"Sebagai seorang muslim sudah sepatutnya kita membenahi akidah menuju iman yang lurus. Bersungguh-sungguh memohon ampunan dari Allah Maha Bijaksana, berlindung kepada-Nya, sebagai satu-satunya tempat mengadu dan mencurahkan segala kesusahan hati."
Oleh. Yana Sofia
(Tim Penulis Inti NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Sahabat, apakah kamu pernah berpikir bahwa mungkin masalah yang kita hadapi tidak besar? Bisa saja hati kitalah yang terlalu sempit, sehingga masalah berdesak-desakan membuat dada terasa penuh dan sesak.
Ya! Andai kita mau berupaya melapangkan ruang di hati, agar menjadi lebih luas lagi. Mungkin hati kita bisa menampung beban, di mana orang lain pun mampu. Lalu, kita pun mampu berkiprah di tengah masyarakat. Penuh keberanian melewati berbagai kenyataan pahit, berupa masalah yang datang silih berganti.
Lantas, apa yang harus kita lakukan untuk meluaskan hati? Bagaimana caranya agar kita kuat menghadapi terpaan masalah dan tetap berkiprah di tengah masyarakat dengan percaya diri?
Setiap Manusia Sama
Setiap manusia sejatinya sama, memiliki naluri yang melahirkan potensi yang sama pula. Karenanya, masing-masing manusia memiliki kepekaan hati yang sama, yang dengannya mampu menampung kapasitas masalah yang sama pula.
Karena manusia memiliki naluri dan potensi yang sama, maka yang harus kita lakukan juga sama. Seperti pendahulu kita dan para salaf saleh lainnya yang mencontohkan bagaimana sikap bijaksana dalam menjalani kehidupannya. Maka, kita pun sejatinya mampu mengembangkan sikap yang mencerminkan kebijaksanaan pula.
Kita bisa belajar dari mereka yang melekat padanya sifat-sifat mulia. Manusia pertama yang bisa kita jadikan teladan tentunya Rasulullah saw., kemudian dilanjutkan para sahabat, berikutnya para ulama. Mereka adalah cerminan agungnya sikap manusia yang mampu tetap berkarya dan berkiprah di tengah umat di tengah berbagai ujian yang menyertainya.
Nabi dan para sahabat ini memiliki kapasitas hati yang sama dengan kita. Bedanya mereka kuat menghadapi masalah, namun kita tidak. Karena mereka senantiasa bekerja dengan dorongan iman, memiliki tujuan yang jelas, dan percaya bahwa Allah menciptakan setiap manusia dengan segala keistimewaan yang ada pada dirinya masing-masing.
Layaknya Pohon
Sahabat, setiap manusia memiliki cita-cita dan harapan yang ingin dicapai dalam hidupnya. Katakan saja harapan yang digantung setinggi-tingginya itu layaknya pohon yang tinggi menjulang, akar yang kuat sangat dibutuhkan.
Pohon harapan ini, tak masalah jika tiba-tiba badai menerpa dan menggoyahkan batang dan cabang-cabangnya. Akar yang kokoh akan menopang pohon agar tidak tumbang.
Nah, akar ini layaknya iman yakni fondasi seorang muslim untuk terus meningkatkan ketaatan. Keimanan yang mendorong muslim memahami bahwa ujian adalah bagian dari kehidupan yang harus dihadapi dengan rida, kanaah, dan penuh kesabaran bahwa Allah tidak akan menguji di luar kesanggupan.
Allah berfirman dalam surah Al-Baqarah ayat 286,
"Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya, dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya."
Isi Hati dengan Iman
Jika pohon harapan itu suatu hari berbuah amal kebajikan, maka keimanan adalah sumber kekuatan dan fondasi dalam amalannya. Iman akan terus menutrisi pohon kebajikan untuk menghasilkan amal-amal hebat yang berbuah lebat, dan tentunya bermanfaat untuk orang lain.
Iman kepada Allah dan segala yang disyariatkan-Nya, jika ditanamkan dalam benak setiap muslim, lalu dibarengi dengan sistem manajemen diri yang baik, yakni meletakkan tujuan yang jelas (rida Allah) dan sikap mencintai apa pun kekurangan dan kelebihan yang kita miliki, akan membentuk kepribadian ideal bagi setiap muslim. Hidup penuh rasa syukur dan mencintai diri sendiri, yang karenanya ia takkan tinggi bila dipuji, tak pula tumbang bila dicaci.
