"Dulu, berkali aku bertanya pada Allah, mengapa ayah? Mengapa ayah meninggal dengan cara mengenaskan? Mengapa ayah wafat dan dunia memusuhinya?"
Oleh. Haifa Eimaan
(Tim Penulis Inti NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Syakban 1444 H. Langit gelap. Udara pengap. Tidak ada kesiur angin. Daun-daun kemboja terpaku. Kelopak-kelopak putihnya seolah terkulai tidak kuasa menebar semerbak. Aku terus melangkah mengikuti setapak samar.
Aku di sini. Di areal pemakaman bagi orang tak dikenal. Sejauh mata memandang hanya ada rerumputan dan tanaman semak yang berlomba menyembunyikan jirat kubur. Tidak ada juru kunci yang merangkap pembersih makam. Kuburan ayah berada di blok X. Letaknya di sayap kiri makam, jauh di belakang, dan menempel pada tembok pagar. Tidak ada batu nisan. Hanya sepotong papan lapuk sebagai penanda dengan coretan nama, tanggal lahir, dan tanggal kematian yang ditulis sekadarnya. Hari ini kudapati rayap memakan sebagian papan nisan dan tulisan yang mulai luntur sebagian.
Secuplik tanah ini menyimpan cerita kelam. Ayah wafat di medio Desember satu dekade lalu. Begitu jasad ayah selesai diautopsi oleh tim DVI Polda Jatim, bunda bermaksud menguburkan ayah di kompleks pemakaman dekat perumahan kami, tetapi warga menolak. Jasad ayah juga ditolak di tanah kelahirannya. Pun di tempat kelahiran bunda. Menurut mereka, perbuatan ayah terlalu terkutuk dan tidak bisa dimaafkan. Ya, tidak ada yang mau menerima jasad ayah sampai akhirnya aparat berwenang memberikan secuplik tanah ini.
Ayah tewas bersama bom yang meledak di depan sebuah pusat perbelanjaan yang menyelenggarakan pertunjukan musik. Mereka katakan ayah pelakunya. Aku ingin menyangkal, tapi tidak bisa. Rekaman CCTV dan video amatir bercerita banyak pada dunia. Tanpa samar menayangkan sebuah motor boks lengkap dengan pelat nomornya. Bergerak lambat berusaha memecah kerumunan manusia yang tumpah di jalan raya. Motor boks itu tiba-tiba terburai dengan suara dentuman keras. Kepanikan kala itu demikian mencekam. Lima orang tewas termasuk ayah dan puluhan korban luka dibawa ke rumah sakit terdekat.
Pada hari itu, seluruh media dan masyarakat mengutuk perbuatan ayah. Aku pun mengutuk peristiwa itu. Dengan alasan apa pun, tindakan pelaku pengeboman tidak dapat dibenarkan baik dalam hukum positif maupun Islam. Bom bunuh diri adalah perbuatan naif dari orang-orang yang salah memahami syariat Islam.
Akan tetapi ayah tidak naif. Ayah sangat cerdas dalam beragama. Ditanamkannya akidah pada aku dan Kavi dengan jalan berpikir, bukan doktrin. Aku ingat pesannya. Keimanan itu harus didapat dengan proses berpikir, meski terlahir Islam. Allażiina yażkurụnallaaha qiyaamaw wa qu'ụdaw wa 'alaa junụbihim wa yatafakkarụna fii khalqis-samaawaati wal arḍhi, rabbanaa maa khalaqta haazaa baaṭilaa subḥaanaka fa qinaa 'azaabannaar. Ayah berharap aku dan Kavi menjadi orang-orang yang selalu mengingat Allah dalam semua kondisi baik berdiri, duduk, maupun berbaring karena tidaklah Allah Swt. menciptakan makhluk dengan sia-sia.
Kata ayah, hanya dengan cara itu seorang muslim menyadari keberadaan Zat yang menciptakan. Saat Allah menciptakan sesuatu, saat itu juga Dia buatkan aturan yang mampu menyelesaikan seluruh persoalan manusia. Jika kelak didapati perbuatan yang disandarkan pada Islam, tetapi akal dan nurani menolak, maka dipastikan itu hasil modifikasi syariat dari orang tak bertanggung jawab. Apalagi jika tidak ditemukan sumber hukumnya dalam Al-Qur’an dan hadis, kami diminta untuk meninggalkannya. Jadi, sungguh tidak rasional jika ayah bermimpi mendapat free pass ke surga dengan melakukan perbuatan biadab itu.
Tidak ada mayat bisa bersaksi.
Mataku nanar menyaksikan breaking news seluruh saluran televisi. Sementara hatiku tercabik-cabik tanpa rupa. Aku tidak terima. Kepalaku menggelegak. Hatiku remuk perih.
