”Klaim kerja sama bilateral yang dijanjikan dapat memakmurkan dan menyejahterakan hanyalah sebuah ilusi. Karena faktanya, kerja sama yang ditawarkan menjadikan Indonesia terus-menerus terperangkap dalam ketergantungan terhadap negara-negara pemilik modal.”
Oleh. Anggita Safitri, S.Si.
(Kontributor NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Dikutip dari MediaIndonesia.com (29/1/2023), Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah resmi membuat acara kick off keketuaan Indonesia untuk ASEAN tahun 2023 di Bundaran HI pada Minggu (29/1). Acara kick off ini adalah kerja sama antara Kementerian Luar Negeri dengan pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Presiden Jokowi menyatakan Asosiasi Negara-Negara Asia Tenggara (ASEAN) masih mempunyai peran penting bagi kawasan dunia di tengah krisis yang terjadi saat ini. “Tetapi, saya meyakini bahwa ASEAN masih penting serta relevan bagi rakyat, kawasan, dan dunia. ASEAN akan terus berkontribusi bagi perdamaian, stabilitas di Indo-Pasifik, menjaga pertumbuhan ekonomi, dan ASEAN matters epicentrum of growth,” imbuh Presiden Jokowi.
Menjadi pemimpin bukanlah hal baru bagi Indonesia. Terakhir kali Indonesia juga menjadi pemimpin kerja sama multilateral KTT G20 yang terdiri dari beberapa negara. Pada tahun 2021, Indonesia dipercaya untuk memimpin pembahasan isu-isu pemulihan ekonomi dan kesehatan masyarakat di forum multilateral United Nations Economic and Social Commission for Asia and the Pacific (UNESCAP).
Selain itu, menjadi ketua dalam suatu hubungan bilateral memang bukanlah hal yang mudah. Tentu saja, harapan membuat sebuah perubahan lebih baik pasti menjadi keinginan. Akan tetapi, menyoroti dari hasil kepemimpinan yang tengah berjalan, harusnya menjadi contoh yang dapat diambil. Karena pada faktanya, keadaan yang tampak akan tetap sama. Krisis ekonomi tidak mengalami perubahan, sehingga tingkat kemiskinan rakyat pun makin meningkat. Bahkan, pada tahun 2023 tercatat 9,57% atau sebanyak 26,36 juta orang berada di bawah garis kemiskinan.
Keberadaan organisasi negara-negara dunia masih diyakini membawa manfaat, termasuk Indonesia. Padahal kenyataannya, organisasi tersebut hanyalah sebuah alat perpanjangan tangan bagi negara adidaya untuk memperdaya negara lemah. Mengejar keuntungan pribadi sudah menjadi rahasia umum bagi mereka. Apalagi, dengan kebijakan politik luar negeri Indonesia yang bebas aktif serta kebijakan masing-masing negara ASEAN, sering kali tidak mencapai kesepakatan atas persoalan tertentu.
Kegagalan ASEAN dalam menyelesaikan konflik Rohingya juga merupakan salah satu bentuk pukulan bagi kredibilitas dan legitimasi terhadap blok regional yang merupakan rumah bagi masyarakat Rohingya. Upaya ASEAN dinilai tidak efektif, karena hanya berfokus memberikan bantuan kemanusiaan namun tidak menyelesaikan akar permasalahan. Sehingga, etnis Rohingya sampai saat ini belum mendapatkan jaminan kesejahteraan dan perdamaian.
Sistem kapitalisme yang masih terus diemban oleh negara-negara adidaya seperti Amerika, Cina, dan yang lainnya, akan sangat mudah menjalankan penjajahan gaya baru melalui kerja sama internasional. Menjadi aktor di belakang layar bagi mereka merupakan cara paling efektif. Selain itu, menjadikan negara-negara berkembang seperti Indonesia sebagai agen untuk menjalankan upaya mereka bukan lagi hal sulit.
Klaim kerja sama bilateral yang dijanjikan dapat memakmurkan dan menyejahterakan hanyalah sebuah ilusi. Karena faktanya, kerja sama yang ditawarkan menjadikan Indonesia terus-menerus terperangkap dalam ketergantungan terhadap negara-negara pemilik modal. Sehingga, membuat Indonesia sangat sulit untuk lepas dari jeratan mereka, serta harus tunduk dan patuh terhadap apa saja yang diinginkan oleh negara adikuasa.
Kerja sama antarnegara saat ini hanya akan membawa kerugian bagi Indonesia. Utang negara akan terus-menerus membengkak. Sehingga, menjadikan rakyat senantiasa berputar dalam kemiskinan dan kesengsaraan. Pun kekayaan SDA negara terus dikuras dan diperebutkan oleh negara-negara asing.
Islam Memberikan Solusi Progresif
Dalam Islam, negara harus kuat, mandiri, dan berdaulat. Kerja sama antarnegara diperbolehkan selama tidak membahayakan kepentingan negara. Islam sudah menentukan syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam menjalin hubungan luar negeri.
Allah berfirman dalam QS. Al-Maidah ayat 51, “Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu menjadikan orang Yahudi dan Nasrani sebagai teman setiamu, mereka satu sama lain saling melindungi. Barang siapa di antara kamu yang menjadikan mereka teman setia, maka sesungguhnya dia termasuk golongan mereka. Sungguh, Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.”
Ayat ini merupakan peringatan dari Allah Swt. kepada kaum muslim yang berteman dengan orang-orang kafir, dan melarang mereka berada dalam kekuasaan orang-orang kafir. Dalam Islam, bentuk kerja sama tergantung dari kategori suatu negara. Jika negara muhariban fi’lan atau kafir fi’lan, maka diharamkan melakukan kerja sama dalam bentuk apa pun. Sedangkan, negara kafir muahid, yakni negara yang terikat perjanjian dengan Khilafah, maka boleh menjalin kerja sama dengan syarat tidak menimbulkan kerugian bagi negara.
Begitulah Islam menjalin hubungan dengan negara lain. Sehingga Islam menjadi negara adidaya dunia selama 13 abad lamanya. Khilafah benar-benar bertugas menjaga dan melindungi umat. Wallahu a’lam[]