Menebar Inspirasi Melalui Karya Fiksi

"Secara umum pada dasarnya sama sebagaimana menulis tulisan yang lain. Perlu iradah, tsaqofah, daya analisis, dan teknis kepenulisan. Kalau boleh saya tambahkan kita juga harus itqan atau totalitas dalam menghadirkan sebuah karya."


Oleh. Erni Susanti
(Kontributor NarasiPost.Com)

NarasiPost.Com-Mengawali sharing kita malam ini, saya ingin mengutip perkataan Imam al-Khatib al-Baghdadi yang ditulis dalam Kitab Adabul Alim wal Muta'allim karya Hadratussyekh KH. M. Hasyim Asy'ari:

"Penulisan suatu karya itu dapat memantapkan hafalan, mencerdaskan hati, mengasah otak, memperbaiki penjelasan, memperoleh nama baik, pahala yang agung, dan abadi sepanjang masa."

Dari kutipan di atas, semakin menyadarkan kita bahwa menulis memiliki keutamaan dan manfaat yang luar biasa. Sebagaimana Imam As-Syafi'i juga pernah berkata: "Ilmu laksana hewan buruan dan pena adalah tali pengikatnya. Maka ikatlah hewan buruanmu dengan kuat. Adalah sebuah kebodohan jika engkau berburu namun buruanmu kemudian engkau biarkan begitu saja."

Maka saya menyimpulkan bahwa menulis adalah proses belajar itu sendiri. Ketika kita menuntut ilmu (belajar), sudah semestinya kita harus menulis. Dengan demikian bisa "menguatkan hafalan" yang kita miliki.

Menulis dalam proses belajar tentu banyak caranya. Bisa kita membuat tulisannya di buku catatan, atau ketika kita menuliskannya menjadi sebuah tulisan berupa Opini, Worldnews, Family, Syiar, Motivasi, dan sebagainya.

Termasuk membuat "karya fiksi" juga semata-mata karena aktivitas kita sebagai seorang muslim yang diwajibkan untuk selalu belajar agar apa yang kita pelajari selalu kita ingat, kita bisa tuangkan dalam karya kita. Puncaknya kita mampu untuk terus menghidupkan ajaran-ajaran Islam.

Dengan menulis, secara tidak sadar menjadikan kita muroja'ah (mengulang) apa yang sudah dibaca/dipelajari. Saat menulis opini, kita edit berkali-kali, setelah dimuat kita baca-baca lagi. Akhirnya kita semakin menguasai apa yang telah kita tulis. Ketika ada diskusi atau harus mengisi kajian tentang tema yang pernah kita tulis kita cenderung mudah untuk memaparkannya kembali.

Mengapa Menulis "Karya Fiksi"?

Secara umum pada dasarnya sama sebagaimana menulis tulisan yang lain. Perlu iradah, tsaqofah, daya analisis, dan teknis kepenulisan. Kalau boleh saya tambahkan kita juga harus itqan atau totalitas dalam menghadirkan sebuah karya. Mengerjakan secara maksimal dan tidak asal-asalan.

Dari beberapa karakteristik serta kelebihan menulis karya fiksi yang ingin saya sampaikan malam ini adalah bahwa menulis karya fiksi lebih "fleksibel". Iya, mudah disesuaikan.

  • Menulis cerpen misalnya, kita tidak dituntut untuk segera menyelesaikannya, karena tidak terikat tema (TOR) mingguan.
  • Lebih leluasa menuliskan apa pun yang ingin kita tulis. Termasuk peluang dalam "menyelipkan" ilmu yang kita miliki, ide yang ingin kita sampaikan, atau bahkan hal yang kita sukai lebih besar.

Contoh:

Dalam cerpen "Pemuda Berselimut Serban (1)"

"Sayang, menikah itu hukumnya sunah bagi seseorang yang telah memiliki keinginan dan memiliki kemampuan untuk menikah."

  • Menguatkan hafalan tentang hukum menikah dalam Islam (Fikih Usrah/ Keluarga).

