Paradoks Kebebasan Berpendapat dalam Demokrasi

"Sistem pemerintahan Islam ini telah membawa semua rakyat yang ada di dalamnya hidup dengan rukun, tenang, nyaman, dan adil. Tidak ada sikap arogan dan sewenang-wenang yang dilakukan oleh aparat pemerintah kepada rakyatnya. Tidak ada diskriminasi terhadap warga negaranya. Semua memiliki hak dan kewajiban yang sama. Semua boleh mengkritik kebijakan yang tidak sesuai dengan syariat Islam."

Oleh. Firda Umayah
(Kontributor NarasiPost.Com)

NarasiPost.Com-"Kritik itu dikoreksi, kok dihabisi". Begitulah salah satu kalimat yang dibawa para demonstran penuntut kebebasan aktivis HAM, Haris Azhar (HA) dan koordinator KontraS, Fatia Maulidiyanti (FM). HA dan FM didakwa Jaksa Penuntut Umum (JPU) atas dugaan tindak pidana penghinaan dan atau pencemaran nama baik kepada Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Panjaitan, di Pengadilan Negeri Jakarta Timur pada Senin, 3 April 2023. Video wawancara HA dan FM yang diunggah di channel YouTube menjadi bukti atas dugaan tersebut (bbc.com, 3-4-2023).

Kejadian Berulang

Apa yang menimpa HA dan FM bukanlah yang pertama kali terjadi di bumi pertiwi. Sebelumnya, Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko juga melaporkan pencemaran nama baik terhadap dirinya yang dilakukan oleh aktivis ICW Egi Primayogha dan Miftachul Choir. Terdakwanya para aktivis membuat sebagian aktivis, penggiat HAM dan akademisi meminta penghapusan pasal pencemaran nama baik di UU ITE. Mereka menganggap bahwa pasal tersebut membungkam para aktivis untuk aktif memberikan kritik dan koreksi kepada pemerintah. Mereka juga menganggap bahwa UU ini telah membungkam kebebasan berpendapat dalam demokrasi.

Sungguh, apa yang terjadi kepada HA dan FM adalah salah satu bukti bahwa paradoks kebebasan berpendapat terjadi dalam sistem demokrasi. Di satu sisi, rakyat dipromosikan untuk bebas berpendapat. Namun di sisi lain, rakyat terpenjara dengan UU yang membungkam pendapat mereka. Ketidakadilan hukum dalam demokrasi juga tampak jelas dari pemberian hukuman yang diberikan kepada para aktivis yang lantang menyuarakan apa yang bertentangan dengan kehendak negara.

Bahkan, hal ini juga menimpa sejumlah aktivis dakwah yang turut menyuarakan ajaran Islam yang mereka yakini. Seperti penangkapan beberapa ulama dan persekusi yang diberikan kepada mereka. Hampir tak ada keadilan yang hakiki dalam sistem demokrasi. Jargon dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat hanyalah pepesan kosong belaka. Semua kekuasaan kembali kepada para kapitalis. Inilah gambaran cacatnya sistem kapitalisme. Sistem yang berlandaskan sekularisme. Sistem yang menafikan ajaran agama dalam kehidupan. Sistem yang berasal dari akal manusia yang lemah dan terbatas. Sistem yang akan selalu menimbulkan pertentangan dan kesengsaraan hidup manusia.

Ketika Syariat Islam Bersuara

Berbeda dengan sistem demokrasi, dalam sistem pemerintahan Islam yakni Khilafah, warga negara berhak memberikan kritik atas kezaliman penguasa kepada rakyatnya. Rakyat berhak mengadukan keluhan atas penerapan syariat Islam yang tidak sesuai dengan dalil-dalil syarak. Rakyat dapat mengadukannya secara langsung kepada pemimpin yang menjabat atau melalui majelis umat.

Dalam pemerintahan Khalifah Umar bin Khattab, misalnya. Suatu ketika, Khalifah Umar pernah menetapkan batasan mahar yang diterima oleh seorang muslimah sebesar 400 dirham lantaran keluhan yang didapatkan dari muslim yang ada saat itu. Ketetapan Umar tersebut lantas ditolak oleh seorang muslimah yang mengingatkan Umar atas firman Allah Swt..