Karena itu, Rasulullah dan para salaf saleh terdahulu senantiasa melapangkan hati sebesar-besarnya untuk menerima setiap qada dari Allah. Hati yang lapang bukan untuk diisi dengan masalah. Sebaliknya, diisi dengan rasa syukur yang disertai keyakinan, bahwa hadirnya masalah bukan untuk mematahkan semangat, melainkan sebagai batu loncatan untuk menjadi pribadi yang lebih baik lagi.
Begitulah, ruang besar di hati itu tidak diisi dengan masalah. Melainkan dengan iman, keridaan, kanaah, kesabaran, serta sikap mencintai diri. Karenanya, seorang muslim takkan melakukan hal bodoh, semisal menyalahkan diri sendiri, atau bahkan menyalahkan Allah atas derita yang ia alami.
Rida dengan ketentuan yang Allah tetapkan, tentunya tidak datang begitu saja tanpa dibarengi dengan keimanan yang benar, serta akidah yang lurus. Yakni keimanan yang hanya dicapai setelah kita memahami tujuan keberadaan kita sebagai insan. Yaitu untuk merealisasikan diri sebagai hamba terbaik.
Allah telah menjelaskan tujuan setiap hamba diciptakan, tidak lain untuk beribadah kepada-Nya. Sebagaimana firman Allah di surah Az-Zariyat ayat 56 yang artinya,
"Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku."
Bukan Sekularisme
Jelas, tujuan ini sangat bertentangan dengan konsep sekularisme yang diterapkan dalam kehidupan masyarakat hari ini. Ide pemisahan agama dari kehidupan ini telah membuat manusia menjadi kerdil dan bersikap egoistis yang hanya mementingkan keuntungan diri sendiri dan abai pada masalah orang lain.
Pada faktanya, ide sekularisme inilah yang membuat manusia terjebak dengan kehidupan yang penuh konflik. Konflik terhadap sesama, juga konflik dengan diri sendiri. Akibat menjauhkan agama dari kehidupan, konsep kehidupan muslim telah berubah menjadi kemanfaatan, bukan lagi iman dan ketakwaan.
Saat kita hidup jauh dari agama, maka tujuan hidup adalah memenuhi hawa nafsu dan keinginan syahwat belaka. Dunia kita pun menjadi sempit, baik pemikiran, juga hati. Pemikiran yang sempit akan suka membesar-besarkan masalah. Hati yang sempit, takkan mampu menampung masalah, bahkan yang tergolong kecil.
Karenanya, kita tidak asing lagi dengan berita-berita bunuh diri karena tidak kuat hadapi masalah. Padahal jika kita ukur, masalahnya hanya soal putus cinta, masalah nafkah, hingga orang tua bercerai sebagaimana yang terjadi pada MPD. Yakni mahasiswi program studi (Prodi) Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia (FISIP UI), yang bunuh diri beberapa waktu lalu. Di mana kematiannya diduga kuat akibat depresi karena orang tuanya bercerai. Dikutip Beritasatu.com (11/03/2023).
Karenanya konsep iman dan takwa yang menjadi cita-cita setiap muslim takkan pernah sejalan dengan paham sekularisme yang menjauhkan agama dari kehidupan. Karenanya, asas dalam kehidupan inilah yang wajib terlebih dahulu kita perbaiki. Campakkan pemikiran sesat, adopsi asas Islam sepenuhnya.
Khatimah
Jelas, sebagai seorang muslim sudah sepatutnya kita membenahi akidah menuju iman yang lurus. Bersungguh-sungguh memohon ampunan dari Allah Maha Bijaksana, berlindung kepada-Nya, sebagai satu-satunya tempat mengadu dan mencurahkan segala kesusahan hati.
Mari kita memohon kepada-Nya untuk dikuatkan iman di tengah berbagai petaka yang lahir dari sistem sekuler yang menafikan keberadaan agama sebagai petunjuk dalam kehidupan kita, hari ini. Sembari berupaya sekuat tenaga mengembalikan sistem Islam sebagai landasan kehidupan bernegara. Yakni sistem yang mampu melahirkan jiwa-jiwa yang kuat selevel Uwais Al-Qarni sosok beriman yang tak patah saat dicaci, namun tak tinggi hatinya saat dipuji. Wallahu a'lam bishawab.[]