”Suburnya kasus pencucian uang adalah buah dari penerapan sistem kapitalisme. Dengan orientasi keuntungan, pejabat melegalkan segala cara untuk meraih apa yang diinginkan.”
Oleh. Novianti
(Kontributor NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Kasus Rafael ibarat membuka kotak pandora yang membongkar kebobrokan para pejabat negara. Terkuak kasus berikutnya yaitu transaksi janggal Rp349 triliun di Kemenkeu. Kasus ini berbuntut rapat antara Mahfud MD selaku Menkopolhukam sekaligus sebagai ketua Komite Koordinasi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) dengan anggota DPR. Rapat diwarnai saling serang dengan suasana panas.
Kelompok Masyarakat Sipil Gerakan Tuntaskan Reformasi mendesak Jokowi segera menerbitkan Perppu Perampasan Aset Hasil Tindak Pidana untuk mendukung Mahfud MD menindak kejahatan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU). Ini dikarenakan RUU Perampasan Aset Tindak Pidana belum disahkan padahal sudah ada di DPR sejak 2006. (Tempo.co, 03/04/2023)
Temuan terkait kekayaan fantastis pejabat negara, seperti Rafael Alun Trisambodo, pejabat Direktorat Jenderal Pajak, serta para pejabat lainnya tidak bisa dirampas. Meski kekayaan mereka mencurigakan karena ada ketidakseimbangan antara penambahan aset kekayaan dengan sumber penghasilan. Melalui Perppu, jika terbukti sumber kekayaannya terkategorikan tindakan pidana, bisa diambil alih negara.
Jalan Berliku
Indonesia sudah menandatangani Konvensi PBB Melawan Korupsi dan meratifikasinya dengan UU 7/2006. Namun, menurut Sekretaris Jenderal Kelompok Masyarakat Sipil Gerakan Tuntaskan Reformasi Dedi Prihambudi, UU tersebut belum dilaksanakan. Korupsi malah semakin menggila, terbukti Index Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia turun dari 38 menjadi 34 pada 2022. Ini merupakan angka IPK terburuk sejak era reformasi.
Desakan segera disahkan UU Perampasan Aset juga tidak mudah direalisasikan. Dirilis Cnnindonesia.com (31/03/2023) Ketua Komisi III DPR Bambang Wuryanto mengatakan agar lahir UU Perampasan Aset harus mendapat persetujuan dari ketua partai karenanya pemerintah harus melobi mereka.
Abdullah Hehamahua, mantan penasihat KPK saat diwawancarai di channel Pusat Kajian Analisis Data (PKAD) mengemukakan RUU Perampasan Aset kecil kemungkinan menjadi agenda pembahasan anggota dewan yang sebentar lagi akan berakhir. Apalagi upaya penegakan hukum terkait korupsi sering kali berhadapan dengan para pelaku yang melibatkan banyak kelembagaan.
Langkah cepat bisa melalui pembentukan Pansus yang diprakarsai oleh DPR. Pembentukan Pansus bisa didukung 2 partai dan masing-masing partai beranggotakan minimal 20 orang di parlemen. Namun, masing-masing partai juga tergantung pada arahan ketuanya. Sementara, hampir tidak ada satu pun partai terutama partai besar yang terbebas dari pusaran korupsi. Bahkan, antarpartai juga saling melindungi.
Inilah yang menyebabkan upaya pembersihan di tubuh pemerintah dari tikus-tikus pencuri uang rakyat begitu berliku. Seperti melewati jalan gelap yang tidak berujung.
Menakar UU Perampasan Aset
Pernyataan Mahfud MD bahwa kasus korupsi terjadi di mana-mana menunjukkan demikian rusaknya mental pejabat. Padahal, kejahatan korupsi jelas merampas hak rakyat. Sebagai contoh, jika celah-celah korupsi di dunia pertambangan saja bisa dihentikan, setiap warga termasuk anak-anak bisa mendapat uang Rp20 juta setiap bulan tanpa kerja. (kontan.co.id, 22/03/2023)
Menurut Muhammad Ishak Ketua Forum Analisis dan Kebijakan untuk Transparansi Anggaran, suburnya kasus pencucian uang adalah buah dari penerapan sistem kapitalisme. Dengan orientasi keuntungan, pejabat melegalkan segala cara untuk meraih apa yang diinginkan.
Sistem yang mengakar pada akidah sekuler ini, dijalankan para pejabat tanpa kesadaran ikatan dengan Allah ketika menjalankan tanggung jawabnya. Agama tidak ada kaitannya dengan kekuasaan karena hanya berada pada ranah individu.