"Dan jika kamu ingin mengganti istrimu dengan istri yang lain, sedangkan kamu telah memberikan kepada seorang di antara mereka harta yang banyak, maka janganlah kamu mengambil kembali sedikit pun darinya. Apakah kamu akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang dusta dengan (menanggung) dosa yang nyata?" (TQS. An-Nisa': 20)

Mendengar ucapan yang disampaikan oleh muslimah tersebut, Umar lantas mengatakan bahwa perempuan itulah yang benar, sedangkan Umar yang salah. Sehingga Umar mencabut ketetapan mahar yang telah disampaikan. Sungguh, inilah gambaran pemimpin yang dilandasi oleh keimanan dan ketakwaan. Pemimpin yang tunduk kepada syariat Islam. Pemimpin yang tak malu mengakui kesalahannya. Karena rasa takut kepada Rabb-nya berada di atas segalanya.

Sosok pemimpin seperti Umar bin Khattab tidaklah hadir dengan sendirinya. Pemimpin ini lahir dari sistem Islam, sistem yang dilandasi dengan keimanan. Di mana akidah Islam menjadi landasannya, sehingga melahirkan semua aturan kehidupan yang juga bersumber dari syariat Islam. Mulai dari aturan di dalam sistem ekonomi, pendidikan, hukum, sosial, politik, dan yang lainnya.

Sistem pemerintahan Islam ini telah membawa semua rakyat yang ada di dalamnya hidup dengan rukun, tenang, nyaman, dan adil. Tidak ada sikap arogan dan sewenang-wenang yang dilakukan oleh aparat pemerintah kepada rakyatnya. Tidak ada diskriminasi terhadap warga negaranya. Semua memiliki hak dan kewajiban yang sama. Semua boleh mengkritik kebijakan yang tidak sesuai dengan syariat Islam. Namun tak boleh mengkritik keberadaan syariat Islam itu sendiri. Sebab, yang berhak menentukan hukum hanyalah Allah Swt. sebagaimana firman-Nya dalam Al-Qur'an surah Al-An'am ayat 57.

قُلْ اِنِّيْ عَلٰى بَيِّنَةٍ مِّنْ رَّبِّيْ وَكَذَّبْتُمْ بِهٖۗ مَا عِنْدِيْ مَا تَسْتَعْجِلُوْنَ بِهٖۗ اِنِ الْحُكْمُ اِلَّا لِلّٰهِ ۗيَقُصُّ الْحَقَّ وَهُوَ خَيْرُ الْفَاصِلِيْنَ

"Katakanlah (Muhammad), 'Sesungguhnya Aku berada di atas keterangan yang nyata (Al-Qur'an) dari Tuhanku sedang kamu mendustakannya. Bukanlah kewenanganku (untuk menurunkan azab) yang kamu tuntut untuk disegerakan kedatangannya. Menetapkan (hukum itu) hanyalah hak Allah. Dia menerangkan kebenaran dan Dia pemberi keputusan yang terbaik'."

Penutup

Islam sebagai agama sekaligus ideologi yang hadir dalam kehidupan merupakan sekumpulan fikrah dan thariqah yang memiliki arahan hidup yang jelas dalam bermasyarakat dan bernegara. Selama Islam hadir dan diterapkan dalam institusi negara, maka selama itu pula terjadi hubungan yang baik antarumat beragama dan masyarakat pada umumnya. Karena Islam tidak pernah mencampuradukkan antara kebenaran dengan kebatilan. Islam hadir sebagai solusi atas segala permasalahan hidup yang dapat dipelajari dan dipahami langsung berdasarkan dalil-dalil syarak.

Oleh karena itu, sudah saatnya umat Islam kembali kepada syariat Islam secara keseluruhan. Kembali kepada syariat dengan penuh keimanan dan ketakwaan kepada Allah Swt. Wallahu a'lam bishawab.[]

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]

Kontributor NarasiPost.Com
Firda Umayah Tim Penulis Inti NarasiPost.Com Salah satu Penulis Inti NarasiPost.Com. Seorang pembelajar sejati sehingga menghasilkan banyak naskah-naskahnya dari berbagai rubrik yang disediakan oleh NarasiPost.Com
Previous
Ramadan: Tegakkan Dakwah dan Jihad
Next
Ramadan, Memupuk Ketakwaan dan Semangat Perjuangan Islam
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram