"Apa yang dilakukan Cina jelas melanggar prinsip kebebasan beragama. Hal ini sekaligus menjelaskan omong kosong hak asasi manusia yang digemborkan Barat dan para pemujanya termasuk Cina."
Oleh. Sartinah
(Tim Penulis Inti NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Kebijakan zalim pemerintah Cina terhadap muslim Uyghur seolah tak ada habisnya. Langkah-langkah genosida terus dilakukan Cina agar muslim Uyghur enyah dari muka bumi ini. Bahkan, saat semua umat muslim khusyuk menjalankan ibadah puasa, mereka justru menghadapi larangan berpuasa dan serangan terhadap agama serta budaya mereka. Kebijakan diskriminatif tersebut jelas semakin menambah nestapa etnis yang mendiami Turkistan Timur tersebut.
Dilansir dari Poskota.co.id (27/03/2023), pemerintah Cina kembali membatasi aktivitas ibadah etnis Uyghur. Hal itu dinyatakan oleh salah seorang pejabat di biro pendidikan daerah Xinyuan, Xinjiang, yang menyebut bahwa orang-orang yang ada di bidang pendidikan tidak diizinkan berpuasa. Selain anak-anak, setiap orang dewasa yang bekerja untuk pemerintah juga dilarang berpuasa selama Ramadan. Bagi siapa pun yang ditemukan sedang berpuasa, maka akan dikenakan pembalasan.
Kebijakan tersebut sukses membuat muslim Uyghur dilanda ketakutan. Beberapa orang akhirnya dengan sukarela meninggalkan puasa karena takut. Sementara sebagian lainnya tetap berpuasa meski secara sembunyi-sembunyi. Meski di beberapa tempat umat muslim masih diizinkan berpuasa, tetapi mereka tetap dipantau dan disebut sebagai pemuja agama, kemudian ditahan. Pemerintah Cina bahkan menerapkan pemantauan sepanjang waktu selama Ramadan terhadap 1.811 desa di Xinjiang, termasuk inspeksi langsung ke rumah-rumah penduduk.
Genosida Identitas
Tak hanya pengekangan terhadap puasa Ramadan saja, perlakuan tak manusiawi terhadap muslim Uyghur memang telah lama dilakukan pemerintah di bawah Partai Komunis Cina. Mulai pelecehan, pemerkosaan, sterilisasi paksa wanita Uyghur, hingga kerja paksa di kamp pendidikan ulang. Termasuk pemisahan anak-anak dari orang tuanya secara sistematis. Mereka dicuci otaknya, dipaksa berbahasa mandarin, dan mempraktikkan nilai-nilai budaya Cina yang notabene jauh dari Islam.
Terkait barbarnya kebijakan Cina tersebut, Ketua Komite Agama Kongres Uyghur Sedunia, Turghunjan Awaludin mengatakan, Cina tidak menghormati budaya ataupun memberi toleransi terhadap kepercayaan orang lain. Namun di saat yang sama, Cina memperlakukan budayanya sendiri sebagai yang tertinggi. Awaludin pun menyebut bahwa Cina sedang mempertontonkan permusuhan ekstremnya terhadap muslim Uyghur melalui pembatasan semua aspek. (Poskota.co.id, 27/03/2023)
Tak hanya itu, Cina bahkan menargetkan komunitas muslim dengan kampanye persatuan etnis. Otoritas menekan dan memaksa mereka menuruti semua tradisi Cina, termasuk minum alkohol dan makan daging babi. Jika ditelisik lebih dalam, apa yang sedang dilakukan Cina terhadap muslim Uyghur adalah upaya nyata genosida identitas dan deislamisasi. Mereka menginginkan muslim Uyghur tidak lagi memegang akidah dan identitas keislaman mereka.
Dianggap Ancaman
Xinjiang merupakan wilayah yang dihuni oleh beberapa etnis, yakni Uyghur 46 persen, Han 40 persen, Kazakh 6,5 persen, Hui 4,5 persen, dan lain-lain 3 persen. Hidup di bawah rezim zalim membuat mereka tak bisa menjalankan syariat agamanya dengan baik. Nahasnya, nasib buruk ternyata tak hanya dialami oleh muslim Uyghur. Etnis Hui pun kini sedang berada dalam ancaman.
