“Kemajuan Jepang sebagai Macan Asia nyatanya justru mengantarkan Jepang pada jurang krisis populasi dan ancaman kepunahan bangsanya sendiri. Pembangunan pesat dan kemajuan teknologi selalu beriringan dengan krisis moral dan sosial, runtuhnya bangunan keluarga, depresi serta bunuh diri, meluasnya kriminalitas, hingga merosotnya angka natalitas.”
Oleh. Pipit Agustin
(Kontributor NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Jepang berada dalam labirin kematian demografi selama lebih dari satu dekade. Negeri Sakura itu mengalami kemurungan sosial yang kronis karena anjloknya angka kelahiran. Tak hanya itu, Jepang juga menghasilkan aging population (populasi menua). Dikutip dari cnbcindonesia.com (24/1/2023), menurut data Bank Dunia, proporsi penduduk berusia 65 tahun ke atas di Jepang sangat tinggi yaitu menduduki ranking dua dunia, tepat di bawah Negara Monako. Hal ini juga menjadi penyebab keresahan akut bagi Jepang.
Mengutip Kompas.tv (28/11/2022), angka kelahiran di Jepang menurun drastis sejak 1973. Tercatat angka kelahiran saat itu adalah 2,1 juta bayi. Ini adalah yang tertinggi. Sementara itu, dalam rentang Januari-September 2022, angka kelahiran Jepang hanya mencapai 599.636 bayi. Diprediksi, angka ini akan terus merosot hingga jumlah 740.000 bayi per 2040. Bahkan sejumlah pihak menyebut bahwa pada 2050 populasi Jepang hanya akan menyentuh angka 97 juta dari semula 125 juta jiwa. Negeri Sakura bahkan diprediksi akan punah dalam seribu tahun mendatang. Mengerikan!
Merespons fenomena natalitas yang rendah ini, Kepala Sekretaris Kabinet Jepang, Hirokazu Matsuno, berjanji pemerintah akan menempuh langkah komprehensif agar masyarakat mau menikah dan memiliki anak. Sebelumnya, Tokyo menempuh berbagai upaya untuk mendorong rakyat Jepang mau menikah dan memiliki anak, di antaranya kebijakan subsidi kehamilan, kelahiran, dan perawatan anak, bahkan kebijakan imigrasi massal yang digagas tahun 2015 lalu. Namun, kebijakan pemerintah ini tidak menunjukkan hasil.
Baru-baru ini viral di media sosial fenomena rumah kosong tanpa pewaris di Jepang yang akan diambil alih oleh pemerintah. Jumlahnya cukup mencengangkan, yakni 9 juta unit rumah. Konon, rumah-rumah itu akan dibagikan secara cuma-cuma kepada siapa saja yang mau menempatinya.
Ironis. Meskipun menyandang gelar Macan Asia, ternyata Jepang menghadapi problem sosial masyarakat akut. Statusnya sebagai negara dengan ekonomi ranking ketiga dunia, tak bisa membebaskan masyarakat Jepang dari problem biaya hidup dan problem upah. Biaya hidup di Jepang sangatlah mahal. Konon, separuh dari gaji saja dialokasikan untuk membayar biaya hidup primer seperti makan dan tempat tinggal. Belum lagi pajak yang terkenal sangat tinggi, kebutuhan kesehatan, hiburan, dll.
Kemajuan Jepang sebagai Macan Asia nyatanya justru mengantarkan Jepang pada jurang krisis populasi dan ancaman kepunahan bangsanya sendiri. Pembangunan pesat dan kemajuan teknologi selalu beriringan dengan krisis moral dan sosial, runtuhnya bangunan keluarga, depresi serta bunuh diri, meluasnya kriminalitas, hingga merosotnya angka natalitas. Masifnya pelibatan perempuan sebagai angkatan kerja merupakan konsekuensi paham kesetaraan gender ala Barat yang turut memicu ‘kemalasan’ berumah tangga, apalagi memiliki anak.
