“Maka dari itu, tidaklah heran apabila kasus Hasya menjadi berbelit-belit. Walaupun akhirnya penetapan tersangka Hasya kemudian dicabut, tetapi hasil penyidikan kepolisian dinilai masih menyisakan banyak kejanggalan.”
Oleh. Nilma Fitri S.Si.
(Kontributor NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Polemik kasus tabrak lari yang melibatkan seorang mahasiswa UI sebagai korban oleh pensiunan polisi, berbalik dengan menjadikan korban sebagai tersangka. Sontak saja, peristiwa ini pun menjadi sorotan publik.
Dilansir dari tribunnews.com (29/1/2023), sebuah tragedi menimpa seorang mahasiswa UI, Muhammad Hasya Atallah Saputra (17), sebagai korban kecelakaan di Srengseng Sawah, Kecamatan Jagakarsa, Jaksel, pada 6 Oktober 2022. Peristiwa tersebut melibatkan AKBP (Purn) Eko Setio Budi Wahono, seorang pensiunan polisi sebagai pelaku penabrakan. Ia mendapat dukungan aparat hingga statusnya menjadi tidak bersalah. Sedangkan, Hasya dijadikan sebagai tersangka karena dianggap lalai dalam mengemudi.
Betapa peristiwa tersebut meninggalkan duka mendalam bagi keluarga Hasya. Tidak hanya nestapa kehilangan, tetapi juga penetapan Hasya jadi tersangka kejahatan. Keluarga pun tak tinggal diam dan terus berupaya memperjuangkan hasil penyidikan polisi yang dinilai tidak adil.
Berbagai kalangan masyarakat menilai banyak kejanggalan dari penyelidikan yang dilakukan kepolisian. Sudah korban meninggal, ditetapkan sebagai tersangka pula. Seolah rasa kemanusiaan telah hilang dari jiwa kepolisian, sehingga peristiwa ini sempat memicu kemarahan publik.
Akhirnya, tim khusus pencari fakta dengan melibatkan tim traffic accident analysis (TAA) dari Polda melakukan proses rekonstruksi ulang terjadinya kecelakaan di tempat kejadian perkara. Berdasarkan hasil rekonstruksi ulang, akhirnya polisi mencabut penetapan tersangka bagi Hasya. Diberitakan oleh bbc.com (7/2/2023), Gita Paulina selaku pengacara keluarga Hasya mengatakan bahwa keluarga mengapresiasi pencabutan status Hasya sebagai tersangka. Namun, keluarga masih berharap ada penuntasan hukum dari peristiwa yang terjadi pada Hasya.
Selain itu, dari hasil rekonstruksi ulang ditemukan fakta bahwa Hasya sempat terlantar tanpa tindakan medis selama 45 menit setelah kecelakaan. Pun adanya perubahan warna mobil yang dikendarai AKBP (Purn) Eko Setia Bayu Wahono saat rekonstruksi ulang, yang sebelumnya berwarna hitam menjadi warna putih. Ahli Psikologi Forensik, Reza Indragiri Amriel, mempertanyakan apakah ada upaya menghilangkan jejak insiden kecelakaan tersebut oleh pihak kepolisian? Jika benar, hal ini tidak bisa dianggap sepele hanya karena ganti cat mobil saja. (kompas.com, 4/2/2023)
Mempertanyakan Profesionalisme Aparat
Polisi telah bertindak terburu-buru dengan mudahnya menetapkan korban kecelakaan Hasya sebagai tersangka. Hal ini dinilai sebagai tindakan yang cukup gegabah tanpa melakukan penyidikan lebih dalam. Pun banyaknya kejanggalan penyidikan yang masih menyisakan pertanyaan. Tentu saja, peristiwa ini mengundang banyak perhatian masyarakat dan turut mempertanyakan bagaimana profesionalisme penegakan hukum di Indonesia. Padahal, profesionalisme merupakan hal penting yang harus dimiliki oleh profesi apa pun. Apalagi aparat kepolisian sebagai institusi penegak hukum, harus objektif dalam menimbang hasil penyidikan.
