liberal yang memperlihatkan kekerasan dan merusak, menjelma menjadi tayangan layak dan sangat mudah diakses oleh remaja.
Begitu besarnya bahaya dampak sistem kapitalisme-sekuler. Bahkan, mampu mendorong manusia untuk bersikap melampai batas aturan agama. Letupan-letupan keresahan sosial di masyarakat yang sedang terjadi akibat tawuran, akan menjadi bom yang siap meledak dan menghancurkan generasi penerus bangsa suatu saat nanti, jika kapitalisme-sekuler masih tetap dijadikan ideologi negara.
Tawuran Lenyap dalam Sistem Aturan Islam
Umat muslim harus memahami, bahwa kapitalisme-sekuler adalah ideologi yang lahir dari pemikiran manusia. Berawal dari pemisahan aturan gereja dan pemerintahan, kemudian terus berkembang dan dipakai secara luas di banyak negara dunia, pun di Indonesia. Inilah alasan ideologi kapitalisme-sekuler tidak akan mampu memberikan solusi tuntas setiap permasalahan manusia. Seperti tawuran remaja ini yang selalu saja menjadi masalah berkelanjutan.
Lain halnya dengan Islam. Kita yakin, Islam datang dari Allah, pencipta manusia. Berisi aturan yang wajib dilaksanakan sebagai bentuk ketaatan dan pertanggungjawaban. Oleh karena itu, Islam bukan hanya sekadar agama untuk ibadah saja, tetapi cakupannya lebih luas lagi. Islam adalah sebuah ideologi yang berawal dari akidah sebagai fondasi dasar tauhid dan melahirkan seperangkat aturan dari Allah Swt. untuk diterapkan dan dilaksanakan manusia.
”Islam adalah rahmatan lil 'alamin, rahmat bagi seluruh alam. “ (TQS. Al-Anbiya : 107). Bukan hanya bagi kaum muslimin, tetapi juga bagi pemeluk agama lain yang bebas menjalankan ibadah agamanya dalam naungan aturan Islam. Begitu indah dan adilnya aturan Islam yang sejatinya berasal dari Allah untuk mengatur kehidupan seluruh manusia.
Seperti pada zaman Rasulullah saw., suri teladan yang setiap perbuatannya adalah contoh yang harus kita ikuti. Di Madinah, saat negara Islam pertama kali berdiri, tidak hanya orang Islam saja yang berada dalam payung kepemimpinan Rasulullah sebagai kepala negara saat itu. Nasrani, Paganisme, dan sebagian besar penduduk Yatsrib (nama kota Madinah saat itu) beragama Yahudi, hidup dalam aturan Islam di bawah Rasulullah.
Sebagaimana dalam Piagam Madinah, masyarakat bersatu dengan keberagaman kelompok dan agama. Antarsesama warga Madinah mempunyai hak dan kewajiban yang sama dalam kemasyarakatan dan kenegaraan dalam satu aturan yaitu hukum syariat Islam.
Karena syariat Islam adalah tatanan kehidupan yang mampu membimbing manusia menjalankan fungsi akalnya demi memperoleh kebahagiaan dunia, hingga akhirat. Islam juga berfungsi sebagai kontrol sosial demi memperoleh kebahagiaan, bukan hanya bagi dirinya sendiri, tetapi juga bagi orang lain di sekitarnya.
Apalah jadinya jika hidup tanpa aturan Islam. Kerusakan akal hingga kekacauan moral akan terus menyelubungi pikiran dan kehidupan manusia. Tak ayal lagi, fenomena tawuran pun tidak lagi dipandang negatif, tetapi dipilih sebagai solusi perselisihan oleh remaja.
Dalam Islam, tawuran dihukumi haram karena dapat saling melukai hingga saling bunuh membunuh. Hilangnya nyawa akibat tawuran merupakan kematian yang sia-sia, dan dinilai sebagai jenazah yang tidak terhormat, karena termasuk dalam kematian jahiliah dengan kondisi fasik.
Dari Abu Hurairah, Nab saw. bersabda: "Siapa yang berperang karena sebab tidak jelas, marah karena fanatik kelompok, atau motivasi ikut kelompok, atau dalam rangka membantu kelompoknya, kemudian dia terbunuh, maka dia mati jahiliah." (HR. Muslim No. 1848).
Permasalahan tawuran membutuhkan kehadiran negara yang menerapkan Islam kaffah agar tidak terus berulang. Karena permasalahan sistematik maka penyelesaiannya pun harus secara sistematik. Semua aspek yang saling terkait dalam sistem kapitalisme-sekuler membuat problem tawuran layaknya benang kusut yang sulit terurai. Dan akan lepas secara menyeluruh bila dikembalikan kepada aturan Islam. Mulai dari aspek pendidikan, ekonomi, sosial kemasyarakatan, hingga muatan politik yang senantiasa berorientasi pada kepentingan dan kesejahteraan masyarakat bukan kesejahteraan golongan atau individu seperti dalam sistem kapitalisme-sekuler.
Oleh sebab itu, kita wajib menerapkan Islam kaffah untuk mengembalikan fungsi negara sesuai dengan perannya, yaitu sebagai pengurus dan pelindung masyarakat. Tidak hanya dari kemaksiatan dunia, tetapi juga dari siksaan pedih di akhirat. Negara juga wajib hadir sebagai institusi tegaknya aturan Allah Swt. sebagai wujud ketaatan manusia yang ditunjuk Allah sebagai khalifah di muka bumi. Serta mengembalikan peran pemuda menjadi generasi cemerlang penerus tongkat estafet peradaban bukan aktor tawuran. Wallaahu a'lam bi ash-shawwab. []