Tak heran, keluarga pejabat yang diberi nafkah harta haram tidak bisa dikendalikan gaya hidupnya. Istri dan anak-anaknya larut dalam hedonisme, kerap pamer harta untuk menunjukkan eksistensinya. Mereka lupa bahwa kehidupannya ditopang oleh pajak jutaan rakyat yang masih banyak kehidupannya jauh dari sejahtera.
Keberadaan UU Perampasan Aset tidak akan menghentikan praktik korupsi dan pencucian uang selama masih menerapkan sistem kapitalisme. Para kapital tetap menjadi aktor utama dalam pengelolaan negara melalui sistem demokrasi yang high cost. Setiap jabatan harus dibayar dengan ongkos politik yang mahal, sehingga perlu sokongan pemilik modal.
Solusi Islam
Islam memiliki solusi untuk setiap masalah sebagaimana firman Allah dalam surah An-Nahl ayat 89 , ”Dan Kami turunkan kepadamu Al-Kitab (Al Qur'an) untuk menjelaskan segala sesuatu…” Ada upaya preventif dan kuratif agar pemerintahan bersih dan optimal mengurus rakyat.
Adapun upaya preventif dilakukan melalui beberapa langkah strategis. Pertama, negara menanamkan suasana ketakwaan sehingga setiap muslim memiliki kesadaran hubungannya dengan Allah. Syariat Islam merupakan aturan yang mengikat semua aktivitas di semua level dan dimensi. Dari level individu, keluarga, masyarakat hingga negara. Dalam dimensi hubungan dengan Allah, dengan diri sendiri, dan antarmanusia atau muamalah. Negara menerapkan syariat Islam secara kaffah sehingga memproteksi masyarakat dari berbagai bentuk penyelewengan para pejabatnya.
Kedua, negara melindungi pelaksanaan kewajiban amar makruf nahi mungkar termasuk oleh rakyat kepada penguasa. Negara tidak mengancam rakyatnya yang kritis terhadap pejabat yang menunjukkan indikasi mencurigakan. Seperti pada masa Khalifah Umar bin Khattab yang mendapat pertanyaan dari Salman Al-Farisi terkait jubah yang ia kenakan. Salman mempertanyakan asal usul jubah Umar yang ukurannya lebih panjang dari jatah yang seharusnya diperoleh. Umar tidak merasa terancam lantas menghukum Salman. Pengamalan dakwah justru menciptakan suasana saling menjaga antarsesama muslim dari pelanggaran hukum syarak.
Ketiga, sistem politik Islam berbiaya murah tidak seperti sistem demokrasi. Penguasa terpilih harus memenuhi syarat sesuai ketentuan hukum syarak serta berwewenang memilih penguasa yang menjadi perwakilan di daerah-daerah wilayah kekuasaan seperti gubernur dan wali kota. Dengan proses seperti ini, tidak perlu ada pemilihan kepala daerah atau anggota dewan untuk merembukkan undang-undang yang bisa membuka celah korupsi.
Keempat, ada lembaga yang bertugas mengawasi kekayaan pejabatnya, sehingga tindakan kecurangan dapat segera terdeteksi dan ditindaklanjuti dengan tindakan tegas. Di masa kepemimpinan Umar bin Khattab, Muhammad bin Maslamah ditunjuk untuk mengawasi kekayaan pejabat negara. Jika terbukti ada pejabat menumpuk kekayaan dengan cara korupsi atau perbuatan haram lainnya, pejabat dicopot dan harta kekayaan yang diperoleh bukan dari gaji negara disita.
Upaya kuratif melalui penegakan sanksi hukum bagi para pejabat tidak amanah. Dalam Islam, sanksi tidak hanya berfungsi sebagai pencegah untuk memberikan efek jera tetapi juga sebagai penebus dosa agar terbebas dari sanksi akhirat dari perbuatan tersebut. Seorang pejabat akan berpikir seribu kali sebelum melakukan pelanggaran dan peluang melakukannya sangat kecil.
Demikian solusi Islam dalam memberantas berbagai penyelewengan seperti korupsi, pencucian uang atau suap sehingga terwujud pemerintahan yang benar-benar bersih. Kesadaran hubungan dengan Allah merupakan kontrol internal. Selain itu, kontrol eksternal dalam bentuk pengawasan oleh masyarakat dan lembaga formal serta sanksi tegas bagi pejabat yang melanggar amanah menjadi mekanisme yang akan mewujudkan tata kelola negara yang efisien, efektif, dan berkah. Wallahu a'lam bi ash-shawwab.[]