"Barangsiapa ditimpa ujian, musibah, cobaan, kesulitan namun ia menyembunyikannya dari orang lain, dia menahan diri dari mengeluh kepada khalayak, maka Allah akan mengampuni dan merahmatinya. (Imam Ath-Thabari)"
Oleh. Aya Ummu Najwa
(Kontributor NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Hidup adalah ujian. Dan setiap manusia yang hidup di dunia ini, selama napas masih di kandung badan, ia akan menemui ujian itu. Dari rasa takut, kecelakaan, kelaparan, keluarga meninggal, dan lainnya. Ujian akan senantiasa melekat pada diri manusia seumur hidup. Yang perlu kita ingat adalah ujian yang Allah berikan kepada manusia pasti sesuai kemampuan manusia itu sendiri. Setiap ujian pun akan berbeda baik jenisnya, juga kadarnya pada masing-masing hamba.
لا يكلف الله نفسا إلا وسعها
"Allah tidak membebani jiwa seseorang kecuali sesuai kemampuannya."
Meski ujian berupa musibah yang menimpa manusia berbeda-beda kadar dan jenisnya, namun sejatinya ada ujian yang semua orang tertimpa. Yaitu musibah yang paling besar bagi umat manusia. Apa musibah yang terbesar dalam hidup manusia itu? Untuk hal ini para ulama menyatakan pendapat yang berbeda. Imam Sahl bin Sa'ad At-Tasturiy pernah berkata:
من أعظم ما يبتلى به العبد الفراغ من أعمال الدنيا والآخرة
"Musibah terbesar pada seorang hamba adalah menganggur dari amal dunia maupun akhirat."
Menganggur adalah tidak melakukan apa pun. Dan menurut beliau ternyata menganggur termasuk dari musibah terbesarnya seorang hamba. Sayangnya hanya sedikit sekali orang yang menyadarinya dan malah asik dengan keadaannya yang tak melakukan apa-apa. Orang yang menganggur, hidupnya tak totalitas alias setengah-setengah. Bagaimana tidak, kerja untuk cari dunia dia malas, begitu pun ibadah untuk bekal akhirat pun ia juga malas. Tentu hal ini menjadi sebuah musibah bagi diri dan hidupnya juga untuk orang lain.
Seorang ulama Ali Al- Khawwas pun pernah berkata:
من أعظم البلاء وقوع العبد في الرياء بعلمه وعمله.
"Musibah paling besar adalah terjerumusnya seorang hamba ke dalam riya' dengan ilmu dan amalnya"
Dia tidak ikhlas lagi dalam hal menuntut ilmu juga dalam mengamalkannya. Dan lagi-lagi sangat sedikit orang yang merasakan dan menyadari jika itu adalah musibah terbesarnya. Ketika seseorang sudah tak ikhlas dalam menuntut ilmu dan beramal maka apa yang tersisa darinya? Bukankah semua amalan tanpa keikhlasan akan sia-sia dan bahkan bisa mendatangkan murka Tuhannya?
Imam Ibnul Qayyim berkata dalam Ilm Al-Fawaid hal.105, terkait musibah sejati dan kesehatan sejati.
البلاء في الحقيقةِ ليس إلا الذنوب وعواقبها،
"Pada hakikatnya musibah itu ada pada dosa-dosa dan akibat-akibatnya.
Dosa pada diri seorang hamba akan menghalanginya dari ketaatan. Dosa akan menjadi tameng dalam diri kita dari rahmat Allah. Dengan dosa yang tak segera ditobati, maka seorang hamba akan semakin terjerumus dalam kemaksiatan. Hatinya sedikit demi sedikit akan berkarat dengan keburukan sehingga ia akan sulit menerima cahaya nasihat dan hidayah. Saat itulah hatinya mulai sakit dan lambat laun mati. Jika hati sudah mati bukankah sudah tertutup dari cahaya hidayah? Hidupnya akan sengsara, jauh dari rahmat Allah, dan tentunya akhiratnya akan lebih menderita lagi.
Lalu, apa yang harus dilakukan jika tertimpa musibah?
Muhasabah, koreksi, dan evaluasi setiap amalan diri, baik amalan hati maupun fisik. Bisa jadi ada yang salah pada amalan kita. Bisa jadi hati kita kotor penuh debu hingga berkarat yang tak kita sadari. Mudah hasad, mudah benci dan dendam, mudah mencaci sesama, dan mudah suuzan. Kotornya hati ini pun akan memengaruhi amalan fisik kita, hingga kita akan kesulitan merasakan kelezatan iman dan ibadah. Yang lebih parahnya lagi, hati kita akan mati tanpa kita sadari sehingga nasihat pun tak lagi bisa kita dengar, hingga semakin dalam kita terperosok ke jurang kebinasaan.
