”Fenomena perselingkuhan indikasi rapuhnya ikatan pernikahan, sekularisme liberal merupakan pangkal dari kerapuhannya.”
Oleh. Sarie Rahman
(Kontributor NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Perselingkuhan merupakan hal sensitif dalam hubungan percintaan dan pernikahan, karena meninggalkan trauma bagi pasangan yang dikhianati. Meski begitu perselingkuhan selalu menjadi topik hangat untuk diperbincangkan di tengah masyarakat, bahkan menjadi tontonan paling diminati ketika disuguhkan dalam tayangan sinetron.
Mirisnya kasus perselingkuhan justru kian menjamur di kehidupan masyarakat saat ini. Dari hasil survei aplikasi Just Dating, 40 persen pengakuan responden di Indonesia pernah berselingkuh dan mayoritas pelakunya kaum hawa dibanding kaum adam. Kondisi ini mengantarkan Indonesia menduduki peringkat ke dua tertinggi Asia, negara terbanyak kasus perselingkuhan, satu tingkat di bawah Thailand dengan hasil survei 50 persen responden. (Tribun News, 18/02/2023)
Sedangkan dari laporan World Population Review, Indonesia berada di peringkat ke empat perselingkuhan tertinggi setelah India, Cina juga Amerika. Bahkan di AS, setengah dari mereka yang berstatus menikah pernah selingkuh sedikitnya satu kali selama pernikahannya. Perselingkuhan dianggap hal biasa di negara itu. Di Eropa seperti Denmark, Belgia, Norwegia dan Prancis sebanyak 40 persen pengakuan responden pernah tidur dengan bukan pasangan nikahnya. (Pikiran Rakyat, 17/02/2023)
Alasan selingkuh paling dominan adalah karena ketidakpuasan pada pasangan atau hanya sekadar ingin mencari kesenangan, sensasi baru dalam hubungan. Sebagaimana World Population Review dalam laporannya juga menyebutkan bahwa sebagian besar perselingkuhan bermula dari teman dekat, sahabat atau partner kerja dan rerata berjalan selama dua tahun. Sebagian berakhir cerai, sebagian lagi rujuk, namun tak sedikit pula yang mendiamkannya dengan pertimbangan status sosial atau anak serta demi menjaga nama baik keluarga besar dan sebagainya.
Maraknya perselingkuhan tak lain merupakan dampak kehidupan liberal sekuler yang kini menguasai berbagai lini kehidupan kita, tak terkecuali dalam mahligai rumah tangga menyebabkan ikatan pernikahan dan bangunan keluarga saat ini rapuh. Pernikahan bukan lagi menjadi ikatan sakral yang wajib dijaga. Suami atau istri bisa dengan mudah melanggar janji suci yang mereka ucapkan di hadapan Allah. Ketika mereka bosan dan tak lagi sejalan dengan pasangan halalnya, bisa dengan mudah mencari pasangan lain di luar pernikahannya. Alhasil, selingkuh dianggap satu-satunya solusi untuk kehidupan yang lebih bahagia.
Fenomena perselingkuhan indikasi rapuhnya ikatan pernikahan, sekularisme liberal merupakan pangkal dari kerapuhannya. Karena dalam paham sekuler, kehidupan umat manusia tidak berlandaskan pada agama, tak terkecuali kehidupan keluarganya. Contoh, ketika fungsi kepemimpinan (qawwamah) tidak ada lagi dalam diri seorang suami maka hilang pula keinginannya untuk melindungi dan memenuhi semua kebutuhan istrinya. Begitu pula sebaliknya, ketika ibu tidak lagi berfungsi sebagai ibu dan pengurus rumah tangga (ummun warabbatul bait), maka dia tidak akan mungkin sepenuhnya taat pada suami, pelayanan yang diberikan pada suami akhirnya juga tidak sepenuh hati. Alhasil hubungannya jauh dari ketenteraman, kebahagiaan, bahkan jauh dari keberkahan. Dengan kondisi begini peluang terjadinya perselingkuhan terbuka lebar, memicu suami istri ini masing-masing akan mencari kebahagiaan di luar rumah.
Di samping itu, dalam sistem kehidupan sekuler liberal materi adalah standar kebahagiaan. Sistem ini menuntut seseorang sibuk bekerja demi mendapatkan cuan untuk meraih kebahagiaan. Rumah yang harusnya menjadi surga bagi penghuninya, bergeser fungsi hanya menjadi tempat persinggahan bagi suami istri, layaknya terminal sekadar singgah untuk tidur. Anak pun akhirnya tanpa disadari terlantar, atau malah lebih dekat pada pengasuh ketimbang ibunya. Lumrah jika perselingkuhan banyak terjadi di sistem sekuler liberal karena menjadikan sumber kebahagiaan terletak pada kesenangan jasadi. Tak sedikit pasangan kepincut dengan orang lain yang lebih rupawan dan menawan di luar rumah.
