"Maka dalam sistem ini, pengawasan penguasa lemah terhadap sesama, karena orientasi kapitalisme yang menjadikan materi sebagai tujuan tertinggi. Sehingga akan membuat penguasa berusaha untuk tetap eksis dalam jabatannya."
Oleh. Isty Da’iyah
(Kontributor NarasiPost.Com dan Mutiara Umat Institute)
NarasiPost.Com-Seolah tidak ada habisnya jika berbicara korupsi di negeri ini. Sejak zaman dulu hingga kini, korupsi di Indonesia sulit untuk diberantas, bahkan makin marak. Korupsi seakan sudah mendarah daging dan menggurita. Dari pejabat pemerintah, anggota dewan, atau ASN. Hal ini jelas membuat gerah banyak pihak. Tindakan yang merugikan negara dan melukai hati nurani rakyat ini bagaikan pandemi yang tidak bisa terkendali.
Berawal dari kasus Rafael anak seorang pejabat pajak, akhirnya banyak kasus terkuak. Kasus ini membuka banyak borok kasus korupsi dalam tubuh aparat. Bahkan berdasarkan keterangan dari Mahfud MD selaku Menkopolhukam, terdapat 491 orang yang terlibat dalam kasus korupsi dan tindak pidana pencucian uang, dengan jumlah total transaksi sampai mencapai Rp349 triliun. Bahkan kabar terbaru adanya pencegahan 10 orang ke luar negeri, terkait dugaan korupsi tunjangan kinerja (Tukin) pegawai di Kementerian ESDM, yang kerugiannya mencapai Rp30 miliar. Kasus ini menambah daftar panjang maraknya korupsi yang terjadi. (Jawapost.com, 31/3/23)
Dari makin meningkatnya kasus korupsi, maka muncullah Kelompok Masyarakat Sipil Gerakan Tuntaskan Reformasi, yang mendesak Jokowi untuk menerbitkan Perppu Perampasan Aset Hasil Tindak Pidana, sebagai bentuk dukungan kepada Menkopolhukam Mahfud MD yang sekaligus sebagai Ketua Komite Koordinasi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU), yang mengusulkan adanya pembahasan RUU Perampasan Aset Tindak Pidana kepada DPR. (Tempo.co, 03/04/2023)
RUU Perampasan Aset Seperti Bumerang?
Kejahatan korupsi pencucian uang bukanlah kejahatan tunggal. Namun kejahatan ganda, karena dalam kasus pencucian uang ada dua kelompok. Yakni kelompok pelaku secara langsung dan tidak langsung, sebagai contoh akan melibatkan penyedia jasa keuangan baik perbankan maupun non perbankan. Sehingga tindak pidana korupsi pencucian uang merupakan kejahatan yang terorganisasi yang menimbulkan efek kerugian yang luar biasa bagi negara.
Mengingat akan hal ini, Arsul Sani yang merupakan anggota Komisi III DPR mengatakan, pihaknya menyetujui pengesahan RUU Perampasan Aset Pidana. Karena hal ini diperlukan agar pengembalian aset negara bisa dilakukan tanpa proses yang lama. Karena dengan adanya RUU ini kewenangan untuk menyita dan melelang dapat segera dilakukan, tanpa harus menunggu proses pengadilan yang lama, sebagaimana yang terjadi saat ini. (Kompas.com, 1/4/2023)
Namun, dalam praktiknya RUU Perampasan Aset Tindak Pidana hingga kini belum ada kejelasan. Padahal Indonesia telah menandatangani konvensi tersebut pada tahun 2003 dan melakukan ratifikasi dengan membuat Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2006. Terhambatnya pembahasan RUU ini diakibatkan oleh keengganan dari pihak-pihak terkait. Karena RUU Perampasan Aset Tindak Pidana berpotensi menjadi bumerang bagi kepentingan individu dan kelompok mereka sendiri yakni pemerintah dan anggota DPR.
Dalam mekanismenya RUU Perampasan Aset Tindak Pidana, akan mempermudah proses pelacakan hingga perampasan aset harta yang diduga berasal dari kejahatan korupsi, untuk dikembalikan ke kas negara. Hal ini menuntut keseriusan negara dalam merealisasikannya, karena para koruptor makin canggih dalam melakukan tindak pencucian uang.
Namun, hal ini akan menimbulkan polemik bagi pembuat undang-undang. Sebagaimana dalam sistem demokrasi, yang mana manusia bisa membuat hukum, maka hukum bisa berubah sesuai kepentingannya. Hukum atau undang-undang dibuat agar bisa memberi keuntungan kepada pihak-pihak tertentu. Jika sekiranya undang-undang tersebut tidak memberi keuntungan, maka sampai kapan pun jangan mimpi akan terealisasi.
