"Keputusan terpenting dan mampu mengatasi persoalan tengkes adalah dengan membabat akar persoalannya yaitu sistem kapitalisme yang masih menggurita di negeri ini karena sistem ini hanya berpihak pada pemilik modal dan mengabaikan kemaslahatan banyak pihak."
Oleh. Nur Rahmawati, S.H.
(Kontributor NarasiPost.Com dan Praktisi Pendidikan)
NarasiPost.Com-Generasi penerus bangsa yang unggul, tentu lahir dari rahim negara yang unggul. Harapan besar setiap bangsa akan adanya penerus estafet kepemimpinan negara. Maka, tak heran jika ada beberapa negara yang berupaya keras guna melahirkan generasi tersebut. Mulai dengan mempersiapkan pendidikan terbaik, kesehatan yang terpenuhi, dan ekonomi yang mumpuni.
Berkaca dari Negara Finlandia, data statistik menyatakan kecilnya angka kelahiran dari tahun 2019 hingga 2021. Dilansir dari theeditor.id (22/7/2022), hingga Januari-Juni, ada 22.180 kelahiran yang tercatat di Finlandia, yang menurut angka awal dari statistik Finlandia 2.453 lebih sedikit daripada selama paruh pertama tahun 2021.
Rendahnya angka kelahiran tersebut, menjadikan Negara Finlandia mengambil langkah di tahun 2019 membuat program tunjangan keluarga, seperti paket kado untuk bayi baru lahir, tunjangan bulanan bagi anak, serta cuti bersama orang tua selama sembilan bulan dengan tetap diberikan gaji sebesar 70%. (bbc.com, 19/10/2019)
Lantas, bagaimana nasib anak di Indonesia? Ironis, Indonesia justru menempati urutan ke-5 dunia dan ke-2 di Asia Tenggara dalam kasus stunting, menurut Bank Pembangunan Asia (Asian Development Bank/ADB) di tahun 2020 mencapai 31,8% yang artinya satu dari tiga balita mengalami stunting. (katadata.co.id, 25/11/2021)
Selain itu, kasus stunting hingga kini masih belum mampu diatasi oleh pemerintah, meski pemerintah telah meratifikasi program SDGs tentang penanggulangan stunting, namun hingga kini fakta menunjukkan stunting tidak juga terselesaikan secara tepat. Kasus balita stunting (adalah kekurangan gizi kronis yang terjadi selama periode paling awal pertumbuhan dan perkembangan anak) menunjukkan angka tinggi. Mungkinkah Indonesia akan mencetak generasi unggul jika tengkes atau stunting masih menghantui bangsa ini? Apakah yang salah dengan semua ini?
Sistem Kapitalisme Gagal Atasi Stunting
Pemenuhan kebutuhan sandang, pangan, dan papan setiap rakyat negeri ini seharusnya menjadi perhatian pemerintah, terlebih kebutuhan gizi, kesehatan, dan pemenuhan kebutuhan pokok yang seharusnya menjadi tanggung jawab negara. Bukankah negara telah memiliki modal sumber daya alam yang dapat dibilang sangat cukup untuk membiayai negara dan rakyatnya? Negara juga telah membuat aturan untuk menguasai sumber daya alam untuk dikelola oleh negara guna sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Sebagaimana pasal 33 ayat 3 UUD RI Tahun 1945, yang berbunyi: "Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat."
Sayangnya, aturan hanya aturan yang secara fakta jauh panggang dari api di mana semua itu tidak mampu direalisasikan oleh pemerintah. Justru anehnya pemerintah menyerahkan pengelolaan SDA kepada pihak swasta atau asing. Bahkan negara dengan sistem kapitalismenya memberikan peluang besar untuk hal ini terjadi. Maka, tidak heran jika hingga kini negara masih terseok-seok dalam mengatasi kasus tengkes. Kebutuhan ekonomi keluarga pun menjadi alasan tertinggi sehingga kasus tengkes terus mendera anak bangsa ini.
Hal tersebut, akan terus berulang jika sistem kapitalisme yang diadopsi negara sekarang masih dipertahankan. Kita ketahui bahwa masalah tengkes atau stunting adalah masalah sistematis. Ketidakmampuan negara memastikan ketersediaan dan pemenuhan kebutuhan keluarga secara mudah dan tidak tebang pilih, menjadi indikasi kegagalan sistem kapitalisme dalam mengatasi tengkes.
Meski negara telah mengeluarkan rencana pembentukan badan khusus maupun dengan mendesakkan UU Pembangunan Keluarga, namun pada akhirnya hanya menjadi mimpi kosong tengkes atau stunting dapat teratasi. Hal ini karena upaya tersebut tidak langsung menyentuh akar permasalahannya sehingga tidak heran kasus serupa akan berulang.
