Bisa dibayangkan jika relokasi pabrik beralih di wilayah lumbung pangan bukankah negara kita akan rugi? Apakah kita akan terus bergantung hidup dengan impor pertanian? Padahal jelas sektor pangan adalah sektor strategis sebagai salah satu ketahanan bangsa.
Oleh: Rina Yulistina
NarasiPost.Com-Beberapa perusahaan telah melakukan relokasi pabrik khusus ring 1 Jatim ke daerah Ngawi dan Nganjuk hal ini diutarakan oleh Johnson, Wakil Ketua Bidang Organisasi Apindo Jatim. Relokasi ini ditenggarai oleh kebijakan Pemerintah Provinsi Jatim yang menaikan UMK sebesar Rp 100 ribu khusus ring 1 Jatim yaitu Surabaya, Gresik, Kab. Mojokerto, dan Kab. Pasuruan. Kebijakan ini sontak membuat para pengusaha merasa keberatan terutama perusahan yang bergerak di sektor padat karya ditambah lagi kondisi pandemi.
Relokasi pabrik ke wilayah barat Jatim yaitu Ngawi dan Nganjuk bukan tanpa pertimbangan, wilayah barat Jatim sejak dulu terkenal dengan UMK yang rendah, selain itu bahan baku disana pun murah, harga tanah murah ditambah telah tersedia jalan tol maka pilihan Ngawi dan Nganjuk bukan pilihan sembarangan namun merupakan pilihan brilian bagi para pengusaha.
Penyambutan relokasi pabrik sebenarnya searah dengan keinginan pemerintah pusat jika kita tilik Perpres No 80 Tahun 2019 tentang Percepatan Pembangunan Ekonomi Kawasan selingkar Wilis dan Lintas Selatan. Selingkar wilis saat ini telah dikebut pengerjaannya karena termasuk pembangunan infrastruktur dalam Proyek Strategis Nasional (PSN) yang melewati 6 kabupaten salah satunya Nganjuk. Sedangkan Ngawi telah mempersiapkan penyambutan Perpres tersebut dengan mempersiapkan Program Strategi Nasional (PSN) yang meliputi agro tehcno park, kawasan industri, dan Pasar Besar Ngawi.
Jika dilihat sekilas keberadaan relokasi pabrik akan memberikan keuntungan kepada pemerintah daerah karena pasti pendapatan daerah akan naik selain itu akan ada penyerapan tenaga kerja untuk masyarakat sekitar mengurangi pengangguran sekaligus meningkatkan pendapatan. Namun jika dilihat lebih teliti keuntungan tersebut tidak sebanding dengan kerugian yang akan didapat.
Berbicara soal kawasan industri, Ngawi telah menyiapkan lahan seluas 1.500 hektar, namun sayangnya kawasan industri ini diletakan di wilayah kecamatan Widodaren yaitu kawasan hutan lindung yang dikelola oleh pihak PT Perhutani. Bisa dibayangkan hutan lindung dibabat habis dialih fungsikan menjadi daerah pabrik bukankah hal itu akan merusak tatanan alam? Apalagi Ngawi terkenal sebagai Kabupaten yang tak pernah absen dari banjir setiap musim penghujan. Menjadi teringat isi dari UU Omnibus Law yang mengabaikan kondisi alam maka dari sini sudah terlihat bahwa siapa yang diuntungkan dan siapa yang dirugikan.
Selain itu sangat disayangkan wilayah relokasi pabrik ke Ngawi dan Nganjuk, kedua kabupaten ini merupakan wilayah sebagai lumbung pangan Jatim bahkan Nasional. Pertanian di kedua Kabupaten tersebut bagaikan jantung yang sangat strategis bagi keberlangsungan hajat hidup manusia contohnya seperti di Kabupaten Ngawi luas wilayah pertanian kurang lebih 40 ribu hektare, 70% masyarakat berkutat pada sektor pertanian, perkebunan dan perternakan. Dengan kegigihan menjadi lumbung pangan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kabupaten Ngawi 30% lebih merupakan sektor pertanian, peternakan dan perkebunan. Itu artinya sektor pertanian begitu penting bagi masyarakat maupun pendapatan daerah (tribunnews.com).
