"Persoalan semakin runyam ketika pemerintah tidak punya standar verifikasi korban. Data korban yang dimiliki oleh pemerintah berbeda dengan data korban yang dimiliki oleh Komnas HAM. Jika pemerintah tidak segera membakukan proses verifikasi ini bisa dipastikan seluruh upaya pemulihan yang dilakukan akan mengalami salah sasaran."
Oleh. Haifa Eiman
( Tim Penulis Inti NarasiPost.Media)
NarasiPost.Com-Sebagai tindak lanjut pembentukan TPPHAM tahu lalu, pada Rabu (15/03), Presiden Joko Widodo telah menandatangani Inpres Nomor 2 Tahun 2023 yang berisi rekomendasi pelaksanaan penyelesaian non-yudisial pelanggaran HAM berat. Dari penekenan Inpres ini diharapkan juga tidak terulang kejadian serupa. Di Inpres Nomor 2 Tahun 2023 ini Presiden memberi perintah kepada 16 menteri, jaksa agung, panglima TNI, dan Kapolri agar menjalankan seluruh poin yang direkomendasikan oleh TPPHAM. Poin-poin rekomendasi itu sebagian besarnya berupa perincian bentuk pemulihan kepada para korban pelanggaran HAM berat di masanya. (bbc.com, 17/03/2023)
Dikeluarkannya Inpres Nomor 2 Tahun 2023 juga sebagai bentuk pengakuan dan penyesalan tertulis negara akan terjadinya pelanggaran HAM berat di masa lalu. Di sini, negara menegasikan penyelesaian yudisial. Kepada para keluarga korban pelanggaran HAM berat, Presiden memerintahkan memberikan bantuan secara ekonomi. Sebagai contoh, kepada anak-anak korban pelanggaran HAM berat pemerintah berjanji akan memberikan beasiswa pendidikan atau fasilitas pendidikan. Kepada korban yang masih hidup atau ahli warisnya, pemerintah akan memberikan bantuan sosial dan jaminan hari tua.
Langkah yang dipilih pemerintah ini menurut Wahyu Djafar dari tim pelaksana rekomendasi PPHAM tidak lebih sebagai bantuan sosial. Pemerintah tidak membaca kebutuhan para korban. Idealnya pemerintah harus mengidentifikasi dulu persoalan yang dihadapi masing-masing korban karena dari 12 kasus pelanggaran HAM berat tersebut, pasti dampak yang diterima korban berbeda-beda. Apabila proses identifikasinya selesai, langkah berikutnya adalah menentukan bentuk pemulihan yang akan dilakukan. Bisa jadi ada korban yang butuh pemulihan martabat, pengembalian aset yang disita, atau perbaikan ekonominya yang hancur. Pemerintah harus mengakomodasi itu semua. Sayangnya, poin pengembalian aset ini tidak dibahas di dalam Inpres. (bbc.com, 17/03/2023)
Persoalan semakin runyam ketika pemerintah tidak punya standar verifikasi korban. Data korban yang dimiliki oleh pemerintah berbeda dengan data korban yang dimiliki oleh Komnas HAM. Jika pemerintah tidak segera membakukan proses verifikasi ini bisa dipastikan seluruh upaya pemulihan yang dilakukan akan mengalami salah sasaran.
Jahatnya Sistem Demokrasi
Daftar teratas pelanggaran HAM berat yang coba diselesaikan adalah korban-korban G30S/PKI pada tahun 1965 lalu. Apabila dihitung, terdapat rentang waktu 58 tahun. Artinya lebih setengah abad kasus itu dibiarkan tanpa penyelesaian. Kini pasti sangat sulit melacak keberadaan para korban dan ahli warisnya. Demikian pula keberadaan korban dan ahli waris dari peristiwa Jambo Keupok, di Aceh tahun 2003, terdapat jarak 20 tahun masa penyelesaian. Kasus Jambo Keupok merupakan kasus terakhir dari 12 kasus yang termasuk ke dalam daftar pelanggaran HAM berat masa lalu.
Upaya penyelesaian pelanggaran HAM berat di Indonesia yang dilakukan pada akhir masa jabatan Presiden tampak lebih banyak menunjukkan adanya pencitraan. Apabila ada kesungguhan, seharusnya sejak awal kepemimpinannya di lima tahun pertama, sudah ada inisiatif menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM berat. Terlebih lagi, upaya penyelesaian kasus ini menjadi janji saat pencalonan.
Akan tetapi, fakta upaya penyelesaian ini justru di akhir masa jabatan. Ibarat manusia yang ingin akhir hidupnya husnulkhatimah, demikian pula yang terbaca pada kebijakan Presiden kali ini. Padahal bangkai mau ditutupi dengan cara apa pun tetap menguar juga bau busuknya. Kebobrokan sistem pemerintahan saat ini, tidak akan bisa ditutupi dengan cara serapi apa pun. Keburukannya tetap bisa diamati dengan mata telanjang oleh masyarakat. Seluruh keburukan dan kejahatan yang tersebar merupakan cacat bawaan sistem yang melingkupi masyarakat dan dunia saat ini, yaitu sistem demokrasi kapitalisme.