Sehingga dengan adanya gurita korupsi yang tengah terjadi, dan kuatnya sekularisme yang merasuki negara ini, maka memunculkan pertanyaan lanjutan tentang RUU ini. Apakah pengesahan RUU Perampasan Aset Tindak Pidana mampu mencegah gurita korupsi? Kapankah RUU ini akan bisa terealisasi, mengingat RUU ini punya peluang untuk menjadi bumerang bagi pihak-pihak tertentu?
Fakta ini adalah gambaran produk hukum yang lahir dari sistem demokrasi. Sistem ini batil karena lahir dari paham sekularisme, paham yang memisahkan agama dari kehidupan. Maka dalam sistem ini pengawasan penguasa lemah terhadap sesama, karena orientasi kapitalisme yang menjadikan materi sebagai tujuan tertinggi. Sehingga akan membuat penguasa berusaha untuk tetap eksis dalam jabatannya. Undang-undang dalam sistem ini bisa diubah sesuai keinginan para pembuatnya. Bahkan hukum juga bisa hanya berlaku untuk kalangan tertentu saja.
Mekanisme Islam dalam Memberantas Korupsi
Berbeda dengan sistem Islam yang mempunyai mekanisme efektif dalam mencegah korupsi. Ketakwaan individu, kontrol masyarakat, dan peran negara yang menerapkan aturan yang berdasarkan hukum Allah Swt. telah mampu mencegah terjadinya korupsi. Sebagaimana yang terjadi dalam masa kekhalifahan Umar bin Khattab r.a. dan setelahnya. Sejarah telah mencatat bagaimana sistem pemerintahan Islam berhasil membangun sebuah sistem pemerintahan yang bersih dari korupsi.
Dalam sistem Islam, negara sebagai pelaksana hukum wajib menggunakan syariat Islam dalam sistem pemerintahannya. Sistem kehidupan yang komprehensif ini akan melahirkan sebuah sistem politik Islam yang jauh dari kepentingan kapital dan oligarki sehingga jauh dari praktik korupsi.
Penguasa yang dipilih sebagai wakil umat, akan menjalankan amanahnya untuk menerapkan hukum Islam. Cara pandang yang lahir dari keimanan membuat para penguasa dan pejabat akan memiliki kontrol keimanan untuk melaksanakan amanah dalam jabatannya. Sebagaimana hadis Rasulullah yang diriwayatkan oleh Bukhari Muslim yang artinya: “ Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang dipimpinnya.”
Pejabat dalam sistem Islam ditunjuk langsung oleh penguasa, sehingga akan menghilangkan politik transaksional yang bisa menjadi pintu masuknya korupsi.
Beberapa langkah sistem Islam dalam mencegah dan menindak korupsi di antaranya:
Pertama, penanaman akidah yang kuat bagi setiap individu. Menciptakan suasana keimanan dalam lingkup individu, masyarakat, dan negara sebagai kontrolnya.
Kedua, mengangkat pejabat dan aparat negara berdasarkan profesionalitas dan integritas. Bukan koneksitas atau nepotisme. Pejabat harus mempunyai kriteria kemampuan dalam bidangnya dan mempunyai kepribadian Islam. Sehingga perlu adanya pembinaan kepada seluruh pejabat agar tetap berjalan sesuai syariat yang telah ditentukan.
Ketiga, negara akan memastikan setiap pegawai tercukupi, dan terjamin kebutuhannya. Sehingga mereka akan optimal melakukan tugas jabatannya. Termasuk di dalamnya diberlakukan larangan bagi pejabat untuk menerima suap dan hadiah.
Keempat, melakukan pengecekan berkala terhadap harta pejabat dengan melakukan metode pembuktian terbalik, yakni penghitungan kekayaan pejabat di awal dan akhir masa jabatannya. Negara akan menelusuri jika ditemukan pejabat yang melakukan kecurangan, maka akan dilakukan pembuktian.
Kelima, pengawasan dari masyarakat berupa sanksi yang tegas dan setimpal. Penindakan hukuman yang bisa membuat jera. Dalam Islam hal ini disebut sanksi takzir, karena telah merugikan negara kaum muslim. Sanksi tegas yang kadar hukumannya di tentukan oleh hakim atau qadhi.
Langkah-langkah ini hanya akan terlaksana jika hukum Islam diterapkan dalam segala aspek kehidupan. Karena sebaik-baiknya aturan adalah aturan dari Allah Yang Maha Mengatur. Sehingga masihkah kita akan berpaling dari aturan Allah? Karena Allah telah memperingatkan umat manusia dalam Al-Qur’an di surah Taha ayat 124 yang artinya: “ Dan barang siapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sungguh, dia akan menjalani kehidupan yang sempit…”
Wallahu a'lam bish shawab[]