Dalam cerpen "Dialog Sepertiga Malam"

"Musa, masih ingatkan kisah Nabi Musa setelah membelah lautan dan selamat dari kejaran Firaun? Ternyata kaumnya (Bani Israil) masih menggerutu, karena mereka terdampar di padang pasir yang tiada sumber kehidupan. Apa kata Nabi Musa kepada kaumnya tersebut? 'Bersyukurlah, maka Allah tambah nikmat kepada kalian'. Ayat ini mengajarkan kepada kita, sekalipun diberi ujian, selain memang harus bersabar ternyata tetap ada ruang untuk bersyukur."

  • Mengikat hasil belajar tentang surah Ibrahim: 6-8.

"Musa! Bukankah Syekh Fathi Al-Hijazi berkata, kalau mencari ilmu itu membutuhkan umurnya Nabi Nuh, sabarnya Nabi Ayub, dan hartanya Qorun? Intinya memang perlu waktu yang lama, sabar yang luar biasa, dan harta yang tidak sedikit. Jagoan Abah, bisa ya sabar di sana?"

Mengutip kutipan/quotes yang kita sukai.

Dalam cerpen Pesona Alexandria

"Menurut Syekh Taqiyuddin An-Nabhani, dalam kitab Nizhamul Islam, kaum muslim tidak pernah mengalami kemunduran dari posisinya sebagai pemimpin dunia selama tetap berpegang teguh pada agamanya. Kemunduran kaum muslim mulai tampak tatkala mereka meninggalkan dan meremehkan ajaran-ajaran agama, membiarkan peradaban asing masuk menyerbu negeri-negeri mereka, membiarkan paham-paham Barat bercokol dalam benak mereka."

Menyampaikan sebuah ide (dari kitab rujukan)

Lalu bagaimana cara kita mulai "menebar inspirasi melalui karya fiksi?" Bagaimana agar orang mampu tergerak hatinya setelah membaca karya kita?

Pertama, tentukan target atau tujuan, yaitu pesan apa yang ingin kita sampaikan kepada pembaca (baik tersurat maupun tersirat).

Kedua, putuskan sebuah kisah terlebih dahulu. Sebelum menulis, kita sudah mengetahui cerita secara keseluruhan: tokoh, konflik, penyelesaian (meski masih secara umum).

Tentang konflik, bisa berangkat dari ayat berikut:

"Apakah kalian mengira untuk masuk ke dalam surga sementara belum datang kepada kalian seperti yang menimpa orang-orang sebelum kalian? Mereka ditimpa kesulitan dan kesusahan, bahkan diguncang dengan berbagai macam ujian. Sehingga Rasul dan orang-orang yang beriman berkata: ‘Kapan datangnya pertolongan Allah Subhanahu wa Ta’ala?’ Ketahuilah sesungguhnya pertolongan Allah itu dekat.” (TQS. Al-Baqarah: 214)

Bahwa setiap orang dalam hidupnya pasti memiliki ujian. Nah, ujian hidup inilah yang kita coba angkat dalam sebuah cerita. Seandainya pembaca sedang di posisi yang sama dengan tokoh, atau memahami realita tokoh, maka karya kita akan lebih menyentuh hati pembaca.

Ketiga, mulai menulis dengan segala hal yang menguatkan target kita atau mendukung pesan yang ingin kita sampaikan. Istilahnya jangan melebar atau keluar dari alur cerita.

Lakukan hal ini saat menulis:

  1. Riset. Agar kisah yang kita tulis lebih terasa oleh pembaca maka buat senyata, sealami, dan serealistis mungkin.
  2. Tak masalah menulis mengalir dulu, tapi ikhlas juga kalau marasa kalimatnya bagus harus di- cut jika memang saat dibaca lagi tidak mendukung target.
  3. Menulis bukan sekadar berimajinasi. Tetapi kita benar-benar punya "pesan" yang ingin disampaikan kepada pembaca dari kisah yang kita tulis.
  4. Tuntaskan sampai akhir (tamat) dan rasakan sensasinya!

Contoh:

Saat menulis "Dialog Sepertiga Malam"

  1. Pesan yang ingin disampaikan adalah bagaimana sikap manusia jika ditinggalkan oleh orang yang dicintai (anak oleh ayahnya).
  2. Mahasiswa Al-Azhar (kuliahnya jauh), anak bungsu (orang tua sudah sepuh), dulunya agak dimanja, ayahnya meninggal di tengah ujian kampus pula.

Penyelesaian di sini tidak tampak pada sikap tokoh, tapi justru dari dialog ayahnya.