Tata kelola kehidupan yang mendasarkan pemisahan agama dari kehidupan telah menghilangkan sisi-sisi humanisme bahkan adakalanya perilaku manusia lebih jahat dari binatang. Hal-hal yang tidak pernah terlintas akan dilakukan oleh seorang manusia, nyatanya dilakukan juga di sistem demokrasi ini. Sebagai contoh kasus Jambo Keupok di Aceh Selatan tahun 2003, warga setempat dipaksa mengaku sebagai anggota GAM (Gerakan Aceh Merdeka) oleh anggota TNI, satuan gerakan intelijen, dan Parako (para komando). Hampir tiap orang baik tua, muda, bahkan anak-anak di Jambo Keupok ditanyai keberadaan anggota GAM yang dimaksud. Apabila menjawab tidak tahu, siksaan tidak terperi akan didapat. Akibat perlakuan sewenang-wenang aparat, 16 orang tewas setelah disiksa, ditembak, dan sebagiannya dibakar hidup-hidup. Karena situasi sama sekali tidak kondusif, seluruh warga desa mengungsi ke masjid selama 44 hari. Atas tragedi ini, Aceh sempat ditetapkan sebagai daerah darurat militer.
Namun setelah pemerintahan Presiden kala itu, Megawati, mendapat kecaman dunia, status darurat militer pun dicabut. Berkas peristiwa Jambo Keupok masuk ke jaksa agung lagi tahun 2017. Enam tahun berselang, korban dan ahli waris tragedi berdarah itu mendapat jawaban bahwa tidak ada tanggung jawab hukum atas para pelaku.
Lahirnya Inpres Nomor 2 Tahun 2023 tak lebih merupakan dagelan di akhir masa jabatan. Alih-alih terselesaikan, adanya justru makin menunjukkan ketidakbecusan pemerintah menangani kasus-kasus yang melanggar kehormatan dan penghilangan nyawa manusia. Di dalam sistem ini, nyawa manusia tidak ada nilainya sama sekali. Inilah jahatnya sistem demokrasi. Segala bentuk perbuatan buruk dan beragam pelanggaran, bila oleh pihak penguasa dan pengusaha dinilai menguntungkan, mereka akan terus membiarkannya bahkan melegitimasinya. Di dalam sistem ini, tidak ada keadilan bagi korban yang notabene adalah rakyat. Satu-satunya yang ada merupakan jaminan kesejahteraan pada penguasa dan pengusaha.
Islam Memuliakan Setiap Manusia
Sistem demokrasi sungguh berbeda dengan sistem Islam yang sangat menghormati dan menghargai nyawa manusia. Islam memiliki sistem sanksi yang adil, tegas, dan harus ditegakkan tanpa memandang kedudukan pelaku dan korbannya. Tidak ada satu pun agama dan ideologi yang begitu melindungi dan menghargai nyawa manusia kecuali Islam. Bagi Allah Swt., Zat yang menciptakan manusia, pembunuhan satu nyawa tak berdosa sama artinya dengan menghilangkan nyawa seluruh manusia. Allah berfirman di dalam surah Al-Maidah ayat ke-32.
مَنْ قَتَلَ نَفْسًا بِغَيْرِ نَفْسٍ أَوْ فَسَادٍ فِي اْلأَرْضِ فَكَأَنَّمَا قَتَلَ النَّاسَ جَمِيعًا
Artinya, “Siapa saja yang membunuh satu orang manusia, bukan karena membunuh orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi maka seakan-akan dia telah membunuh seluruh (umat) manusia.”
Ketetapan dari Allah ini sangat nyata dan jelas betapa Islam melindungi nyawa manusia. Betapa kehancuran dunia masih lebih ringan jika dibandingkan dengan hilangnya satu nyawa manusia tanpa salah. Tidak hanya itu saja, Islam juga mengharamkan perbuatan yang dapat menimbulkan bahaya dan kesusahan bagi orang lain. Bagi para pelakunya, Allah akan membalas dengan kesusahan yang serupa. Tidak peduli apakah bahaya yang ditimpakan itu besar atau kecil, mengancam nyawa ataukah tidak, Allah tetap tidak mengurangi kadar keharamannya.
Demikian juga dengan pelakunya. Apakah rakyat jelata ataukah penguasa, khalifah melalui para qadhi tetap akan membalas perbuatan mereka dengan setimpal dan adil. Jangka waktu pengusutan perkara sampai sidang di pengadilan pun cepat. Tidak ada kisahnya sebuah perkara mangkrak bertahun-tahun tanpa jelas juntrungannya.
Ketetapan Allah di dalam surah Al-Maidah ayat ke-32 di atas merupakan upaya preventif agar tidak terjadi pembunuhan. Namun, apabila tetap terjadi kasus pembunuhan, Islam memiliki mekanisme qishas, yaitu tuntutan dari keluarga korban untuk balas membunuh pelaku atau cukup bagi pelaku untuk membayar diyat. Diyat bagi pelaku pembunuhan adalah 100 ekor unta dan 40 ekor unta di antaranya bunting. Dengan mekanisme qishas sebagaimana yang ditetapkan Allah Swt. orang menjadi takut untuk melakukan pembunuhan bahkan penganiayaan atas tubuh seseorang.
Demikianlah kemuliaan Islam dalam menjaga nyawa. Di sejarah panjang peradaban Islam, umat benar-benar terlindungi jiwa raganya. Setiap tetes darah yang jatuh tanpa hak dari umat, Khilafah akan melakukan pembelaan secara habis-habisan. Tidak itu saja, Khilafah juga melindungi para penjahat dan pelaku aksi kriminal hingga kesalahannya dapat dibuktikan secara sah. Oleh karena itu, sudah saatnya kaum muslimin kembali pada pangkuan Islam dalam naungan Khilafah sebagaimana minhaj kenabian.[]