Gelagat Kapitalisme dalam Pengurusan Spesialisasi Dokter

"Bila dicermati lebih mendalam, maka komersialisasi terkait prosedur yang harus ditempuh menjadi dokter merupakan pokok permasalahannya. Hal ini yang membuat seluruh prosesnya menjadi sangat mahal dan sulit diakses oleh publik kebanyakan. Bagaimana tidak, semua telah didesain demi kepentingan industrialisasi kesehatan dan bukan untuk kemaslahatan umat."

Oleh. Muthiah Al Fath
(Tim Penulis Inti NarasiPost.Com)

NarasiPost.Com-Istilah “orang miskin dilarang menjadi dokter” tampak jelas dalam realitas zaman sekarang. Pro-kontra RUU Kesehatan Omnibus Law membuka tabir gelap mengenai biaya fantastis dan proses izin praktik yang berbelit untuk menjadi dokter dan dokter spesialis. Lantas, mengapa perdebatan soal Omnibus Law Kesehatan antara IDI dan Kemenkes belum menemui titik penyelesaian?

Dilansir dari health.detik.com (19/3/2023), Berdasarkan keterangan Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin bahwa butuh Rp6 juta untuk memperoleh STR (Surat Tanda Registrasi) dan SIP (Surat Izin Praktik) bagi dokter spesialis. Bayangkan, jika tahun 2022 ada 77 ribu dokter yang mengurus STR, jika semua ditotal bisa mencapai sekitar Rp460 miliar.

Belum lagi, besarnya biaya demi memperoleh SKP (Satuan Kredit Profesi) yang harus melalui kegiatan seminar. Sedangkan untuk mendapatkan 4 SKP dengan satu kali seminar harus mengeluarkan biaya sebesar Rp1 juta. Jadi, jika satu peserta didik wajib mengantongi sedikitnya 250 SKP per tahun, maka total biaya bisa mencapai Rp62 juta. Semua ini jika dikali 140 ribu jumlah dokter, maka dana yang diperoleh bisa mencapai Rp1 triliun lebih.

Mencermati tanggapan Menkes di atas maka akan menimbulkan pertanyaan, mengapa baru sekarang pemerintah mempersoalkan besaran biaya untuk memperoleh STR, SIP, SKP, dan sengkarut biaya proses pengurusan untuk menjadi dokter dan dokter spesialis? Bukankah terkait mahalnya biaya menjadi dokter dan dokter spesialis telah jamak diketahui umum sejak lama?

Ketidakharmonisan Menkes dan IDI

Sebenarnya, sejak Omnibus Law Kesehatan ditetapkan masuk Prolegnas (Program Legislasi Nasional) 2023 oleh DPR RI, telah memantik tanggapan keras dari PB (Pengurus Besar) IDI. Omnibus Law Kesehatan sendiri telah mendapat penolakan melalui unjuk rasa oleh IDI, PDGI (Persatuan Dokter Gigi Indonesia), PPNI (Persatuan Perawat Nasional Indonesia), IBI (Ikatan Bidan Indonesia) dan IAI (Ikatan Apoteker Indonesia) di depan gedung Parlemen pada 28 November 2022 lalu. Banyak pihak menilai bahwa Omnibus Law Kesehatan seolah ingin menghilangkan peran strategis organisasi kesehatan. Tidak hanya itu, kebijakan tersebut akan membuka peluang adanya liberalisasi jasa kesehatan yang berpotensi menghilangkan hak keselamatan pasien.

Sedangkan Menkes fokus menanggapi mahal dan ribetnya proses menjadi dokter, terutama menjadi dokter spesialis. Sehingga adanya Omnibus Law Kesehatan hadir untuk menyederhanakan proses pengurusan penerbitan STR, SIP, pembentukan lembaga pendidikan kedokteran, izin dokter spesialis, hingga izin dokter asing.

Begitulah, perseteruan yang seharusnya tak terjadi antara Kemenkes dan IDI justru berkobar sejak adanya Omnibus Law Kesehatan. Mencermati pro dan kontra tersebut, di tengah mendesaknya kebutuhan hak publik terhadap pelayanan kesehatan yang berkualitas, seharusnya pemerintah bijak menyelesaikan konflik yang ada. Jika memang kebijakan dibuat untuk kemaslahatan umat, maka semua harus didiskusikan secara terbuka dengan melakukan kajian terlebih dahulu. Negara harus mencermati akar masalah untuk menemukan solusi yang terbaik.