Selain muhasabah, yang harus kita lakukan adalah husnuzan atau berpikir positif, bahwa musibah itu terjadi karena ulah kita sendiri, karena kesalahan yang kita lakukan, karena banyaknya dosa kita dan bukan karena kesalahan orang lain. Dengan husnuzan hati kita menjadi lapang dan mudah untuk melihat permasalahan, sehingga ia akan mudah pula baginya menyesali, tidak mengulangi dan berusaha mendekatkan diri kepada Sang Pemberi Solusi.
Kemudian bersabar. Sabar merupakan kewajiban, sehingga ia termasuk ibadah. Karena sesungguhnya jika kita bersabar maka takdir Allah akan tetap berjalan kepada kita, sementara kita mendapatkan pahala. Imam Ath-Thabrani pernah berkata, "Barangsiapa ditimpa ujian, musibah, cobaan, kesulitan namun ia menyembunyikannya dari orang lain, dia menahan diri dari mengeluh kepada khalayak, maka Allah akan mengampuni dan merahmatinya."
Di antara hikmah dari musibah adalah:
- Musibah menghancurkan kesombongan dan rasa bangga pada diri seorang hamba, baik dari hartanya maupun amalannya. Musibah seharusnya menimbulkan sikap pengakuan bahwa dirinya lemah di hadapan Allah. Dia bukanlah apa-apa di hadapan-Nya. Musibah juga seharusnya membuat hamba semakin dekat kepada Rabbnya, karena Dia lah penggenggam obat penawar atas kesedihannya. Dengan demikian Allah akan semakin mencintainya.
- Musibah seharusnya dapat menambah kepekaan dan empati terhadap musibah yang dialami orang lain. Hal ini harusnya mendorong kita untuk mudah dalam meringankan beban orang lain yang sedang tertimpa musibah.
- Musibah seharusnya menyadarkan seorang hamba bahwa sesuatu merupakan nikmat. Kadang manusia tidak menyadari bahwa sesuatu hal merupakan karunia kecuali setelah ia kehilangannya, contoh: kesehatan, keluarga, saudara, juga teman dalam taat. Sehingga harusnya ia menambah rasa syukurnya terhadap nikmat yang selama ini ia dapatkan.
- Musibah dapat menggugurkan dosa-dosa jika disikapi dengan kesabaran. Rasulullah shalallahu alaihi wasallam pernah bersabda dalam hadis riwayat Imam Bukhari, “Tidak ada yang menimpa seorang muslim, berupa kesusahan, kesakitan, duka cita, kesedihan, dan juga gangguan, hingga duri yang menusuknya melainkan dengan sebab itu Allah akan menggugurkan dosa-dosanya,”
Hal ini sejalan dengan maksud dari hadis yang diriwayatkan oleh Suhaib bin Sinan bahwa Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bersabda riwayat Imam Muslim no. 2999, "Betapa mengagumkannya keadaan orang yang beriman, sebab semua keadaannya merupakan kebaikan, dan ini terdapat pada seorang mukmin, yaitu jika ia mendapat kenikmatan ia bersyukur, maka itu baik baginya, dan jika ia ditimpa kesedihan ia bersabar, dan itu kebaikan baginya”
Lantas apa yang membuat kita bersedih?
Bukalah kembali surah Ad-Duha ayat 3, bahwa Allah Ta'ala berfirman,
“Tuhanmu tiadalah meninggalkan kamu dan tiada pula membencimu,”
Lapangkanlah hatimu untuk menerima setiap apa yang menjadi ketetapan-Nya. Semakin Allah mencintai seorang hamba, semakin hebat pula ujian yang akan diberikan. Maka bersabarlah dan dan berlapang dadalah. Sebagaimana perkataan seorang ulama, “Jiwa yang kerdil ibarat segelas air yang dibubuhi garam kehidupan, niscaya air itu akan menjadi asin. Akan tetapi, kelapangan dan kebesaran jiwa laksana telaga air tawar yang melimpah ruah airnya. Meskipun seribu genggam garam kehidupan dilemparkan padanya maka itu tak berarti apa-apa untuknya.”
Musibah adalah cara Allah untuk mengangkat derajat hamba-Nya. Lihatlah para auliya', jika mereka mendapatkan musibah atau ujian kehidupan, mereka malah bersyukur kepada Allah, karena mereka tahu bahwa musibah adalah tanda cinta Allah untuknya. Dan sungguh musibah itu tidak akan datang, kecuali datangnya disertai dengan kenikmatan.
{ فَإِنَّ مَعَ ٱلۡعُسۡرِ يُسۡرًا }
"Maka sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan." (QS. Al-Insyirah: 5)
Musibah merupakan nikmat Allah yang tak beraroma. Ia menjadi jalan kita meningkatkan derajat kita di hadapan Allah. Ingatlah perkataan Ibrahim bin Adham, "Kemudian apa yang membuatmu resah?" Segala hal yang terjadi di kehidupan kita itu semua terjadi karena kehendak Allah. Maka serahkanlah semua urusan kita kepada-Nya."
Wallahu a'lam[]
musibah datang untuk menguatkan kita..