Hal ini berdasarkan laporan terbaru kelompok-kelompok hak asasi manusia (HAM) yang memperingatkan bahwa ada sekitar 11,4 juta umat muslim Hui berada dalam bahaya di bawah aturan yang diterapkan oleh Partai Komunis Cina. Koalisi kelompok HAM (termasuk jaringan Pembela HAM Cina) menyebut bahwa etnis Hui telah diidentifikasi oleh pemerintah Beijing sebagai ancaman. Karena itu mereka harus diakhiri melalui asimilasi paksa.
Padahal, sebelum Xi Jinping meluncurkan serangan terhadap keyakinan berbagai agama, juga memaksa umat Islam, Kristen, dan Buddha untuk tunduk pada kontrol partai dan penyensoran agama di bawah program sinisasi, etnis Hui sebenarnya dapat menikmati kebebasan sebagai umat muslim dibandingkan Uyghur. Saat itu anggota komunitas Hui dapat berpartisipasi dalam komunitas masjid secara terbuka, menjalankan ibadah secara pribadi, juga mempelajari bahasa Arab meskipun masih diberi batasan-batasan tertentu.
Bahkan, para pengusahanya didorong untuk mengembangkan bisnis dan pariwisata lebih luas lagi dengan dunia muslim. Langkah ini disebut sebagai bagian dari Belt and Road Initiative. Meski demikian, jika sudah berkaitan dengan urusan agama, maka tidak ada toleransi bagi rezim yang menganut ideologi pick and mix (comotan dan campuran) tersebut. Pick and mix yang dimaksud adalah campuran antara komunisme Marxis-Leninis dengan sentuhan Cina, sedikit ajaran Mao, infus Xi, dan dosis besar kapitalisme.
Pasalnya, kebijakan Xi Jinping dalam urusan agama sangat dipengaruhi oleh retorika islamofobia yang muncul bersamaan dengan wacana kontra terorisme global. Lebih dari itu, terjadinya serangan teror 9/11 juga telah memicu munculnya rasisme anti-Islam di Cina, khususnya terhadap etnis Hui. Hal itulah yang menjadikan etnis Hui sebagai target kampanye kontra terorisme di Xinjiang yang berakibat lebih dari 100.000 Hui dimasukkan ke kamp pendidikan ulang bersama etnis Uyghur. Bahkan, sebelum genosida terhadap muslim Uyghur, pemusnahan etnis Hui lebih dahulu dilakukan oleh Cina, tepatnya setelah reformasi agama Partai Komunis pada 1958.
Omong Kosong HAM
Kebijakan amoral rezim kriminal Cina terhadap umat muslim Xinjiang jelas menunjukkan permusuhan dan kebencian nyata terhadap Islam. Hal ini pun dikuatkan dengan pernyataan Xi Jinping agar semua agama yang ada di Cina, termasuk Islam harus beradaptasi dengan masyarakat sosialis. Padahal, menginginkan Islam agar sejalan dengan komunis, sama artinya jika Xi Jinping ingin menerapkan ideologi tunggal untuk seluruh rakyatnya. Tampaknya rezim kriminal Cina sedang menampakkan wajah aslinya sebagai penyeru kekufuran.
Penerimaannya terhadap Islam pun hanya sekadar memenuhi syarat normatif, agar rezim komunis ini tak dikatakan melanggar HAM. Namun perlu diingat, sebagai penganut prinsip sosialis, tentu saja Cina akan berusaha membatasi pergerakan agama, terutama Islam. Apalagi jika menyaksikan perkembangan Islam kembali menggeliat, utamanya di Turkistan Timur.
Apa yang dilakukan Cina jelas melanggar prinsip kebebasan beragama. Hal ini sekaligus menjelaskan omong kosong hak asasi manusia yang digemborkan Barat dan para pemujanya termasuk Cina. Di sisi lain, realitas ini juga menunjukkan derita kaum muslim di timur dunia Islam. Mereka menjadi korban tak berdaya dari predator penguasa zalim yang diizinkan eksis oleh sistem dunia yang diskriminatif terhadap umat Islam. Selama dunia masih memuja demokrasi sekularisme, maka penderitaan umat muslim Uyghur dan etnis lainnya di Turkistan Timur tidak akan pernah berakhir. Keadilan dan kebebasan menjalankan syariat agamanya pun hanya sebatas ilusi.