Tahapan Panjang dan Mahal Menjadi Dokter

Pada umumnya, mahasiswa kedokteran Indonesia rata-rata membutuhkan waktu 7-10 tahun untuk belajar dan mengantongi SIP. Adapun tahapan menjadi dokter, pada umumnya dimulai dari masa preklinik atau masa kuliah selama 3,5 hingga 4 tahun. Kemudian, masa Koas (Co-Assistant) yang berlangsung 1,5 hingga 2 tahun. Setelah itu, peserta didik harus menghadapi Uji Kompetensi Mahasiswa Program Profesi Dokter (UKMPPD) yang dilaksanakan 4 kali dalam setahun. Selanjutnya, melakukan sumpah dokter untuk memperoleh gelar dokter (dr) dan STR, lalu menjalani program internship (dokter magang) selama 1 tahun.

Jika ingin lanjut menjadi dokter spesialis maka harus lanjut PPDS (Pendidikan Program Dokter Spesialis) selama 4 hingga 6 tahun, tergantung pada kesulitan bidang yang diambil. Belum lagi, pada setiap prosesnya membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Di mana mahalnya biaya tersebut karena beberapa PTNBH (Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum) tidak mendapat subsidi dari pemerintah. Sehingga perlu anggaran tambahan untuk biaya operasional seperti lab skill, peralatan untuk laboratorium, buku-buku referensi, peralatan dasar yang dimiliki dokter, dan lain-lain.

Dilansir dari merdeka.com (16/6/2022), ada tujuh golongan UKT (Uang Kuliah Tunggal) untuk menempuh kuliah kedokteran di berbagai PTN, mulai Rp500 ribu sampai Rp35 juta. Demikian juga untuk uang pangkal, sekitar Rp80 juta hingga Rp100 juta untuk pendidikan spesialis di beberapa kampus. Sedangkan untuk biaya masuk kedokteran di PTS bisa mencapai Rp300 juta hingga Rp1 miliar. Penyebab mahalnya biaya tersebut karena kampus swasta tidak mendapat subsidi dari pemerintah serta biaya operasional yang tinggi. Alhasil, biaya pendidikan kedokteran menjadi mahal karena diserahkan pada mekanisme pasar dan anggarannya berbeda-beda disesuaikan dengan SK rektor.

Bila dicermati lebih mendalam, maka komersialisasi terkait prosedur yang harus ditempuh menjadi dokter merupakan pokok permasalahannya. Hal ini yang membuat seluruh prosesnya menjadi sangat mahal dan sulit diakses oleh publik kebanyakan. Bagaimana tidak, semua telah didesain demi kepentingan industrialisasi kesehatan dan bukan untuk kemaslahatan umat.

Kurangnya jumlah dokter tak terlepas akibat mahalnya biaya sekolah, ditambah syarat masuk untuk mendapatkan gelar spesialis yang tidak mudah. Tragisnya lagi, selama ini sistem kapitalisme menjadikan pemerintah hanya sebagai fasilitator dan regulator untuk mempermudah realisasinya saja. Hal ini menunjukkan bukti betapa minimnya peran negara dalam mengurus rakyatnya.

Buah Sistem Kapitalisme

Sejak pemerintahan Soekarno hingga sekarang, negara dibuat pusing oleh kasus paceklik dokter. Masalah kurangnya dokter ternyata tidak hanya menimpa Indonesia, WHO menyebutkan bahwa tiap negara pada umumnya memiliki rasio dokter 1:1.000. Sedangkan Indonesia masih sangat jauh dari cukup, di mana jumlah dokter hanya berjumlah 185 ribu sedangkan jumlah penduduknya sebanyak 270 juta jiwa.

Belum lagi masalah distribusi dokter yang kebanyakan terpusat di kota-kota besar, khususnya Jawa. Dari zaman orde baru hingga reformasi, pemerintah belum mampu menyelesaikan akar masalah dari ketimpangan jumlah dokter antara daerah dan kota. (CNBC Indonesia, 3/2/2023)

Fakta di atas membuktikan bahwa peradaban kapitalisme, berikut politik kesehatannya tidak mampu menyelesaikan masalah yang menimpa negeri ini, sehingga tidak layak untuk dipertahankan. Padahal, jumlah dokter tak terpisahkan dari kualitas layanan kesehatan yang menjadi kebutuhan dasar publik karena berpengaruh pada kesehatan, bahkan keselamatan masyarakat. Oleh karena itu, persoalan sengkarut rumitnya jalan menjadi dokter spesialis seharusnya segera diselesaikan negara.