Kondisi ini semakin diperparah dengan rusaknya sistem pergaulan saat ini, interaksi laki-laki dan perempuan semakin hari semakin tak ada batas. Berbaurnya laki-laki dan perempuan bukan mahram tidak lagi dipermasalahkan, padahal Allah melarang itu. Seringnya perselingkuhan biasanya terjadi bermula dari persahabatan laki-laki dan perempuan, rekan kerja, ngobrol intens, saling curhat, akhirnya muncul benih rasa ketertarikan satu sama lain. Ditambah lagi dalam sistem sekuler kebebasan begitu diagungkan, budaya liberal tumbuh subur. Maka individu-individu ini pun atas nama kesenangan bebas melakukan apa saja untuk menggapai kepuasan batin. Didukung lagi media yang terus menyajikan hal-hal memancing syahwat, pada akhirnya hubungan laki-laki dan perempuan hanya sebatas hawa nafsu. Inilah akar penyebab rapuhnya ikatan pernikahan. Pernikahan tidak lagi menjadi ikatan sakral, karenanya bisa dirusak oleh siapa saja yang mendewakan kesenangan.
Berbeda dalam pandangan Islam bahwa pernikahan adalah ibadah yang terikat sebuah perjanjian agung kepada Rabbnya (termaktub dalam surah An-Nisa:21). Menikah berarti telah mengikrarkan diri untuk terikat dalam hak dan kewajiban, berjanji untuk saling memenuhi dan melaksanakannya sebagai suami istri yang memiliki tujuan agung serta suci maka tidak boleh dipermainkan, justru harusnya dijaga dalam kehidupan bermasyarakat.
Muslim menjadikan rida Allah sebagai standar kebahagiaannya, bukan materi. Maka Islam memandang pernikahan bukan sekadar tentang meraih kesenangan saja. Suami istri akan berlomba menunaikan kewajiban yang telah Allah perintahkan untuk memenuhi hak pasangannya. Istri akan taat pada suami dengan pelayanan yang optimal, begitu pula sebaliknya suami akan berusaha sekuat tenaga bekerja untuk memenuhi kebutuhan serta siap menjadi pelindung bagi keluarganya.
Tatkala semua hak dan kewajiban antarpasangan telah terpenuhi sesuai standar agama, tentunya akan tercipta pernikahan yang sakinah, mawadah, warahmah. Sakinah yaitu tenteram, tenang, dan bahagia. Adapun mawadah, Imam Ibnu Katsir mengartikannya rasa cinta yang tulus dari suami istri. Sedangkan rahmah adalah kasih sayang. Jika semua elemen tadi terhimpun dalam bangunan pernikahan, akankah mudah rapuh? Justru sebaliknya, jika hubungan pernikahan berjalan di atas landasan agama, ikatannya akan kokoh dan bangunannya tidak mudah diruntuhkan oleh apa pun. Karenanya jarang kita temui terjadi fenomena perselingkuhan dalam pernikahan muslim.
Sistem kehidupan Islamlah yang akan menjaga keutuhan keluarga dan mengukuhkan bangunannya, mewajibkan setiap pasangan untuk melaksanakan kewajiban dan memenuhi hak pasangannya, masyarakat dan negara juga diwajibkan menjaga ikatan pernikahan. Masyarakat sebagai alat kontrol efektif penjaga ikatan pernikahan, ketika ada khalwat antara laki-laki dan perempuan, mereka di wajibkan berbicara (amar makruf nahi mungkar), begitu juga terhadap individu yang tidak menutup aurat secara sempurna, karena bisa merangsang syahwat lawan jenisnya.
Adapun negara yang memiliki fungsi pelindung umat, akan menjalankan perannya menjadi pelindung utama atas keutuhan rumah tangga warga negaranya, dengan memberlakukan sistem sosial yang ketat sesuai syariat. Membatasi interaksi laki-laki dan perempuan hanya sebatas hal-hal tertentu, sebatas urusan kesehatan, pasar (muamalah), dan pendidikan. Sekaligus memperhatikan media agar hanya kebaikan yang disampaikan kepada umat, bukan syahwat. Hingga tercipta suasana keimanan yang kuat di tengah masyarakat.
Sistem yang diterapkan seluruhnya berlandaskan akidah Islam, mulai dari ekonomi, pendidikan, serta sanksi-sanksinya. Sistem pendidikan Islam akan membentuk individu-individu yang berkepribadian Islam, sehingga tidak akan ada yang ingin menjadi pelakor perusak rumah tangga orang lain, menjadi sugar daddy, pekerja seks komersial, karena mereka mengerti semua itu larangan dalam syariat Islam.
Seiring dengan itu semua, sistem ekonomi dan sanksi juga berlandaskan pada akidah Islam. Kesejahteraan rakyat akan benar-benar diperhatikan oleh negara, agar para istri tidak harus menjadi tulang punggung keluarga, membantu ekonomi keluarga, terpaksa mengabaikan fungsinya sebagai ummun warabbatul bait. Dalam sistem persanksian, negara akan tegas memberikan sanksi agar semua individu merasa takut dan jera untuk melanggar syariat, termasuk kepada para pezina. Sehingga, terwujudlah masyarakat yang bermartabat mulia.
Sejatinya perlindungan terhadap keutuhan rumah tangga hanya akan didapat dari penerapan sistem Islam, karena keluarga samaralah yang mampu melahirkan generasi dengan peradaban mulia. Maka, tidak ada solusi lain yang mampu menghambat maraknya fenomena perselingkuhan kecuali dengan sistem Islam. []