Pakar Hukum Pidana Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto, Prof. Hibnu Nugroho, menilai penetapan korban sekaligus sebagai tersangka merupakan hal yang aneh. Padahal, tersangka itu seharusnya orang lain. Karena, M. Hasya Attalah merupakan korban meninggal setelah ditabrak oleh pengendara mobil, dan pelakunya adalah seorang purnawirawan Polri. (republika.co.id, 28/1/2023)
Pakar Hukum Pidana dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Ganjar Laksmana Bonaprapta, mengatakan setelah dicabutnya penetapan Hasya sebagai tersangka, maka penyidikan kasus harus dilanjutkan dengan mencari siapa yang bertanggung jawab. Menurut Ganjar, polisi sudah melakukan kesalahan dari awal dengan penetapan korban meninggal sebagai tersangka. Karena secara hukum orang meninggal tidak bisa dijadikan tersangka.
Tentu saja, hal ini akan menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat kepada pihak kepolisian. Masyarakat menjadi skeptis terhadap fakta-fakta yang diungkapkan kepolisian. “Hal sepele saja kepolisian salah, apalagi hal yang lebih rumit atau lebih penting”, tambah Ganjar. Sementara itu, Ahli Hukum Pidana Universitas Muhammadiyah, Chairul Huda, menanggapi agar kasus ini sebaiknya dihentikan. Karena, kecelakaan terjadi bukan disengaja atau kelalaian dari pihak mana pun. Ini adalah murni kecelakaan dan bukan unsur pidana. (bbc.com, 7/2/2023)
Dari peristiwa yang berbuntut panjang ini, akhirnya pada hari Senin (6/2), pihak kepolisian melalui Ketua Bidang Humas Polda Metro Jaya, Kombes Trunoyudo Wisnu Andiko menyampaikan permintaan maaf melalui media atas penetapan korban Hasya sebagai tersangka. Menurutnya, hal ini terjadi disebabkan adanya kesalahan prosedur dan bukti baru yang tidak bisa diungkap oleh kepolisian. Namun masyarakat masih bertanya-tanya. Karena sampai saat ini, status AKBP (Purn.) Eko Setio Budi sebagai pelaku penabrakan pada kasus meninggalnya Hasya masih belum jelas statusnya.
Kapitalisme Mencoreng Kewibawaan Aparat
Taufik Basari, Anggota Komisi III DPR RI Fraksi Nasdem, turut menyesalkan penanganan kasus kecelakaan pihak kepolisian yang mengakibatkan mahasiswa Universitas Indonesia (UI), M Hasya meninggal. Dia menilai, penanganan yang dilakukan tidak profesional dan tidak sesuai dengan KUHP. Taufik juga menambahkan, dalam kasus ini kepolisian tidak melayani masyarakat secara humanis dan berlandaskan nilai kemanusiaan. (republika.co.id, 30/1/2023)
Dari kejadian ini terlihat jelas bagaimana rupa asli dari sistem kapitalisme yang saat ini mengatur negeri. Asas kapitalisme telah menguasai hampir di setiap sektor kehidupan. Sistem ini telah membiarkan setiap individu mengejar kepentingan-kepentingan mereka sendiri, demi memperoleh kemakmuran pribadi. Mereka sama sekali tidak mengindahkan penegakan keadilan, apalagi jika melibatkan pihak mereka sendiri.
Hukum menjadi tajam ke bawah dan tumpul bagi kalangan institusi kepolisian. Kemudahan memperjualbelikan hukum pun kerap terjadi. Sehingga, hukum lebih berpihak kepada mereka yang memiliki materi dan kedudukan daripada kalangan bawah. Maka dari itu, tidaklah heran apabila kasus Hasya menjadi berbelit-belit. Walaupun akhirnya penetapan tersangka Hasya kemudian dicabut, tetapi hasil penyidikan kepolisian dinilai masih menyisakan banyak kejanggalan.
Akibatnya, kewibawaan aparat kepolisian sebagai institusi penegak hukum menjadi tercoreng. Polisi dinilai terlalu ceroboh dalam menyimpulkan. Kesalahan dalam melakukan prosedur hukum serta pengungkapan bukti yang kurang transparan adalah tindakan kepolisian yang tidak layak dilakukan.
Jiwa korsa yang semestinya ada dalam diri polisi telah hilang dengan perilaku tidak objektif dan saling menutupi kesalahan pada peristiwa tersebut. Kapitalisme demokrasi telah membalik wajah polisi sebagai pelindung, pengayom, dan pelayan masyarakat, menjadi pelindung kepentingan mereka sendiri akibat penyelidikan yang tak transparan dan mengkriminalisasi hak-hak masyarakat.