Saat menulis "Pesona Alexandria"

  1. Pesan yang ingin disampaikan bagaimana rida terhadap keputusan Allah Swt. Khususnya tentang cinta.
  2. Bersahabat sejak di pesantren, bareng-bareng pas kuliah, wanita yang dicintainya sejak lama justru menikah dengan sahabat sendiri. Padahal tokohnya ini, misal tampak punya kelebihan dibandingkan dengan sahabatnya. Tapi ya begitulah ujiannya.

Terakhir yang ingin disampaikan sebelum diskusi, ada ungkapan menarik dari Syekh Ahmad Mahmud Syarif,

"Jika kamu mendapatkan kitab diterima umat dari generasi ke generasi, yakinlah bahwa penulisnya 'ikhlas luar biasa'". Dulu ketika Imam Malik bin Anas menulis kitab Al-Muwatha', orang-orang bertanya,
"Wahai Imam, kenapa Anda menulis Muwatha, 'kan kitab ratusan Muwatha sudah banyak ditulis orang-orang?"

Imam Malik menjawab, "Apa yang ditulis untuk Allah akan abadi."

Kemudian terbukti, Muwatha' yang tersisa hanya milik Imam Malik rahimahullah.

Dari sini menjadi pengingat, khususnya untuk saya pribadi bahwa berkarya, apa pun bentuknya (genrenya), tetap harus dilandasi oleh keikhlasan. Semata-mata hanya mengharapkan rida Allah Swt.

Segera tepis jika ada perasaan:

Takut tidak dapat TBA
Takut viewer-nya sedikit
Takut dapat surat cinta

Tuntaskan naskah kita, apa pun yang akan terjadi dengan naskah kita, ya terima saja…

Bismillah…

Tanya Jawab

1. Mimi Muthmainnah

  • Berapa persen sebaiknya naskah dialog dan narasi saja?
  • Apakah bisa dikatakan cerpen bila tidak ada konflik di alur cerita?

Jawaban:

  • Bisa disesuaikan dengan target tulisan kita. Tapi biasanya kalau saya pribadi, dialog itu maksimal setengah dari narasinya. Bisa kurang juga… Namun yang terpenting baik narasi maupun dialog, kita banyak mengungkap bukan menyebutkan.
    Maksudnya bagaimana?
    Misal ingin menunjukkan "dia marah"
    Kita tidak sebut dia marah, tapi kita gambarkan orang yang marah itu seperti apa, 'wajahnya memerah, nafasnya tersengal-sengal' dsb…
  • Kayak ruhnya aja gitu kalau ada konflik. Bisa aja, cuma ceritanya jadi tidak hidup. Konflik tidak harus pertikaian, 'kan? Fiksi romantis, menarik, kalau baca karya-karya Habiburrahman El-Shirazy juga rata-rata bertemakan cinta. Tapi ya tetep pada koridor Islam. Dan alangkah lebih baik, kita punya tujuan dari apa yang ingin kita sampaikan.

2. Firda Umayah

Apa yang harus diperhatikan agar pembaca langsung jatuh hati/penasaran dengan kelanjutan isi fiksi yang kita tulis?

Jawaban:

Sebagaimana ada lead (paragraf pertama dalam opini), kita juga perlu pembuka yang menarik dalam karya fiksi. Pembagian pembahasan ini juga diatur, biasanya satu cerpen misalnya dibagi-bagi ya, giring pembaca dengan menyajikan pemaparan yang membuat penasaran, ibarat kalau kita bercerita dengan orang lain, ungkapkan secara bertahap.

3. Keni Rahayu

Menurut Mbak Erni, bagaimana meyakinkan pembaca bahwa karya kita kredibel. Misal kita ingin angkat tema mental health di novel, tapi ternyata kita gak kuliah formal di jurusan psikologi?

Jawaban:

Pada kenyataannya banyak pembaca "tidak merasa perlu" dengan latar belakang penulis secara jelas. Yang terpenting apa yang dituliskan itu sesuai. Di sinilah pentingnya riset, kita harus ulik sedetail mungkin apa yang ingin kita sampaikan. Sampai pembaca bisa sepakat dengan apa yang kita sampaikan.

