Sebagai sebuah negara dengan sistem kapitalisme, apa yang diserukan oleh MUI ini sangat berpengaruh di masyarakat luas. Tentu saja berdampak pada pengaruh investor asing yang menanamkan modalnya di Indonesia.
Oleh : Irma Ismail ( Aktifis Muslimah Balikpapan)
NarasiPost.Com — Kepengurusan Majelis Ulama Indonesia periode Tahun 2020-2025 resmi diumumkan. Miftahul Akhyar sebagai Ketua Umum MUI dan Ma'ruf Amin sebagai Ketua Dewan Pertimbangan MUI. Hanya saja, terdapat beberapa nama pengurus periode sebelumnya yang tidak ada, seperti Din Syamsudin, Muhammad Yusuf Martak, Bachtiar Nasir dan Tengku Zulkarnain. Keempatnya dikenal sangat vokal terhadap kebijakan pemerintah.
Menanggapi nama-nama yang hilang itu beragam respon datang dari beberapa tokoh. Ada yang menyatakan bahwa MUI bukan wadah politik. Namun, peneliti politik LIPI, Siti Zuhro menilai ada upaya penyeragaman suara di MUI. Dengan membandingkannya dengan cara pemerintah Orde Baru dalam merangkul kelompok-kelompok masyarakat. Dengan adanya upaya unntuk menyamakan suara di kalangan masyarakat. Salah satunya di MUI. Siti Zuhro menyebutnya sebagai state coorporatism. Bahwa di masa orde baru semuanya dikooptasi. Sementara sekarang dikatakan sudah orde reformasi. (CNNIndonesia.com, 27/11)
Tidak bisa dipungkiri bahwa dalam beberapa tahun ini, dinamika perpolitikan di tanah air memang bagaikan gelombang air laut. Ombak tinggi menggulung siapa saja yang menghadang, tapi kadang tenang menghanyutkan. Setiap peristiwa selalu terkait dengan perpolitikan yang ada, umat pun berada di persimpangan jalan. Secara umum masyarakat terbagi tiga kelompok, yaitu pendukung kebijakan pemerintah, pengkritisi kebijakan pemerintah dan kelompok masyarakat yang tidak peduli atau memcari aman saja. Dan inilah fenomena yang sedang terjadi, tak terkecuali juga berpengaruh dan masuk ke dalam lembaga swadaya masyarakat, MUI. Majelis Ulama Indonesia sebagai lembaga swadaya masyarakat yang mewadahi ulama, ormas Islam, dan cendikiawan Islam di Indonesia untuk membimbing, membina dan mengayomi kaum muslimin di seluruh Indonesia.
Tidak masuknya pengurus lama yang terkenal sangat vokal terhadap kebijakan pemerintah, sudah dapat dibaca oleh masyarakat, apalagi mereka adalah tokoh penting dan dikenal luas di masyarakat. Hembusan keberpihakan MUI dalam beberapa tahun terakhir ini seperti berhadapan dengan pemerintah , pro kepada para pengkritisi kebijakan pemerintah, sehingga MUI dianggap tidak netral. Kasus penghinaan terhadap Islam, yang dikenal dengan kasus al-Maidah, melahirkan gerakan massa yang luar biasa. Menghadirkan jutaan massa di satu titik yang datang dari berbagai daerah dengan biaya sendiri, adalah hal yang fenomenal. Pada akhirnya dikenal dengan gerakan 212. Dan Ketua MUI saat itu menjadi saksi ahli yang memberatkan terdakwa.
Berlanjut dengan Fatwa tentang tidak bolehnya seorang non-muslim menjadi pemimpin daerah/gubernur di tahun 2017, adalah puncak konservatif MUI. Dari situ lahirlah Gerakan Nasional Pengawal Fatwa (GNPF) MUI.
Beberapa rentetan peristiwa pun terjadi setelahnya, yang bersinggungan dengan kaum muslim. Kasus persekusi terhadap Ulama/Ustadz. Mereka yang menjadi pengurus MUI saat itupun berteriak lantang, bagaimana tentang ketidakadilan yang menimpa kaum muslim. Hingga kasus pelecehan terhadap Islam pun terus berlanjut, kasus konde dan cadar misalnya. MUI mulai menunjukkan kembali ketegasannya hingga dalam kasus unilever yang menyatakan dukungan terhadap LGBT. MUI dengan tegas menyatakan keharamannya, sementara kita paham negara-negara mana yang berada di belakang semakin eksisnya LGBT ini, dan negara-negara ini juga yang banyak berinvestasi di Indonesia. Jelas ini berdampak pada iklim investasi asing di dalam negeri.
Sebagai sebuah negara dengan sistem kapitalisme, apa yang diserukan oleh MUI ini sangat berpengaruh di masyarakat luas. Tentu saja berdampak pada pengaruh investor asing yang menanamkan modalnya di Indonesia. Ada rasa ketidaknyamanan. Ketika para pemilik modal merasa tidak aman, ini akan berpengaruh pada pembangunan yang sedang berjalan. Dimana, sebagian besar dananya berasal dari hutang luar negeri dan investor asing.
Maka, ketika para "suara vokal ini" tidak lagi berada dalam kepengurusan yang sah, maka apa yang mereka nyatakan menjadi suara yang mewakili diri, tidak lagi ada nama besar MUI. Masyarakat luas pun menyadari akan hal ini bahwa Ulama sedang digoncang oleh kapitalisme.
Hadirnya Ulama dalam kehidupan kita adalah sebuah keniscayaan karena ulama adalah pewaris Nabi. Menjadi suluh dalam kehidupan manusia hingga akhir zaman. Penyejuk hati dalam kegersangan dan perajut tali kasih dalam perselisihan. Senantiasa mengajak kepada kebaikan dan menyeru untuk meninggalkan kemaksiatan. Namun, sebagian ulama seperti di persimpangan jalan, antara idealisme dan pragmatisme. Antara kebenaran yang harus disampaikan atau diam, untuk kepentingan sebagian yang lain. Sebab akan diikuti banyak orang.
Maka ulama tetaplah istiqomah di jalan dakwah apapun halangannya, sekalipun rayuan dunia menggoda. Dan umat Islam berharap penuh kepada para ulama agar tetap istiqamah menjalankan amar makruf nahi mungkar, baik kepada penguasa maupun masyarakat. Menjadi himayatullah ummah (pelayan umat) dan shadiqul hukumah (mitra kritis pemerintah). Menjadi yang terdepan dalam penegakan syariah Islam secara kaffah. Agar kelak bersama umat bisa menyongsong kebangkitan hakiki. Sebuah kebangkitan yang akan menghantarkan umat Islam pada peradaban nan mulia. Peradaban Islam yabg dirindukan, peradaban yang dinanti. Wallahu 'alam bishawab []