Bisa dibayangkan jika relokasi pabrik beralih di wilayah lumbung pangan bukankah negara kita akan rugi? Apakah kita akan terus bergantung hidup dengan impor pertanian? Padahal jelas sektor pangan adalah sektor strategis sebagai salah satu ketahanan bangsa.
Menjadi sangat kontradiktif wilayah lumbung pangan dialih fungsikan menjadi kawasan industri padahal jauh-jauh hari Presiden dengan semangat 45 mengobral janji ingin membawa Indonesia lumbung pangan sama halnya Bupati yang bersemangat mendukung penuh percapaian lumbung pangan namun pada akhirnya ambyar dengan kebijakan percepatan perluasan ekonomi. Hal ini sangat nyata menunjukan bahwa pemerintah tidak memiliki master plan yang jelas dalam membangun negara ini, kebijakan satu dengan yang lain saling tumpang tindih hal ini menunjukan secara langsung ketidak seriusan penguasa dalam mengurusi hajat hidup rakyatnya.
Jika penguasa serius mengurusi rakyatnya maka pemerintah dalam membuat kebijakan tidak akan tumpang tindih, pemerintah akan berfikir RTRW dengan cermat mana daerah yang cocok untuk pertanian, mana daerah yang cocok untuk perindustrian namun sayangnya kapitalisme telah mengakar di negri ini sangat telihat ambisi pemerintah untuk mendatangkan para investor hingga harga tanah didiskon demi mencapai target investasi. Akankah pemerintah akan mengorbankan wilayah lumbung pangan demi ambisi investasi? Seperti yang dilakukan di bumi Papua membabat hutan demi investasi sawit perusahaan Korsel? Padahal sangat jelas masyarakat Papua bergantung pada hutan.
Dimanakah demokrasi itu jika hak rakyat terus dikebiri? Sangat jelas bahwa suara rakyat bukanlah suara Tuhan, namun suara pemilik modalah suara Tuhan. Apapun yang dititahkan oleh pemilik modal maka hal yang sangat wajib harus dilakukan oleh penguasa karena tanpa pemilik modal penguasa tak akan bisa mengecap nikmatnya kekuasaan. Maka simbiosis mutualisme antara penguasa dan pemilik modal akan terus terjadi selama demokrasi kapitalis terus diterapkan di negeri ini.
Maka harus ada perubahan mendasar dengan sistem yang tidak tumpang tindih. Seperti yang terjadi pada sistem Islam yang berasal dari zat maha pencipta yaitu Allah SWT di dalam Islam program ketahanan pangan tidam akan bertabrakan dengan kawasan industri dan juga sebaliknya. Islam memiliki aturan terkait RTRW, Islam mengatur wilayah yang cocok dijadikan lumbung pangan, industri, hutan lindung, perumahan dan sebagainya dengan pengaturan yang RTRW yang cocok maka program pemerintah bisa berjalan beriringan.
Pemerintahan di dalam islam adalah pemerintahan yang independent yang tidak akan bisa disetir oleh kepentingan dari luar seperti para pemilik modal. Maka kebijakan yang dihasilkan merupakan murni dari penggalian daru hukum syara' yang berasal dari Al Quran dan Assunnah. Dengan seperti itu pemerintah di dalam Islam kebijakannya murni untuk kepentingan dakwah dan masyarakat. Ketika pemerintah membuat kebijakan ketahanan pangan maka murni untuk dakwah dan masyarakat, sama halnya dengan membuat kebijakan terkait industri. Industri di dalam Islam mulai dari industri berat hingga ringan untuk mendukung dakwah dan masyarakat. Penerapam Islam ini hanya ada jika diterapkan oleh Khalifah dibawah naungan Khilafah.[]