Islam Menjunjung Keadilan
Islam diturunkan untuk menjadi rahmat bagi semesta alam, sehingga keadilannya menaungi semua makhluk. Termasuk keadilannya terhadap nonmuslim. Lihat saja, komunis hanya bertahan 72 tahun dan kini sudah runtuh, sedangkan kapitalisme pimpinan Amerika Serikat sudah sangat rapuh dan tinggal menanti ajalnya. Kedua ideologi tersebut pun telah gagal menjaga perbedaan. Berdasarkan fakta sejarah, hanya Islam satu-satunya ideologi yang berhasil merawat dan mengurus masyarakat yang heterogen.
Fakta tersebut dapat digambarkan melalui ungkapan jujur seorang sejarawan Barat bernama Will Durrent dalam The Story of Civilization. Menurut Durrent, para khalifah telah memberikan keamanan sampai batas yang luar biasa besarnya. Durrent pun menyebut jika para khalifah telah mempersiapkan berbagai kesempatan bagi siapa pun yang membutuhkannya. Termasuk memberikan kesejahteraan secara merata selama berabad-abad dalam cakupan wilayah yang sangat luas dan belum tercatatkan lagi fakta seperti itu setelah masa mereka.
Salah satu contoh perlindungan Islam terhadap nonmuslim dapat disaksikan ketika Konstantinopel dibuka oleh Sultan Muhammad II pada 1453. Sang Sultan sebagai representasi dari Islam memperlihatkan keadilannya dengan mengatakan bahwa dirinya adalah pelindung Gereja Yunani. Sultan Muhammad II pun membuat dekret untuk memberikan penjagaan terhadap Uskup Agung Gennadios, beserta seluruh uskup dan para penerusnya. Dikeluarkannya dekret tersebut agar tidak ada penindasan terhadap kaum Kristen, sebab Islam sangat melarang kezaliman.
Khilafah Menjaga Pluralitas
Dalam setiap peradaban tidak ada satu pun masyarakatnya yang homogen, termasuk Khilafah. Saat Rasulullah saw. bertindak sebagai kepala pemerintahan di Madinah, penduduknya pun plural. Ada umat Islam, Kristen, Yahudi, dan lain-lain. Meski demikian, semua orang yang tinggal di negara Islam dianggap sebagai warga negara, baik muslim maupun nonmuslim. Semua warga negara berhak memperoleh perlakuan yang sama tanpa diskriminasi. Sebagai pelindung, Khilafah wajib melindungi dan menjaga keyakinan, kehormatan, dan harta benda semua warga negara.
Ini hanyalah secuil gambaran bagaimana negara Islam menjaga warga negaranya tanpa boleh menzaliminya. Rasulullah saw. pun menegaskannya dalam hadis riwayat Ahmad, "Barang siapa membunuh seorang mu'ahid (kafir yang mendapatkan jaminan keamanan) tanpa alasan yang hak, maka ia tidak akan mencium wangi surga, bahkan dari jarak empat puluh tahun perjalanan sekalipun."
Tak hanya negara, kaum muslim pun memiliki tanggung jawab terhadap para ahlu dzimmah. Di antaranya dengan menyantuni, memenuhi kebutuhan kaum miskin mereka, menyediakan pakaian, bahkan memaafkan kesalahan mereka, sekalipun kaum muslim memiliki kedudukan yang lebih tinggi. Bahkan, umat Islam harus melindungi mereka dari siapa pun yang hendak menzalimi, mencuri, ataupun merampas hak-hak mereka.
Khatimah
Tidak ada tempat yang aman dan nyaman bagi manusia, kecuali tinggal dan hidup di bawah naungan Khilafah. Sebab, di dalamnya tidak ada kezaliman, karena Islam melarang berbuat zalim terhadap penganut agama lain. Namun, kondisi ini tidak akan terwujud jika dunia masih mendekap erat kapitalisme sebagai sistem kehidupan. Saatnya dunia mengembalikan keadilan dengan menegakkan Islam dalam seluruh aspek kehidupan.
Wallahu a'lam bishawab[]