Aku ingin mengelak atas kenyataan itu, tetapi tidak bisa. Seluruh fakta yang sangat terang-benderang itu menyudutkan ayah. Aparat menunjukkan KTP dan SIM C yang ditemukan di lokasi kejadian. Kedua kartu identitas itu sama sekali tidak ada bekas terbakar. Keduanya seperti baru keluar dari dompet. Padahal tubuh ayah hancur. Ini janggal, tetapi narasi biadab menutupi fakta keanehan ini. Ya Allah, kelak aku menuntut keadilan atas kematian ayah!
Foto ayah di sudut kanan bawah terpampang jelas. Pun dengan namanya, Salam Bahtiar. Nama yang membawa pesan perdamaian, persis namaku, Silmy. Dua belas tahun bersama ayah, tak pernah kudapati ayah berkonflik dengan siapa pun. Ayah cenderung pekewuh, seringnya mengalah. Sangat tidak mungkin ayah melakukan semuanya. Sungguh!
Malam sebelum kejadian, ayah dan bunda berjibaku menyelesaikan pesanan nasi kuning dan kue sebanyak 200 kemasan dari sebuah rumah peribadatan. Katanya itu konsumsi geladi resik untuk para pengisi acara puncak hari raya mereka. Kebetulan pengurusnya adalah tetangga baik kami. Pak Wiyoko namanya. Dia sudah sering memesan kue dan nasi.
Begitulah. Hari-hari kebersamaan keluarga kami habis di dapur untuk memenuhi pesanan pelanggan. Waktu kebersamaan ayah bunda habis di pasar untuk berjualan kue-kue dan nasi bungkusan. Usai berjualan, ayah mengantar bunda berbelanja, dan tiba di rumah tengah hari. Sore, ayah mengajar iqra’ di musala RT. Malam hari ayah berbaur akrab dengan warga kompleks. Lingkaran kehidupan ayah sebatas rumah, musala, dan pasar.
Sampai hari ini aku tetap yakin ayah sengaja ditumbalkan demi eksistensi islamofobia. Aku percaya, sebuah fakta bisa dibuat, bisa direkayasa agar sebuah opini mudah diaruskan. Ayah sama sekali tidak punya motif dan alibi. Ayah difitnah!
Tidak ada mayat bisa bersaksi.
Dulu, berkali aku bertanya pada Allah, mengapa ayah? Mengapa ayah meninggal dengan cara mengenaskan? Mengapa ayah wafat dan dunia memusuhinya?
Butuh lima tahun sampai aku bisa rida bahwa Allah memanggil ayah dengan cara seperti itu. Kullu nafsin dzaaiqatul maut. Setiap yang bernyawa akan mati. Bunda bilang, ayat itu dulu yang harus aku yakini, berikutnya tentang bagaimana Allah memanggil para hamba-Nya, itu menjadi rahasia Allah saja.
Ya, pada akhirnya, salah satu yang aku pelajari dari hidup adalah bagaimana menerima kenyataan tanpa menyalahkan takdir. Menerimanya sebagai sebaik-baik ketentuan dari Allah, tanpa tanya mengapa?
**
Rupanya langit tidak tahan menyimpan hujan. Gerimis tipis melayang turun sebelum menyentuh bumi. Bulir-bulirnya terasa halus menyentuh kulit. Kutatap langit semakin lindap. Kelopak mataku refleks terpejam menghindari terpa air. Rumput-rumput telah bersih dan berganti bunga kubur, doa terbaik pun baru selesai kupanjatkan, tetapi aku masih ingin berlama-lama di sini. Tidak tiap saat aku bisa mengunjungi makam ayah.
Ah, andai mereka tahu, setiap Syakban, haru dan sedih seolah bertambah berlipat-lipat. Ramadan terasa berat dijalani. Ingatan tentang ayah yang membangunkan kami untuk sahur itu masih basah. Apalagi saat ayah membawaku dan Kavi ke toko pakaian jelang lebaran. Walaupun dari rumah ayah sudah mewanti-wanti harga baju yang dibeli tidak boleh melampaui seratus ribu, kami sudah semringah luar biasa karena sepulang dari toko, ayah membelikan kami es krim setepak besar untuk berbuka puasa. Aku masih menyimpan salah satu wadahnya untuk menaruh bekal nasi ke kampus.
Ternyata sudah sepuluh tahun berlalu. Siang itu, aku dan Kavi baru pulang sekolah. Kami mendengar celetukan-celetukan tetangga sepanjang gang tentang ayah yang teroris. Teman-teman main kami mengiringi dari belakang sembari mengejek anak teroris. Dadaku berdebar kencang. Aku dan Kavi spontan berlari. Sekira tiga meter dari rumah, kulihat sebuah garis polisi berwarna kuning dipasang mengitari tempat tinggal kami. Aparat berseragam hitam-hitam, berompi antipeluru seperti di film-film, dan bersenjata lengkap berdiri berjaga. Kepalanya tertutup helm, bahkan seluruh mukanya tidak tampak sama sekali. Hanya mata berkilat-kilat liar.
