"Hal ini menandakan bahwa sistem ekonomi kapitalisme yang selama ini diterapkan di negeri ini telah gagal membawa kesejahteraan bagi rakyatnya."
Oleh. Maman El Hakiem
(Kontributor NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Majalah bisnis dan keuangan, Forbes, kembali merilis daftar para miliarder dunia. Kali ini, Indonesia masuk ke dalam daftar 20 negara dari 77 negara di dunia. Bahkan, menjadi penyumbang miliarder terbanyak.
Ada pendatang baru, yaitu Panama dan Armenia yang masuk daftar orang terkaya sejagat tersebut, seperti dikutip dari laman berita Detik.com (9/4/2023), ada nama Stanley Motta, miliarder pemegang saham perusahaan Panama Banco General dan miliarder dari Armenia, Ruben Vardanyan.
Secara geopolitik, Panama dan Armenia merupakan dua negara kecil yang berada di Amerika Tengah dan Kaukasus Selatan, Asia Barat yang mayoritas penduduknya masih berpenghasilan rendah sebagaimana halnya Indonesia. Bedanya, Indonesia memiliki kekayaan alam yang melimpah dan wilayahnya sangat luas.
Tidak mengherankan jika ada miliarder asal Indonesia, tetapi yang disayangkan mereka adalah segelintir orang tajir yang selama ini tinggal di tengah kehidupan mayoritas rakyatnya yang masih fakir, jika tidak mau dikatakan miskin yang sebenarnya.
Secara umum rakyat di negeri mayoritas muslim ini, masih berada pada garis kemiskinan, bahkan disinyalir masih ada yang tergolong kemiskinan ekstrem. Yang dimaksud dengan kemiskinan ekstrem adalah keadaan masyarakat yang tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar seperti makanan, air bersih, rumah layak, sanitasi, hingga akses ke layanan sosial.
Dalam hal ini, Bank Dunia memiliki barometer kemiskinan berdasarkan angka per kapita yang telah direvisi dari US$ 1,90 menjadi US$ 2,15 per kapita per hari. Menurut data BPS, angka level kemiskinan Indonesia berada di angka 1,2 persen dari angka 2,5 persen yang ditetapkan Bank Dunia.
Anomali Kesenjangan Sosial
Banyaknya miliarder Indonesia yang masuk daftar orang terkaya dunia menandakan anomali kesenjangan sosial atas keberadaan kaum tajir di tengah kehidupan rakyat yang fakir. Dalam terminologi Islam, fakir, dan miskin pengertiannya berbeda, meskipun memiliki persamaan, yaitu menunjukkan keadaan seseorang yang memiliki harta kekayaan di bawah standar sejahtera.
Mereka yang fakir adalah orang yang memiliki pekerjaan, namun penghasilannya tidak dapat mencukupi kebutuhan hidupnya. Sedangkan orang miskin adalah mereka yang tidak berpenghasilan sama sekali, untuk kebutuhan makan saja masih meminta belas kasihan orang lain.
Adanya kesenjangan sosial atau jurang pemisah antara orang tajir melintir dengan orang fakir dan miskin. Hal ini menandakan bahwa sistem ekonomi kapitalisme yang selama ini diterapkan di negeri ini telah gagal membawa kesejahteraan bagi rakyatnya. Hal yang wajar, karena kapitalisme sebagaimana juga sosialisme melihat kesejahteraan rakyat hanya dilihat dari satu sudut pandang yang sama, yaitu angka-angka pendapatan semu per kapita dengan menguatkan sektor produksi barang atau jasa tanpa memerhatikan bagaimana distribusinya terhadap rakyat secara keseluruhan.
Harta Kekayaan dalam Islam
Para ulama ushul fiqih, mengatakan bahwa harta kekayaan adalah sesuatu yang dapat dimiliki dan disimpan untuk keperluan tertentu, dalam hal ini terdapat dua jenis, yaitu menyangkut harta yang terlihat fisiknya berupa materi dan harta yang hanya dapat dirasakan manfaatnya, seperti hak kekayaan intelektual atau penemuan yang dipatenkan.
Syekh Taqiyuddin An-Nabhani dalam buku Sistem Ekonomi Islam, menjelaskan bahwa tujuan mencari harta kekayaan yang diperintahkan oleh Islam bukan untuk alat pemuas kebutuhan semata dan untuk kebanggaan, melainkan untuk menjalankan roda perekonomian secara menyeluruh sesuai dengan perintah dan larangan Allah Swt.
Harta kekayaan dalam Islam merupakan amanah dari Allah Swt. yang harus diperhatikan dari cara memperolehnya, pemanfaatan, dan pengembangan harta yang telah menjadi miliknya. Kepemilikan harta juga di bedakan menjadi tiga bagian, yaitu kepemilikan individu, kepemilikan umum, dan kepemilikan negara.
Harta kekayaan harus diperoleh dengan cara yang halal atau sesuai dengan hukum syariat, dan harus digunakan dengan cara yang baik dan bermanfaat bagi diri sendiri, keluarga, dan masyarakat. Ada banyak aturan dan prinsip dalam Islam yang berkaitan dengan pengelolaan harta kekayaan, termasuk zakat, infak, sedekah, dan hibah, yang semuanya dimaksudkan untuk membantu mengatur penggunaan harta kekayaan dengan cara yang baik dan benar.
Syariat Islam memandang, bahwa kekayaan dan kemakmuran dianggap sebagai anugerah Allah Swt. yang diberikan kepada siapa yang Dia kehendaki. Salah satu ayat dalam Al-Quran dan hadis yang dapat dijadikan dalil agar seorang muslim menjadi kaya bisa dilihat dalam QS. Ali-Imran ayat 26-27 dan sebuah hadis dari Nabi Muhammad saw. yang mengatakan, "Siapa yang berpegang teguh pada agamanya, Allah akan memberikan kepadanya kemudahan dalam hidupnya dan di akhirat."
Dari dalil-dalil tersebut, dapat disimpulkan bahwa untuk menjadi kaya dalam Islam, seorang muslim harus memperbaiki hubungannya dengan Allah Swt., berpegang teguh pada agamanya, berbuat baik kepada sesama, dan berusaha untuk berguna bagi orang lain. Kekayaan dan kemakmuran bukanlah tujuan utama dalam hidup, namun hanyalah anugerah dari Allah Swt. yang diberikan kepada mereka yang berusaha dan berdoa dengan tulus kepada-Nya.
Harta kekayaan di tangan orang-orang yang beriman akan selalu terjaga karena akan memberikan banyak kebaikan bagi lingkungan sekitarnya. Dalam hal ini bisa bercermin kepada sosok sahabat Nabi saw., Abdurahman bin Auf, bukan hanya sebagai seorang miliarder pada zamannya, melainkan juga sosok yang tangguh dalam berdakwah dan hartanya menjadi berkah karena sepertiga untuk nafkah, sepertiga untuk bisnis, dan sepertiga lagi untuk infak di jalan Allah.
Abdurrahman bin Auf dengan kekayaannya yang penuh berkah menjadikan dirinya sebagai orang yang super tajir, namun tidak kikir karena pola pikir dan pola sikapnya dibentuk berdasarkan akidah Islam yang benar, sehingga memiliki kepribadian Islam secara kaffah. Tidak seperti para miliarder dalam sistem kapitalisme saat ini yang super kaya tapi hidup dalam kefakiran rakyat dan kebatilan sistem ekonomi yang diterapkannya. Wallahu a’lam bi ash-shawwab[]