4. Aisyah Nantri

Izin bertanya, Kak Erni, bagaimana solusinya ketika menyampaikan pesan dalam cerita tersebut tidak terkesan menggurui, adakah tip-tipnya?

Jawaban:

Nah, ini salah satu menariknya karya fiksi bagi saya dibandingkan dengan menulis yang lain. Untuk meminimalisasi kesan menggurui, kita bisa hadirkan pesan yang ingin kita sampaikan dalam dialog. Sehingga, dialog akan dirasakan sebagai nasihat untuk tokoh tertentu saja bukan untuk pembaca.

5. Dyah Rini

Apakah tulisan story bisa dijadikan tulisan fiksi? Plus modifikasi terkait pesan yang akan disampaikan?

Jawaban:

Sangat bisa. Hanya saja sebagaimana pesan guru menulis saya, kalau untuk karya fiksi tetep harus di"dramatisasi"
Harus dibuat lebih mengharukan dan mengesankan.

6. Neni Nurlaelasari

Untuk jenis karya fiksi, boleh gak sih Mbak, misal terinspirasi sebuah kisah nyata di sekitar kita, lalu kita angkat menjadi karya fiksi dengan penambahan dari sisi konflik?

Jawaban:

Boleh sekali. Bahkan kalau tip dari Novelis Habiburrahman El-Shirazy, untuk kemudahan menulis karya fiksi kita, mulai dari yang ada di dekat kita, apa yang kita kuasai, dan apa yang kita sukai.
Dengan menulis apa yang ada di dekat kita justru membuat kita benar-benar bisa menyajikan fakta, yang tentu akan lebih mudah diterima pembaca.

7. Hilma

Apa yang melatarbelakangi Teh Erni mengambil plot Mesir dkk.? Apakah ada kriteria khusus bagi pembacanya?
Karena kebanyakan emak-emak 'kan suka cerita ikan terbang, ekonomi, dll.?

Jawaban:

Sebagaimana tip dari jawaban saya sebelumnya,

"Mulailah dari yang kamu sukai"

Dalam memilih Mesir dan sekilas kehidupan para ulama, itulah jawabannya, saya sedang menyukai dunia ini. Sejak awal tidak memikirkan siapa yang akan membacanya. Coba menulis saja. Karena meski berlatar Mesir, pesannya bisa sampai kepada siapa pun.

8. Nining Ummu Khansa Khalisa

Inspirasi untuk membuat cerpen salah satunya bisa diambil dari ayat, hadis dan lainnya.
Pertanyaan, bagaimana membuat cerpen yang menarik dan tidak bisa ditebak ujungnya, dan ini yang membuat pembaca justru ingin lanjut lagi baca sampai akhir dan membuat ketagihan. Kayak sinetron misalnya, pasti ujungnya kayak gitulah jadi males nontonnya.

Jawaban:

Eheheh… Iya begitulah ibaratnya sinetron, kalau terlalu bertele-tele dan seakan berputar-putar di situ saja, jadi bosan duluan.
Nah begitu juga tulisan fiksi kita, setiap kata yang ditulis itu harus mengarahkan pembaca kepada pesan yang ingin kita sampaikan. Ending itu ibarat visi dan setiap paragraf adalah misinya. Hindari pemaparan yang tidak mendukung target kita. Bisa jadi gak perlu pendetailan, yang penting fokus pada alur. Setelah ini tokohnya bagaimana lagi? Bagaimana penyelesaiannya? Nah, fokus di sini.

9. Dewi Pancawati

Menulis fiksi itu bagiku sangat sulit. Bagaimana trik agar tulisan fiksi itu menarik, mudah dimengerti, dan tersampaikan ide sang penulis dengan mudah?

Jawaban:

Bismillah. Intinya dicoba saja dulu. Dari satu karya akan menghantarkan pada karya berikutnya. Kita akan tahu kalau karya kita menginspirasi pastinya setelah menulis. Karena menulis fiksi juga sebuah skill, untuk menghasilkan karya terbaik tidak ada hal lain selain mencobanya.

10. Yanti Yunengsih

Menulis karya fiksi bisa berlanjut ya? misalkan baru sesi satu ceritanya nanti bisa lanjut kembali ke sesi 2 ? Ceritanya belum tuntas.

