“Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap orang memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada Allah. Sungguh, Allah Maha Teliti terhadap apa yang kamu kerjakan. (QS. Al-Hasyr: 18)"
Oleh. Yeni Marlina, A.Ma.
(Kontributor NarasiPost.Com, Pemerhati Kebijakan Publik dan Aktivis Muslimah)
NarasiPost.Com-Terinspirasi dari sebuah postingan akun Facebook Pemred NarasiPost.Com, Andrea Aussie, pada Minggu lalu, yang berjudul "Nanti Bagaimana bukan Bagaimana Nanti", dalam tulisan tersebut berkisah tentang beberapa negara yang pernah Bu Andrea tempati, di antaranya Finlandia, Prancis, Dubai, Hongkong, dan lain-lain. Begitu pula cerita tentang orang-orang Cina yang selalu berhasil menguasai perekonomian di negara mana pun yang mereka tempati.
Singkat cerita, pembicaraan Bu Andrea bersama seorang temannya yang berasal dari Cina, ternyata menguak satu prinsip yang menjadi pegangan mereka. Prinsip tersebut adalah gabungan dua kata sederhana, yaitu "nanti bagaimana? Bukan bagaimana nanti". Itulah yang menjadi prinsip hidup mereka. Mereka terpacu untuk bekerja keras agar lebih baik. Mereka berani mengubah hidup dengan berbagai inovasi dan gagasan, menyiasati berbagai peluang agar tujuannya berhasil. Melalui komitmen dengan sebuah prinsip hidup, "nanti bagaimana".
Dari ringkasan cerita di atas, apa yang terpikir dalam benak kita? Bukankah biasanya dalam kehidupan sehari-hari kita sering mendengar, "bagaimana nanti" saja? Setiap urusan dan risiko yang akan ditanggung dari sebuah keputusan, dikunci dengan sebuah kalimat sederhana "bagaimana nanti" saja. Artinya apa pun yang terjadi mengikuti arus apa adanya. Pasrah menerima, tak perlu bersusah payah membuat terobosan-terobosan baru untuk meninggalkan zona aman. Waktu berlalu tanpa ada perubahan yang berarti, apalagi karya dan inovasi. Apakah hal ini terjadi pada sebagian masyarakat, atau kita sendiri pernah mengalami?
Dua kata yang sama, disusun dengan penempatan yang berbeda. Antara "bagaimana nanti" dengan "nanti bagaimana" memiliki makna yang saling berlawanan. Bagaimana nanti, seperti kebanyakan cara berpikir yang dijadikan prinsip sebagian besar masyarakat di negeri kita ini (baca : Indonesia). Enggan untuk repot, sibuk, dan tak mau sulit. Lebih suka dengan risiko dan tantangan belakangan yang pada akhirnya menuai kegagalan bahkan menyerah dan tak ingin berubah.
Jika mental ini dipelihara, bagaimana bisa kita menghadapi tantangan global, yang ke depannya akan semakin nyata? Pertarungan ideologi akan terus terjadi. Komunisme, kapitalisme atau Islamkah yang harus kita perjuangkan?
Wahai umat, refleksikan apa yang terjadi hari ini. Kebiasaan masyarakat di sekitar kita, bahkan pada tingkat para elite politik yang ada di atas sana, mereka terbiasa berpikir "bagaimana nanti". Andai berimbas pada kesejahteraan rakyat, jawabannya pun masih "bagaimana nanti".
Bisa jadi setiap keputusan dibuat tanpa pertimbangan benar atau salah, baik atau buruk dalam timbangan syariat. Andai terjadi akibat terburuk sebagai risiko keputusan yang mereka ambil, maka akan dipikirkan belakangan.
Sadar atau tidak, kebiasaan telah menyandera kita. Kita tidak bisa bangkit dari keterpurukan, tidak bisa lepas dari berbagai krisis yang ada. Bahkan, tidak mau berpindah meninggalkan sistem kehidupan yang rusak (baca : sekularisme) menuju sistem sahih yang diridai Allah Swt.
Andai saja, semua disandarkan pada iman dan takwa pada-Nya sebagai hamba yang beriman kepada Islam, tentu kita akan banyak berpikir "bagaimana nanti". Sebab, setiap amal kita pasti akan ada hisab di yaumil akhir kelak. Islam tidak membiarkan kita berbuat sesuka hati walau sekejap. Ingat, bahwa Rasulullah adalah teladan dan pembawa risalah, beliau tetap memikirkan kita, umatnya, di akhir ajal menjemputnya. "Ummati, ummati," itulah yang beliau pikirkan. Lantas, bagaimanakah nasib umatnya sepeninggal Baginda Nabi?
"Nanti bagaimana?" Adalah tentang masalah visi ke depan. Visi mulia yang ada di pundak setiap muslim. Untuk itu, saatnya kita mengubah sketsa berpikir.
Pertanyaan seperti, nanti bagaimana jika diri kita tidak mendekat taat pada Allah? Nanti bagaimana ketika kita tidak punya ilmu agama dalam beramal? Nanti bagaimana kelak ketika ditanya saat memasuki alam barzah? Dan nanti bagaimana pula ketika di akhirat kita di hisab? Dan seterusnya. Nanti bagaimana dan bagaimana?
Umat Islam dan agama ini sedang dimonsterisasi dengan rekayasa pemikiran-pemikiran menyesatkan. Menghadapi ini semua, hal yang harus dilakukan untuk menghilangkannya tak lain hanya dengan aktivitas dakwah.
Dakwah menjadi tanggung jawab setiap muslim. Dakwah adalah kewajiban, bahkan saat ini disebut sebagai mahkota kewajiban (taajul furud). Dengan dakwah, akan ada yang menyampaikan kebenaran, menjelaskan kepada umat tentang kemunduran Islam. Pun, dengan dakwah dapat menggambarkan alasan kapitalisme tak mampu menyolusi permasalahan umat.
Ketika kita mempunyai kerangka berpikir "nanti bagaimana?" Seharusnya tercetus dalam benak kita bagaimana jika umat ini terus tersandera dalam sistem kapitalisme? Dan nanti bagaimana ketika tak ada dakwah di tengah-tengah mereka?
Berpikirlah tentang penciptaan manusia. Untuk apa kita diciptakan? Dan hendak ke mana kita setelah kehidupan dunia ini? Tentu kita diciptakan Allah dengan tujuan tertentu dan nanti akan kembali kepada-Nya lagi.
اَفَحَسِبْتُمْ اَنَّمَا خَلَقْنٰكُمْ عَبَثًا وَّاَنَّكُمْ اِلَيْنَا لَا تُرْجَعُوْنَ
“Maka apakah kamu mengira, bahwa Kami menciptakan kamu main-main (tanpa ada maksud) dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami?” (QS. Al-Mukminun : 115)
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اتَّقُوا اللّٰهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَّا قَدَّمَتْ لِغَدٍۚ وَاتَّقُوا اللّٰهَ ۗاِنَّ اللّٰهَ خَبِيْرٌ ۢبِمَا تَعْمَلُوْنَ
“Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap orang memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada Allah. Sungguh, Allah Maha Teliti terhadap apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Hasyr: 18)
Ini adalah tanggung jawab bersama umat Islam. Jika bukan kita, lantas siapa yang dapat berjuang meraih kebangkitan dan menyambut pertolongan Allah? Berhentilah berpikir tentang bagaimana nanti, tapi katakan "nanti bagaimana?."[]