Pemerintahan konservatif Jepang telah gagal mendorong rakyatnya agar lebih inklusif bagi anak-anak, perempuan, dan kelompok minoritas. Hal ini tersebab sistem nilai kapitalisme sekuler yang mereka adopsi telah membuat mayoritas masyarakat Jepang lebih menghargai materi dan kebahagiaan fisik, daripada bangunan masyarakat dan peradaban.
Ide-ide liberal telah memalingkan mereka dari rasa kemanusiaan dan rasa tanggung jawab melestarikan ras manusia itu sendiri. Mereka lebih terobsesi pada kesuksesan materi dan menurutkan life style hedonis daripada komitmen berumah tangga. Fenomena melajang ataupun childfree adalah hal lumrah di Jepang. Ditambah adanya kebijakan womenomics yang diekspor Barat ke negeri-negeri Timur termasuk negeri-negeri muslim, telah meracuni paradigma kaum perempuan sehingga memunculkan badai pekerja perempuan. Racun itu antara lain adalah narasi bahwa perempuan akan memiliki status sosial yang tinggi dan terhormat apabila ia punya karier (bekerja kantoran).
Akhirnya, kaum perempuan tak lagi berhasrat menjalani peran vital domestik sebagai ibu dan istri di rumah. Masyarakat yang diselimuti hedonisme juga cenderung tidak menghargai komitmen pernikahan, menunda memiliki anak, bahkan memandang anak adalah beban. Masyarakat sekuler bahkan tidak memiliki keyakinan terhadap Allah yang Menciptakan dan Mengatur rezeki setiap anak manusia.
Hal ini bertentangan dengan Islam yang meyakini firman Allah Swt. dalam surah Al-Isra’ ayat 31, “Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut miskin. Kamilah yang memberi rezeki kepada mereka dan kepadamu. Membunuh mereka ialah perbuatan dosa besar”. Juga bertentangan dengan surah Hud ayat 6, “Dan tidak satu makhluk (bergerak) di bumi melainkan semuanya dijamin Allah rezekinya. Dia mengetahui tempat kediamannya dan tempat penyimpanannya. Semua (tertulis) dalam kitab yang nyata (laufulmahfuz)”.
Oleh karenanya, Jepang membutuhkan penyelamatan ideologis paradigmatis agar keluar dari labirin kematian demografis yang tengah mengintainya. Ideologi yang sesuai dengan fitrah manusia Jepang dan bahkan seluruh manusia di muka bumi ini hanyalah Islam. Jepang tak perlu menggandakan anggaran untuk mendorong masyarakatnya menikah dan memiliki anak. Karena Islam mampu memperbaiki paradigma rusak yang dibangun sekularisme tanpa mengeluarkan biaya sosial.
Islam memiliki visi humanisme yang menciptakan masyarakat sehat jiwa raganya. Islam hadir untuk menjaga keluhuran bangunan masyarakat dari kejahiliahan makhluk dengan seperangkat aturan (syariat Islam). Masyarakat Madinah dan masyarakat era Daulah Khilafah Islamiah adalah potret masyarakat yang sehat dan peradaban yang luhur. Prestasi keluhuran masyarakat Islam selama belasan abad belum dan tidak akan pernah ada yang mampu menyamainya.
Rahasia pengaturan masyarakat oleh Islam adalah pada visi Islam itu sendiri. Visi itu memastikan bahwa kemajuan teknologi dan modernitas akan tunduk di bawah syariat Islam. Teknologi akan dipakai untuk kemaslahatan manusia, memanusiakannya, dan tidak memperbudaknya. Kemajuan teknologi akan digunakan untuk mewujudkan Islam yang rahmatan lil’alamin, bukan untuk menjajah bangsa lain. Wallahu a’lam[]
Sedang berpikir keadaan Jepang yg krisis masyarakat dan fenomena mualaf, muncul pemikiran, mungkin dengan Islam krisis penduduk Jepang akan terselamatkan, ternyata ada artikel ini, maasyaaAllaah tabarokallah Bu Pipit Agustin, semoga saja hal ini benar terjadi...