“Pun persaingan ekonomi yang keras menekan para istri untuk memasuki dunia kerja. Akibatnya, mereka merasa tidak membutuhkan suami, sehingga melakukan gugat cerai."
Oleh. Nurul Aini Najibah
(Kontributor NarasiPost.Com dan Aktivis Dakwah)
NarasiPost.Com-Akhir-akhir ini banyak kita jumpai permasalahan mengenai perceraian. Kasus ini sudah mencapai angka yang sangat mengkhawatirkan. Dijelaskan oleh Humas Pengadilan Agama (PA) Soreang, Samsul Zakaria, bahwa mereka menangani hampir 8.135 kasus perceraian di Kabupaten Bandung. Dan mayoritas permohonan cerai diajukan oleh istri, alasannya karena faktor ekonomi. (pikiranrakyat.com, 18/01/2023)
Atas kondisi ini, seharusnya negara mengupayakan jalan keluar agar tidak terjadi kasus perceraian tersebut. Jika masalahnya adalah ekonomi, maka ini berkaitan erat dengan sistem yang diterapkan negara. Selain karena negara bertanggung jawab atas kesejahteraan publik, negara juga seharusnya bisa menyediakan lapangan pekerjaan dengan gaji yang layak untuk memenuhi kebutuhan sandang, pangan, dan papan. Apabila itu terpenuhi, akan memungkinkan para suami bisa menafkahi keluarganya, dan mengurangi konflik keluarga yang berimbas pada perceraian. Karena, ekonomi bukan satu-satunya penyebab hancurnya ketahanan keluarga.
Ketahanan keluarga harus dibangun dengan pemahaman tentang hak dan tanggung jawab pasangan, serta pemahaman bahwa pernikahan adalah ikatan yang kuat, ibadah terlama, sekaligus bersatunya dua karakter yang berbeda karena landasan keimanan. Pemahaman ini harus diperkuat dengan kontribusi negara yang berfungsi sebagai pengurus rakyat. Negara berkewajiban memenuhi kebutuhan rakyatnya, baik sandang, pangan, papan, kesehatan, keamanan, dan pendidikan tanpa dipungut biaya yang membebani masyarakat.
Namun, tanggung jawab negara tersebut akan sulit terwujud jika sistem yang diterapkan adalah kapitalisme sekuler, yakni sistem yang telah membuat cara pandang negara dan masyarakat berasaskan manfaat semata. Sistem ini pula yang akhirnya menggerus makna tanggung jawab dalam pernikahan. Suami tidak lagi berfungsi sebagai pencari nafkah. Pun persaingan ekonomi yang keras menekan para istri untuk memasuki dunia kerja. Akibatnya, mereka merasa tidak membutuhkan suami, sehingga melakukan gugat cerai. Mereka dipaksa mengadopsi peran suami sebagai pencari nafkah, sekalipun jika mereka ingin tinggal di rumah dan merawat anak-anak.
Oleh karena itu, sudah sangat jelas hubungan rumah tangga rusak dikarenakan sistem kapitalisme. Sistem yang menghalalkan segala cara untuk memperoleh keuntungan. Hubungan rumah tangga juga akhirnya hanya sebatas untung/rugi saja. Jika suami dianggap tidak menguntungkan lagi hingga tak sanggup menghidupi keluarga, maka siap-siap untuk diceraikan. Pilihan itu sudah menjadi hal biasa bagi masyarakat dalam sistem kapitalisme. Dengan demikian, banyaknya kasus perceraian ini adalah bukti jelas kegagalan negara dalam menjamin kesejahteraan masyarakat. Selama sistem kapitalis sekuler masih diterapkan, maka jangan harap persoalan ini terselesaikan.
Kondisi ini jauh dengan kondisi Islam ketika diterapkan. Sistem ini memandang bahwa masalah ekonomi hanya dilihat dari segi tercukupinya kebutuhan individu per individu, baik kebutuhan pokok maupun yang lainnya. Pandangan Islam pun mengenalkan kita pada kewajiban memberi nafkah. Para suami wajib hukumnya menafkahi istri dan anak.
Apabila mereka tidak menjalankan tugasnya, maka pengadilan berhak menyita atau memaksa harta suami untuk menafkahi keluarganya secara layak. Jika suami sakit atau cacat, maka para wali dari jalur suami wajib menafkahinya. Dan jika mereka semua tidak mampu/miskin, maka negaralah yang wajib mengeluarkan nafkahnya. Seperti sabda Rasulullah saw. yaitu: "Imam (khalifah) adalah raa'in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya." (HR. Al-Bukhari)
Di sisi lain, berhasilnya sebuah pernikahan dilihat dari sejauh mana penerimaan istri untuk menaati suaminya, serta kepatuhan mereka terhadap kepemimpinan suaminya di dalam keluarga. Kerap kali istri sulit menaati suami dan akhirnya menyebabkan konflik. Padahal, ketaatan seorang istri kepada suami akan disamakan dengan pahala mati syahid di jalan Allah Swt.
Sejatinya, pernikahan dalam Islam dibentuk untuk meraih ketenteraman dan mewujudkan kedamaian di dalamnya. Suami dan istri dihubungkan dengan saling memahami hak dan kewajiban masing-masing. Dan juga mereka harus berusaha untuk memenuhinya untuk meraih rida Allah taala. Allah berfirman: “Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian apabila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (QS. An-Nisa: 19)
Dengan demikian, Islam tidak menjadikan perceraian sebagai satu-satunya solusi untuk menyelesaikan persoalan rumah tangga, tidak peduli sebesar apa pun masalah keduanya. Karena, Islam memerintahkan agar permasalahan keluarga dapat diselesaikan oleh pihak keluarga, agar pernikahan mereka dapat diperbaiki.
Selanjutnya, selain pasangan suami istri berusaha memahami Islam sebagai solusi persoalan keluarga, negara juga akan menerapkan kebijakan berupa pendidikan, ekonomi, politik, dan hukum Islam. Semua itu dilakukan agar bisa menjamin setiap kebutuhan individu dengan pemenuhan yang menyeluruh serta perlindungan maksimal. Selain itu, tersedianya lapangan pekerjaan yang luas, agar para suami dapat bekerja dan menafkahi keluarganya.
Oleh sebab itu, Islam dengan segala aturannya akan senantiasa mampu menjaga kemuliaan umatnya. Perceraian dapat dicegah sehingga dapat mempererat dan menjaga keberlangsungan rumah tangga. Maka, hanya Islam dan sistemnyalah yang mampu menyelamatkan kehidupan rumah tangga kaum muslim dan satu-satunya sistem yang akan mewujudkan kesejahteraan juga kenyamanan.
Wallahu a’lam bii Ash-Shawab.[]