Tidak ada satu orang pun yang boleh mendekat. Kavi menangis memeluk tasnya. Seragam putih merahnya bersimbah air mata. Sebagian tetangga yang berkerumun, tidak ada orang yang memedulikan. Hatiku mencelos memandangnya. Kami berpelukan entah berapa lama. Ya, Allah, apa yang terjadi?
Setelah Kavi tenang, aku menyeruak kerumunan mencari bunda. Tampak Bu Ahmad –istri takmir masjid— sedang memeluk tubuh terkulai. Bunda pingsan. Aku sekilas menciumnya. Menitipkan bunda dan Kavi pada Bu Ahmad lalu menyelinap masuk rumah.
Aku harus menyelamatkan beberapa benda. Petugas yang berjaga tidak tahu jika ada pintu penghubung antara halaman belakang rumahku dengan rumah Bu Ahmad. Aku mengendap-endap. Sesekali bersembunyi di belakang lemari atau daun pintu. Di dalam rumah, aparat yang berpakaian hitam-hitam serba tertutup mengacak-acak isi rumah. Kilat matanya penuh amarah. Suaranya menggelegar minta ditunjukkan tempat-tempat penyimpanan bubuk mesiu pada Pak Ahmad. Lelaki paruh baya itu menggeleng.
“Hei, Anak Kecil! Keluar dari persembunyianmu!” Sergah lelaki yang tingginya paling menjulang padaku.
(Ya, Allah. Aku ketahuan!)
“Kebetulan. Coba tunjukkan tempat penyimpanan bubuk TNT yang dipakai ayahmu!”
“Tidak ada! Ayahku bukan teroris!” Teriakku tidak kalah keras.
“Jangan bohong!”
Dia menyorongkan ujung senapannya ke dada, “Cepat, tunjukkan!”
Karena dia memaksa, kutunjukkan lemari penyimpanan bahan kue. Dengan serabutan ia menghamburkan kantong bubuk cokelat, tepung beras, baking powder, dan meses dari dalam lemari penyimpanan. Sekejap lantai porak-parik.
“Puas sekarang?”
Kuseret sekarung terigu cap bintang lima dengan susah payah. Kugeletakkan di hadapannya, “Puas? Puas sudah membunuh ayahku? Menghancurkan masa depan kami?”
Dia muntab. Dipukulnya wajah dan kepalaku dengan gagang senjata laras panjangnya. Aku terempas dengan kepala membentur tembok. Pelipis dan bibir berdarah. Kerudung berubah warna. Aku mengelapnya dengan ujung lengan seragam putih biru. Dalam situasi seperti itu, Pak Ahmad menghampiri menjadi tameng. Dia bersaksi bahwa almarhum ayah adalah orang baik. Akan tetapi, apalah arti kesaksian seorang Pak Ahmad. Laki-laki bijaksana itu pun mendapat perlakuan sepertiku. Di kemudian hari, dia disangkutpautkan dengan “jaringan” ayah. Astagfirullah.
Dari arah kamar, tampak seorang aparat membanting buku-buku pelajaran kelas 4 dan 7. Seorang lainnya membawa beberapa buku bersampul kaligrafi keemasan. Aku telat.
“Itu Al-Qur’an! Al-Qur’an! Kembalikan!” pekikku di antara perih. Kupegang bagian kepala yang terluka.
Dengan langkah panjang-panjang mereka berlima meninggalkan ruang tamu. Penggeledahan itu berakhir setelah mereka membawa sebuah panci presto, ponsel milik bunda, empat Al-Qur’an, dan kitab-kitabku di madrasah diniyah: Matan Al Jurumiyah, Sullamut Taufiq, Safinatun Najah, Hadis Arbain Nawawi, dan Aqidatul Awwam. Mereka juga membawa speaker murottal Kavi.
“Tolong kembalikan! Saya belum hafal seluruh isinya!” seruku serak. Mereka mengabaikan permintaanku.
“Mainan adik saya, mainan adik saya! Tolong kembalikan! Saya mohon,” kejarku sepenuh pinta.
Air mataku tumpah ruah. Usahaku sia-sia. Dengan jemawa mereka naik ke atas Land Cruiser hitam. Tanpa perlu menoleh pada anak kecil yang berlari mengharap Al-Qur’annya kembali, mereka melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi. Meninggalkan debu yang beterbangan dan luka hati yang menganga.
Kehilanganku semakin sempurna.
Ya, Allah.
Aku ingat, siang itu langit sesuram hari ini. Matahari tersaput awan serupa jelaga. Jelang senja, langit menghabiskan persediaan airnya hingga keesokan hari. Beberapa wilayah dihantam banjir, tetapi berita itu kalah panas dengan kabar serangan teroris dan geliat jaringannya. Media menggorengnya sampai pergantian tahun.
**
Aku beranjak dari pusara ayah. Menjauh dari deretan nisan yang membisu. Mengayun langkah mengikuti setapak samar. Diiringi hujan luruh bersama rintik rinduku pada ayah.[]