"Ide ini tidak akan lahir dari mereka yang menghormati manusia. Ide ini hanya lahir dari mereka yang menjadikan untung rugi sebagai standar. Mereka berpendapat bahwa mengubur jenazah dan melakukan kremasi akan membawa dampak buruk bagi lingkungan."
Oleh. Mariyah Zawawi
(Kontributor NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Baru-baru ini, Gubernur Negara Bagian New York, Kathy Hochul, mengizinkan pengomposan jenazah manusia. Keputusan ini diambil dengan alasan untuk menjaga kelestarian lingkungan. Mengubah jasad manusia menjadi kompos dianggap lebih ramah lingkungan, dibandingkan dengan mengubur atau mengkremasi jenazah. Di samping itu, kompos yang berasal dari jasad manusia itu akan lebih bermanfaat, karena dapat digunakan untuk memupuk tanaman.
Pada tahun 2005, Swedia menjadi negara pertama yang mengizinkan pengomposan jenazah manusia. Kemudian, beberapa negara bagian di Amerika Serikat pun mengambil langkah yang sama. Diawali oleh Washington (2019), disusul oleh Colorado, Oregon, dan Vermont pada tahun 2021. Sedangkan California melegalkan praktik tersebut pada tahun 2022 silam. (palpos.disway.id, 3/1/2023)
Ketika Agama Dikalahkan oleh Logika
Masyarakat Eropa berhasil meminggirkan agama dari kehidupan bernegara dengan ide sekularisme. Mereka pun bebas membuat aturan sendiri. Mereka tidak perlu menggunakan pertimbangan agama dalam menyelesaikan persoalan kehidupannya. Salah satunya adalah persoalan mengurus jenazah.
Selama ini, mereka masih menggunakan cara-cara mengurus jenazah sesuai dengan aturan agama mereka. Namun, pandemi Covid-19 telah mengubah cara pandang mereka. Banyaknya orang yang meninggal akibat Covid-19 membuat kebutuhan terhadap lahan, peti mati, serta kremasi pun meningkat tajam. Muncullah ide untuk mengubah jasad manusia menjadi kompos.
Ide ini tidak akan lahir dari mereka yang menghormati manusia. Ide ini hanya lahir dari mereka yang menjadikan untung rugi sebagai standar. Mereka berpendapat bahwa mengubur jenazah dan melakukan kremasi akan membawa dampak buruk bagi lingkungan.
Mengubur jenazah dengan peti mati akan menyebabkan bercampurnya berbagai zat yang digunakan untuk membalsam manusia, seperti cairan formaldehida, metanol, serta etanol. Molly Taft, seorang penulis yang peduli dengan masalah lingkungan menyatakan bahwa setiap tahun, sebanyak 5,3 juta galon zat kimia, ikut terkubur dalam tanah bersama jasad manusia. Sedangkan papan kayu untuk peti mati membutuhkan 30 juta kaki tiap tahunnya. Hal ini akan menambah konsumsi kayu sehingga merusak hutan.
Sementara itu, kremasi terhadap satu jenazah akan menghasilkan karbondioksida sebesar 534,6 pon karbondioksida. Hal ini tentu dapat memperparah kerusakan lingkungan. Karena itulah, pengomposan jasad manusia ini dipandang sebagai alternatif terbaik.
Untuk mengubah jasad manusia menjadi kompos, dibutuhkan perlakuan khusus. Jasad itu dimasukkan ke sebuah wadah berbentuk silinder yang terbuat dari baja. Di dalam wadah itu juga dimasukkan bahan-bahan yang mempercepat proses pengomposan. Misalnya, serpihan kayu, potongan tumbuhan alfalfa, serta jerami. Di samping itu juga dilakukan pengontrolan terhadap kandungan karbodondioksida, nitrogen, oksigen, serta tingkat kelembapan dan suhu.
Dalam waktu satu bulan, kompos pun siap. Namun, sebelum diberikan kepada keluarganya, kompos itu akan dikeluarkan dari tabung untuk diawetkan dan diangin-anginkan selama beberapa pekan.