Islam Menjaga Profesionalisme Polisi
Berbeda dengan Islam. Islam sangat menjunjung tinggi supremasi hukum yang dibuat oleh pencipta manusia. Allah Swt. sebagai Pembuat Hukum menetapkan kewajiban bagi manusia untuk menjalankan setiap aturan-Nya. Keadilan dan kesejahteraan masyarakat secara umum tanpa membeda-bedakan status sosial, agama, kedudukan, dan kekayaan, merupakan capaian yang akan diraih manusia bila hukum Allah diterapkan di tengah masyarakat.
Hukum syariat Islam sangat lengkap mengatur kehidupan di dunia dan sebagai jalan keluar setiap permasalahan yang dihadapi manusia. Dalam Islam, kepolisian atau asy-syurthah merupakan salah satu lembaga penting dan termasuk bagian dari ciri khas kehidupan sosial masyarakat. Tugasnya tercermin dari semua anggota kepolisian sebagai tulang punggung penjaga keamanan, demi menjaga keselamatan, keamanan jiwa, raga, harta benda, dan harga diri masyarakat.
Semua tugas dan fungsi kepolisian ini diatur dalam UU khusus. Sesuai dengan ketentuan hukum syarak, yaitu untuk mencegah kemungkaran dan kemaksiatan serta menegakkan kemakrufan. Dengan tugas yang mulia ini, maka kepolisian jauh dari kepentingan perorangan, kelompok, partai, bahkan orang-orang tertentu. Kepolisian akan bekerja untuk sistem (negara), bukan perorangan atau kroni-kroninya.
Pemantapan keimanan dan teguhnya akidah senantiasa dijaga oleh negara. Sehingga, polisi akan memiliki karakter unik dan akhlak yang baik. Sikap tawadhu', tidak sombong dan arogan, berkasih sayang, bijak, jujur, amanah, taat, berwibawa, dan tegas, adalah sikap yang harus ada dalam diri anggota kepolisian. Alhasil, mereka akan selalu taat menjalankan dan menerapkan hukum-hukum syariat untuk melindungi masyarakat dengan adil.
Selain itu, jaminan negara terhadap penerapan hukum bagi pelaku kejahatan akan senantiasa dalam pengawasan. Jabatan kepala kepolisian berada di bawah Departemen Keamanan Dalam Negeri. Kepala polisi ini harus mempunyai anggota yang paham dan senantiasa terikat dengan hukum syarak. Sehingga, tindakan penyidikan setiap anggota dalam suatu perkara selalu objektif dan adil. Karakter polisi inilah yang menjadikan mereka dicintai oleh masyarakat.
Salah satu sahabat pernah menjabat sebagai kepala polisi pada zaman Rasulullah saw. sebagaimana hadis riwayat Bukhari: “Qais bin Sa’ad (Qais bin Sa’ad bin ‘Ubadah al-Anshari al-Khazraji) saat itu berada di depan Nabi saw. layaknya seorang kepala polisi dengan amir (kepala negara).”
Ada hal yang paling mencengangkan dalam sejarah dunia Islam, yaitu begitu cepat meluasnya negara Islam dalam beberapa abad lalu. Semua itu karena kestabilan negara hingga mendapat julukan adikuasa dunia pada masa Kekhalifahan Umar bin Khattab. Terjaminnya keamanan dalam negeri sebagai hasil kinerja dan profesionalisme kepolisian menjadi salah satu rahasia kemajuan Islam kala itu.
Begitu besar perhatian Islam dalam menjaga profesionalisme kepolisian sebagai aparat penegak hukum. Sehingga, kewibawaan kepolisian selalu terjaga di mata masyarakat. Maka dari itu, mengembalikan pengaturan hidup kepada hukum buatan Allah Swt., merupakan jaminan keamanan dan keadilan satu-satunya bagi masyarakat. Hal itu hanya bisa didapatkan dengan penerapan Islam secara kaffah di tengah-tengah masyarakat.
Wallaahu a'lam bish shawab.[]
Photo : Google
Disclaimer: Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya. NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayagkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]
Kapitalisme memang biang keladinya seluruh problem kehidupan ini. Sampai melahirkan aparat yang hilang Wibawa dan rasa kemanusiaan