Jawaban:

Bisa. Hanya yang tetap perlu diperhatikan adalah alurnya. Jika alurnya mengharuskan dua sesi, bisa. Tapi kalau bisa disederhanakan jadi satu sesi saja, ambil yang satu sesi. Dibuat dua sesi bukan untuk mengulur waktu.

11. Mariyatul Qibthiyah

Bagaimana menulis cerita untuk anak?

Jawaban:

Dasarnya sama. Hanya untuk cerita anak, berarti kita harus menguasai realita anak-anak. Mulai dari fakta yang terindera oleh mereka, juga bahasa yang harus digunakan.
Sebagaimana mengajar anak SMP/ SMA, tentu berbeda dengan mengajar anak TK/ SD kelas 1 s.d. 3.
Nah begitu juga dalam menulis cerita untuk anak, kita harus hadir sebagai seseorang yang membersamai anak-anak.

12. Maya Rohmah

Untuk dialog, berapa persentase idealnya dalam sebuah karya fiksi?

Jawaban:

Dialog untuk saya pribadi, tergantung cerita yang saya buat.
Sekecil-kecilnya 30% dari keseluruhan dan maksimal 50%. Saya kadang tidak fokus di jumlahnya. Hanya saja dialog merupakan rangkaian dari keseluruhan. Pengungkapan karakter tokoh, masalah, dan lain-lain justru bisa di dialog. Intinya sama-sama mendukung pesan yang ingin kita sampaikan.

13. Indrarini

Berapa kata sih panjang ideal sebuah cerpen ?

Jawaban:

Ini tergantung hal-hal apa saja yang ingin kita sampaikan. Sekiranya perlu panjang ya panjang, kalau bisa pendek ya pendek. Yang penting pesan yang ingin kita sampaikan ke pembaca bisa tersampaikan.

Kalau secara umum tidak lebih dari 10.000 kata, paling sedikit perlu 1000 kata. Tapi di NP dengan rata-rata 2000 kata juga cukup. Sampai 3000/ 4000 kata bisa.

14. Sartinah

Apakah sebuah cerita fiksi yang menarik itu harus dramatis dan emosional? Jika ada fiksi yang terkesan biasa atau flat, namun mengandung hikmah yang banyak, apakah tetap dikatakan tidak menarik?

Jawaban:

Bagi pembaca tidak harus. Dramatisasi maupun menguasai sisi emosional pembaca itu tugas penulis. Lakukanlah sebisanya. Adapun nanti respons pembaca, menarik tidaknya. Ini relatif. Sudah pasti akan berbeda-beda responsnya.

15. Sulimah

Apa bisa dijelaskan terkait macam cerpen dan genrenya. Misal, Teenlit untuk apa? Slice of life itu yang bagaimana?

Jawaban:

Saya tidak begitu menguasai letak perbedaannya atau bahkan penamaan secara umum.
Sependek pengetahuan saya, Teenlit itu lebih pada target pembacanya yaitu remaja, maka bisa dibayangkan penulisannya pun berpusar pada kehidupan remaja.
Barangkali sebagaimana film, terbagi lagi ke beberapa genre, nah begitu juga karya fiksi. Ini lebih memudahkan untuk pembaca mengenal lebih sebuah tulisan.

16. Anis Nurhalimah

Pertanyaan saya, apakah boleh seorang penulis menulis cerita dalam bentuk apa pun yang berlatar belakang pesantren? Karena saya pernah mendengar ucapan seseorang, "Kamu tidak akan memahami menjadi santri, sebelum menjadi santri. Kamu hanya sekadar tau, 'siapa itu santri.'"
Dan saya dulu tidak sempat lulus mondoknya, jadi pengetahuan dan pemahaman saya masih sangat minim, Kak. Jadi, ketika menulis itu ada rasa takut salah. Mungkin ada tips atau saran dari Kak Erni.

Jawaban:

Boleh saja. Memang sedetail apa pun kita riset, jika tidak pernah mengalami akan tetap berbeda dengan yang pernah mengalami.

Untuk tipnya tetap di riset yang mendalam. Bisa baca story orang yang punya pengalaman mondok. Adapun nanti pas pemaparan hindari hal-hal yang memang kita ragu.[]


Photo : Koleksi pribadi
Disclaimer: Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayagkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]

Previous
Menjaga Anak dari Arus Moderasi Beragama
Next
Cinta Palsu Orang Ketiga
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram