”Zona pengaman ini untuk mengamankan aset negara dari berbagai kemungkinan yang tidak diinginkan, misalnya dari sabotase musuh. Pada saat yang sama juga menghindarkan masyarakat dari berbagai risiko atau bahaya.”
Oleh. Mariyah Zawawi
(Kontributor NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Ada gula, ada semut. Pepatah ini sepertinya sesuai dengan kondisi di perkotaan saat ini. Banyaknya industri di kota, membuka banyak lowongan pekerjaan. Hal ini menarik minat para pencari kerja. Mereka pun datang berduyun-duyun ke kota untuk bekerja.
Para pekerja ini membutuhkan tempat tinggal. Sayangnya, tidak mudah mendapatkan tempat tinggal yang nyaman dengan harga terjangkau. Akhirnya, mereka pun menempati lahan yang sebenarnya tidak layak huni. Bahkan, berbahaya bagi mereka. Misalnya di kolong jembatan, bantaran sungai, atau pinggir rel kereta api.
Ini pula yang terjadi di sekitar Depo Pertamina Plumpang, Jakarta. Di area ini banyak hunian didirikan. Akibatnya, banyak yang menjadi korban saat terjadi kebakaran depo pada tanggal 3 Maret 2023 lalu. Sebanyak 22 KK terdampak, 25 orang meninggal dunia, dan 21 orang mengalami luka-luka. (cnnindonesia.com, 16/3/2023)
Sebenarnya, bagaimana asal muasal depo Pertamina dan pemukiman di sekitarnya? Apa yang harus dilakukan untuk menghindari risiko dan bahayanya? Bagaimana Islam mengatur pemenuhan kebutuhan dasar ini?
Pentingnya Buffer Zone
Menurut Direktur Utama PT Pertamina (Persero), Nicke Widyawati, Pertamina membeli lahan dari PT MASTRACO pada 1971. Lahan yang dibeli dengan harga Rp514 juta itu hendak akan dijadikan Integrated Terminal Jakarta. Di dalam lahan seluas 1.534.510 m2 tersebut terdapat depo Plumpang.
Sebagian lahan, seluas 72 hektare digunakan untuk area operasional Pertamina. Sedangkan sisanya, 82 hektare untuk lahan bebas. Saat itu, belum ada pemukiman warga di lahan bebas tersebut. Namun, di akhir 1980-an, mulai banyak pemukiman warga yang dibangun. Berdasarkan inventarisasi yang dilakukan oleh Pertamina pada tahun 2017, terdapat 34.707 orang dengan 9.234 kepala keluarga (KK) yang tinggal di dekat depo Plumpang. (cnnindonesia.com, 14/3/2023)
Padahal, Terminal Bahan Bakar Minyak (TBBM) atau yang biasa disebut dengan depo minyak, merupakan salah satu objek vital nasional (obvitnas). Objek-objek seperti ini seharusnya mendapatkan pengamanan yang ekstra. Salah satunya adalah dengan menyediakan buffer zone atau zona pengaman. Zona pengaman ini untuk mengamankan aset negara dari berbagai kemungkinan yang tidak diinginkan, misalnya dari sabotase musuh. Pada saat yang sama juga menghindarkan masyarakat dari berbagai risiko atau bahaya.
Karena itu, Dr. Mukhijab, seorang pengamat sosial, menyatakan bahwa TBBM Plumpang di Jakarta juga harus dilengkapi dengan zona pengaman ini. Zona pengaman ini harus dikosongkan. Karena itu, tidak boleh ada hunian atau pemukiman di area tersebut.
Sayangnya, masyarakat tidak memahami hal ini. Saat mereka melihat lahan kosong, mereka pun mendirikan bangunan di sana. Mereka tidak memahami bahaya yang mengintai.
Pemerintah daerah ternyata juga setali tiga uang. Para pemimpin itu justru memanfaatkan penduduk yang tinggal di tempat ini untuk meraih tujuan politik. Karena itu, penduduk yang tinggal di daerah terlarang ini pun mendapatkan KTP, fasilitas listrik dan air, bahkan juga IMB. Sementara itu, masalah mereka yang membutuhkan hunian yang layak, tidak terselesaikan. Demikian pula, masalah pengamanan objek vital nasional tidak tertangani.
Kemiskinan Struktural
Munculnya pemukiman di dekat depo Pertamina merupakan salah satu akibat dari tidak meratanya pembangunan. Pembangunan lebih banyak dilakukan di kota. Berbagai fasilitas umum juga tersedia. Mulai dari fasilitas pendidikan, kesehatan, sampai hiburan, tersedia di kota. Inilah yang menyebabkan terjadinya urbanisasi.
Urbanisasi itu pula yang menyebabkan jumlah penduduk Jakarta terus meningkat dari tahun ke tahun. Peningkatan jumlah penduduk ini menyebabkan semakin sedikitnya lahan untuk pemukiman. Maka, mereka pun rela tinggal berdesak-desakan.
Meskipun mereka sudah rela hidup berjubel di kota, nasib mereka masih jauh dari sejahtera. Hal ini akibat dari penerapan sistem kapitalis yang berpihak kepada para pemilik modal. Inilah yang menyebabkan terjadinya kemiskinan struktural.
Kemiskinan ini terjadi karena distribusi kekayaan yang tidak merata. Para pemilik modal melakukan privatisasi terhadap kekayaan alam. Rakyat kecil yang tidak memiliki modal tidak mampu mengaksesnya. Mereka hanya mendapatkan limbah dan bencana alam akibat kerusakan lingkungan.
Padahal, kekayaan alam itu merupakan kepemilikan umum. Mestinya, penguasa dapat mengolahnya sendiri. Hasilnya digunakan untuk kepentingan masyarakat. Dengan cara seperti ini, seluruh rakyat dapat menikmatinya.
Namun, karena dilakukan privatisasi, pengelolanya adalah pihak swasta. Baik swasta dalam negeri maupun asing. Merekalah yang mendapatkan keuntungannya. Maka, mereka dapat hidup layak, bergelimang harta.
Sementara, rakyat tidak mendapatkan apa-apa. Untuk membeli makanan saja sulit. Apalagi membeli rumah yang layak. Karena itulah, mereka rela tinggal di mana saja, termasuk di dekat depo Pertamina. Bagi mereka, yang penting ada tempat bernaung dari panas dan hujan. Meskipun mereka harus menghadapi bahaya yang besar.
Hunian untuk Rakyat
Berbeda halnya dengan sistem Islam. Dalam Islam, negara berkewajiban untuk membantu menyediakan pemenuhan kebutuhan dasar bagi rakyat. Maka, negara akan fokus mengurusi rakyat agar mereka mampu memenuhi kebutuhan sandang maupun pangan. Demikian pula dengan kebutuhan papan. Bahkan, negara juga berkewajiban untuk membantu terpenuhinya kebutuhan akan kesehatan, pendidikan, serta rasa aman.
Untuk ini, ada beberapa hal yang dilakukan. Pertama, negara akan membantu menyediakan pekerjaan bagi laki-laki. Sebab, Islam telah meletakkan kewajiban mencari nafkah itu di pundak mereka. Jika mereka tidak mampu bekerja, maka saudara, kemudian kerabatnya yang wajib membantu mereka. Namun, jika tidak ada saudara atau kerabat yang mampu, maka negara yang akan mengambil alih tanggung jawab tersebut.
Kewajiban laki-laki untuk mencari nafkah ini juga mencakup kewajiban untuk menyediakan tempat tinggal bagi keluarganya. Baik tempat tinggal itu milik sendiri atau menyewa. Besar atau kecil, mewah atau sederhana. Hal ini disesuaikan dengan kemampuannya. Allah Swt. berfirman dalam surah At-Talaq [65]: 6,
"Tempatkanlah mereka (para istri) di tempat kamu tinggal."
Kedua, negara akan mengelola kepemilikan umum untuk kepentingan seluruh rakyat. Misalnya untuk pembangunan infrastruktur dan fasilitas pendidikan serta kesehatan. Dengan demikian, semua dapat menikmatinya, baik kaya maupun miskin. Baik mampu bekerja atau pun tidak.
Ketiga, negara juga akan membantu menyediakan hunian yang nyaman dan aman, dengan harga terjangkau. Baik melalui pembelian secara tunai maupun kredit. Tentu saja, tidak akan ada transaksi ribawi yang mencekik leher. Demikian pula, negara dapat menyewakan, meminjamkan, atau bahkan menghibahkan rumah kepada mereka yang tidak mampu.
Demikianlah, Islam telah meletakkan tanggung jawab pemenuhan kebutuhan tempat tinggal di tangan laki-laki. Namun, negara juga bertanggung jawab untuk membantu menyediakan tempat tinggal untuk mereka. Dengan cara seperti ini, tidak akan ada penduduk yang tinggal di daerah-daerah yang rawan atau berbahaya seperti di dekat depo Pertamina atau pinggir rel kereta api. Maka, keamanan rakyat maupun aset negara akan terjaga dengan baik. Wallaahu a'lam bishshawaab.[]