Recompose, salah satu perusahaan yang bergerak di bidang pengomposan manusia, menyatakan bahwa biaya untuk pengomposan jenazah setara dengan biaya pemakaman atau kremasi. Menurut National Funeral Directors Association (NFDA), biaya pemakaman mencapai $7.848 dan kremasi sebesar $6.971. Sedangkan pengomposan jenazah membutuhkan biaya $7.000. (detik.com, 4/1/2023)
Ide ini tampak brilian. Namun, ide semacam ini hanya akan lahir dari mereka yang menggunakan standar logika. Semua serba dilogika, tanpa mempertimbangkan etika dan norma agama. Ide ini pun ditentang oleh kalangan gereja Katolik. Pihak gereja berpendapat bahwa jasad manusia tidak boleh diperlakukan sama dengan limbah rumah tangga.
Islam Memuliakan Manusia
Pada abad ke-17, John Locke menyerukan hak-hak alami manusia, yaitu hak hidup, hak kebebasan, serta hak milik. Pemikiran John Locke itu kemudian diformalkan oleh PBB melalui Deklarasi Universal HAM tanggal 10 Desember 1948. Sejak itu, semua negara yang menjadi anggota PBB harus mengakui hak asasi manusia, yaitu hak untuk beragama, bertingkah laku, memiliki, dan menyampaikan pendapat. Munculnya pemikiran John Locke itu didasari oleh buruknya perlakuan para penguasa di negara-negara Barat terhadap rakyat saat itu.
Namun, jauh sebelum itu, Islam telah memberikan hak-hak asasi manusia kepada setiap orang yang bernaung di bawah kekuasaannya. Baik muslim maupun nonmuslim, kaya atau miskin, laki-laki atau perempuan, tua atau muda, semua mendapat perlindungan. Hal itu karena Islam berasal dari Sang Pencipta manusia yang mengetahui hakikat manusia. Karena itu, aturan yang datang darinya merupakan aturan yang sempurna.
Salah satu aturan itu adalah bahwa Islam menjamin hak-hak manusia, berupa tiga macam kemaslahatan. Yaitu dlaruriyyaat (hal-hal yang berupa keharusan), haajiyaat (kebutuhan-kebutuhan), dan tahsiinaat (perbaikan-perbaikan). Yang termasuk dlaruuriyyaat di antaranya adalah penjagaan terhadap jiwa (hifdzun nafs). Hal ini tampak dalam hukum-hukum diat dan qishas. Melalui hukum-hukum inilah, keselamatan setiap orang akan terjaga. Sebab, siapa saja yang melakukan penganiayaan maupun pembunuhan akan mendapatkan sanksi setara dengan perbuatannya.
Islam tidak hanya menjaga kemuliaan manusia saat ia hidup. Kemuliaan itu akan tetap terjaga, hingga ia menghadap Sang Khalik. Ketika manusia mati, maka tidak ada yang berhak atas jasadnya, termasuk dirinya sendiri maupun keluarganya. Hanya Allah Swt. satu-satunya yang berhak atas dirinya. Karena itu, ia harus diperlakukan sesuai dengan petunjuk dari-Nya.
Jika yang meninggal adalah seorang muslim, maka ia akan dimandikan, dikafani, disalatkan, dan dimakamkan. Untuk memandikan jasad ini, juga tidak boleh dilakukan secara sembarangan. Ada aturan-aturan yang harus ditaati. Misalnya, aturan tentang siapa saja yang berhak memandikan si mayat. Kemudian, keharusan untuk menutup aurat serta aib si mayat. Saat memandikan, dilakukan dengan cara yang halus.
Hal ini sangat berbeda dengan sistem kapitalis. Dalam pandangan sistem ini, orang yang sudah mati tetap dituntut untuk memberi manfaat kepada manusia lain. Salah satunya dengan pengomposan jasadnya. Dengan cara ini, ia akan berperan dalam menjaga lingkungan. Di samping itu juga, bermanfaat bagi keluarganya karena dapat menjadi pupuk bagi tanaman kesayangan keluarga.
Penutup
Allah Swt. telah memuliakan manusia dan melebihkannya dari makhluk lainnya. Hal itu tercantum dalam surah Al-Isra [17]: 70,
“Dan sesungguhnya telah Kami muliakan bani Adam. Kami angkut mereka di daratan dan lautan. Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik, serta Kami lebihkan mereka atas kebanyakan makhluk lainnya dengan kelebihan yang sempurna.”
Jika Allah Swt. memuliakan manusia, sudah sepatutnya jika kita pun memperlakukan manusia dengan cara yang telah diperintahkan oleh Allah Swt.
Wallaahu a’lam bishshawaab.[]