Maka, keputusan terpenting dan mampu mengatasi persoalan tengkes adalah dengan membabat akar persoalannya yaitu sistem kapitalisme yang masih menggurita di negeri ini. Karena sistem ini hanya berpihak pada pemilik modal dan mengabaikan kemaslahatan banyak pihak. Keputusan mengubah sistem saat ini dengan sistem yang tepat yaitu sistem Islam adalah keputusan yang tepat karena akan membawa pada perubahan yang hakiki.
Perubahan Hakiki dengan Sistem Islam
Jika sistem kapitalisme gagal menyelamatkan generasi bangsa dari tengkes, maka yang harus dilakukan yaitu mengambil sistem sempurna yang berasal dari Allah Swt., yaitu sistem Islam. Sistem yang aturannya diambil dari Al-Qur'an dan As-Sunah sebagai asas penerapannya. Sehingga tidak heran jika sistem ini murni tidak ada keberpihakan kepada pihak mana pun yang dapat memanfaatkan kekuasaan dan nafsunya untuk mengeruk dan memperkaya diri.
Sistem Islam telah berhasil mencetak SDM unggul sekelas Sultan Al-Fatih dan lebih hebat lagi para ulama yang ilmunya masih dapat kita rasakan saat ini, seperti Imam Syafi'i, Imam Hambali, Imam Al-Ghazali, dan lainnya yang lahir dari negara yang menerapkan sistem Islam. Karena hanya sistem Islam yang mampu melahirkan pemimpin yang menjadi khadimul ummah sehingga mampu mewujudkan pembangunan berorientasi keluarga dan pembangunan SDM unggul salah satunya dengan cara:
Pertama, peran individu. Kewajiban menuntut ilmu bagi setiap muslim, dengan ilmu seseorang akan dinaikkan derajatnya serta bertambah kecerdasannya. Maka, dalam sistem Islam ada pengayaan kualitas sumber daya manusia baik individu maupun keluarga. Sehingga, mereka akan bisa mengambil sikap yang benar dalam menyelesaikan persoalan hidup mereka. Kewajiban ini telah Rasulullah saw. sampaikan,
طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ وَوَاضِعُ الْعِلْمِ عِنْدَ غَيْرِ أَهْلِهِ كَمُقَلِّدِ الْخَنَازِيرِ الْجَوْهَرَ وَاللُّؤْلُؤَ وَالذَّهَبَ
"Mencari ilmu adalah kewajiban setiap muslim dan siapa yang menanamkan ilmu kepada yang tidak layak, seperti yang meletakkan kalung permata, mutiara, dan emas di sekitar leher hewan." (HR. Ibnu Majah)
Kedua, peran keluarga. Memahamkan peran masing-masing anggota keluarga, baik suami sekaligus ayah yang memiliki peran utama mencari nafkah sebagai kepala keluarga. Dan tetap memastikan anggota keluarganya untuk patuh terhadap agama Islam. Kemudian istri yang juga sebagai ibu merupakan madrasatul ula (sekolah utama dan pertama bagi anaknya), peran inilah yang menentukan anak-anak akan memahami dirinya sebagai hamba, serta potensi besar yang ada pada mereka. Karena anak akan dididik sesuai dengan fitrahnya berdasarkan kurikulum pendidikan Islam. Peran seluruh anggota keluarga tersebut akan bersinergi menghasilkan generasi cemerlang dan tentu kesadaran akan kualitas makanan akan menjadi perhatian keluarga.
Ketiga, peran negara yang menjadi peran paling penting sebagai institusi yang memiliki power untuk mengatur, menentukan, dan memastikan kesejahteraan bagi rakyatnya. Kesejahteraan ini meliputi kebutuhan pokok, sandang, pangan, dan papan. Baik itu di bidang pendidikan, ekonomi, kesehatan, maupun keamanan. Kebutuhan pokok diperuntukkan bagi seluruh rakyatnya tanpa pandang bulu, di mana negara dapat memenuhinya dengan cara memanfaatkan sumber daya alam negaranya. Tentu terlebih dahulu mengelola sumber daya alam oleh negara dan tidak menyerahkannya pada swasta.
Inilah beberapa cara Islam dalam mengatasi persoalan negara dan rakyat. Tak terkecuali tengkes atau stunting. Cita-cita melahirkan generasi unggul yang akan meneruskan estafet kepemimpinan negara akan terwujud nyata karena perubahan hakiki dengan mengubah sistem rusak saat ini menjadi sistem Islam. Maka, segala problematika umat akan teratasi. WalLâhu a’lam bi ash-shawâb.[]