Islam Menghadirkan Solusi

Penting untuk digaris bawahi, karakter istimewa sistem pemerintahan Islam (Khilafah), berikut politik maupun sistem kesehatannya dapat mengatasi seluruh problem yang tengah melanda negeri ini. Seorang pemimpin yang keberadaannya sebagai pelaksanaan syariat kaffah akan mewujudkan sistem pendidikan Islam yang antikapitalisasi dan komersialisasi. Demikian juga dengan kurikulumnya akan steril dari kepentingan bisnis dan korporasi, tak terkecuali pendidikan dokter.

Semua ini sebagai bentuk amanah kepimpinan yang diembannya. Sebagaimana Rasulullah saw. bersabda, “Imam/Khalifah adalah pengurus dan ia bertanggung jawab terhadap pengurusan rakyatnya.” (HR. Muslim dan Ahmad)

Daulah Islam menjamin akses mudah dan gratis untuk layanan pendidikan hingga level pendidikan dokter spesialis. Semua ini dipertegas oleh konsep pembiayaan mutlak berbasis Baitulmal yang menjadikan negara mampu secara finansial melakukan fungsi politiknya, mencetak dokter dan dokter spesialis secara memadai dari segi jumlah maupun kualitas.

Semua akan terealisasi dengan mudah menggunakan konsep kekuasaan sentralisasi dan administrasi yang menggunakan 3 prinsip, yaitu dilakukan oleh individu yang kapabel, sederhana dalam aturan, dan cepat dalam pelaksanaan. Dengan ini maka keadilan distribusi dokter spesialis dan fasilitas kesehatan, beserta segala kelengkapan medis maupun nonmedis akan mudah diakses publik hingga ke pelosok negeri.

Rasulullah saw. bersabda, “Tidak ada penyakit yang Allah ciptakan kecuali Dia juga menciptakan cara penyembuhannya.” (HR. Al-Bukhari)

Hadis di atas menjadi motivasi sehingga negara akan memfasilitasi para ilmuwan maupun tim medis untuk melakukan penelitian ilmiah di bidang kedokteran. Jabir al-Hayan menjadi ilmuwan muslim pertama yang terkenal berjasa luar biasa (721-815 M). Dia berhasil menemukan cara membersihkan alkohol untuk disinfektan, teknologi destilasi, serta mendirikan apotek yang pertama di dunia, yakni di Baghdad.

Di tahun 1242, Ibnu an-Nafis sudah dapat menjelaskan secara benar sirkulasi peredaran darah jantung ke paru-paru. Sedangkan William Harvey baru menemukan hal yang sama pada tahun 1628. Dalam kitab Tashrih al-Badan karya Mansur bin Ilyas (pada abad ke-15) sudah dapat menggambarkan secara lengkap struktur tubuh manusia, termasuk sistem saraf.

Semua pencapaian ini terjadi karena sistem Khilafah mendukung penuh aktivitas penelitian kedokteran untuk kesehatan dan kemaslahatan umat manusia. Para dokter berusaha memberikan pelayanan kesehatan yang terbaik untuk kesembuhan pasiennya, tanpa berorientasi pada materi. Kesehatan bukan  saja melalui upaya kuratif (pengobatan), namun juga secara preventif (pencegahan). Negara Khilafah tidak tanggung-tanggung mengeluarkan dana untuk pendidikan dan riset kedokteran agar negara memiliki layanan kesehatan yang berkualitas.

Khatimah

Sengkarut persoalan mahalnya biaya dan proses panjang menjadi dokter spesialis sebenarnya bermuara pada satu persoalan dasar, yaitu paradigma kapitalisme dalam pengelolaan sektor pendidikan dan kesehatan. Ironisnya, negara turut mencari keuntungan dan bertahap melepaskan tanggung jawabnya dalam penyediaan layanan pendidikan maupun kesehatan bagi rakyat. Sebaliknya, selama 13 abad masa kekhalifahan, tidak pernah terjadi komersialisasi pendidikan maupun kesehatan yang berakibat pada mahalnya layanan publik. Pelaksanaan syariat Islam kaffah di atas landasan ketakwaan akan membuat negara dan tenaga kesehatan bahu-membahu berkontribusi untuk kemaslahatan umat. Wallahu a’lam bishawwab.[]

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com

Tim Penulis Inti NarasiPost.Com
Muthiah Al Fath Salah satu Penulis Tim Inti NarasiPost.Com. Pemenang Challenge NP dengan reward Laptop 256 GB, penulis solo Meraki Literasi dan puluhan buku antologi NarasiPost.Com
Previous
Jokowi Teken Inpres PPHAM, Solusikah?
Next
Surat Cinta dari NP
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

1 Comment
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram