Strategi ABCDE, Mengapa Gagal Tuntaskan HIV/AIDS?

Strategi ABCD, mengapa gagal tuntaskan HIV/Aids?

"Sayangnya, efektivitas kampanye ABCDE di sistem sekuler saat ini tidak bisa diharapkan. Sebab, dalam sistem sosial yang diterapkan adalah liberalisme. Paham kebebasan ini menjadikan hubungan laki-laki dan perempuan bisa bebas tanpa aturan."

Oleh. dr. Ratih Paradini
(Kontributor NarasiPost.Com)

NarasiPost.Com-Tiap menjelang tahun baru, penjualan alat kontrasepsi meningkat pesat. Seperti yang diungkap oleh pegawai minimarket di bilangan BSD, Tangerang Selatan, berinisia (HS), penjualan kondom di tempatnya meningkat hingga 5x lipat menjelang tahun baru. (Tangerangnews.com, 31/12/2022)

Fakta seperti ini bukan tanpa makna, namun kejadian ini menunjukkan bahwa masih banyak orang terutama muda mudi yang menjadikan momen-momen pergantian tahun untuk happy-happy, party, mabuk sampai pagi, bahkan saling meniduri. Penggunaan kondom kerap dipakai sebagai pengaman saat melakukan hubungan badan dengan pasangan tak halal.

Di satu sisi, tingginya angka seks bebas berkolerasi dengan tingginya tingkat HIV/AIDS. Sebab, seks bebas yang berisiko menjadi media penularan paling mudah. HIV/AIDS menular melalui aktivitas seksual, transfusi darah, penggunaan jarum suntik yang sama dengan penderita, plasenta dan menyusui. Menurut data Kemenkes, hubungan intim yang tidak aman pada heteroseksual menempati urutan pertama dalam faktor penyebab kasus HIV, yaitu sebanyak 46,2 persen (halodoc.com, 8 des 2017)

HIV/AIDS masih menjadi masalah kesehatan yang sulit dituntaskan. Meski sudah dilakukan berbagai upaya dan dicanangkan rumusan ABCDE, tetap saja strategi ini bisa dikatakan gagal. Lantas, apakah harus ditambah strategi A sampai Z baru kemudian HIV/AIDS ini mereda?

Prevalensi kasus HIV AIDS di Indonesia cukup tinggi, hingga menjadikan Indonesia sebagai negara peringkat pertama di Asia Tenggara, dengan jumlah kasus HIV/AIDS terbanyak (taboks.katadata.co.id, 22/10/2022)

Data teranyar per Juni 2022 orang terkena HIV di Indonesia mencapai 519.158 orang. Tak sedikit di antaranya adalah anak-anak. Dalam laporan Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), ada sekitar 1.188 anak di Indonesia positif HIV. (unnesa.ac.id, 31/12/ 2022)

HIV merupakan virus yang menyerang sel CD4, yaitu salah satu sel imunitas tubuh manusia. Sedangkan, AIDS adalah istilah yang menunjukkan fase lanjut dari infeksi HIV, ditandai dengan perburukan gejala penderita. Karena yang diserang adalah sel imunitas, maka manifestasi klinis yang terjadi bisa hampir semua sistem tubuh terkena. Bila terkena sistem saraf bisa menyebabkan encephalitis (radang otak) atau meningitis (radang selaput otak), di mata bisa terjadi retinitis. Bila terkena sistem pernapasan, dapat mengalami TBC atau pneumonia. Bila mengenai saluran cerna, bisa menyebabkan radang saluran cerna dan diare kronik.

Penyakit HIV/AIDS tidak bisa dipandang sebelah mata. Sebab, selain menimbulkan beragam gangguan pada sistem organ, penyakit ini juga bisa mengakibatkan kematian pada penderita. Apalagi, yang diserang sistem imun. Sehingga tubuh rentan mengalami penyakit infeksi berulang dan sulit sembuh, jika dibandingkan dengan orang tanpa HIV.

Adapun gejala yang umum terjadi, seperti demam, penurunan berat badan, kelelahan, keringat malam hari dan infeksi berulang.
HIV ini pada fase awal terkena bisa tanpa gejala sama sekali, sehingga tak jarang ketika mengalami perburukan gejala baru ketahuan. Yang perlu di highlight juga, bahwasanya HIV/AIDS ini belum ada obat untuk membunuh virusnya dan belum ada vaksin untuk mencegahnya. Adapun obat-obatan HIV/ADIS, sekadar untuk menghambat pertumbuhan virusnya bukan untuk membunuh virus yang telah ada. Maka, upaya dan beragam program yang dinilai efektif dalam rangka mengatasi HIV/AIDS adalah preventif dan skrining.

Dalam hal skrining, biasanya dilakukan pada setiap ibu hamil yang memeriksan kehamilan di fasilitas kesehatan dan juga bagi calon donor darah. Adapun, upaya preventif adalah dengan menggencarkan edukasi strategi ABCDE yaitu A= abstain (tidak melakukan hubungan seksual), B = Be faithfull (setia pada pasangan, tidak bergonta ganti pasangan seksual), C= use Condom (menggunakan kondom saat berhubungan badan), D= no Drugs (jangan gunakan narkoba) dan E= Education (cari informasi yang benar). Upaya preventif ini dicetuskan berdasarkan transmisi penularan HIV/AIDS. Namun, meski kampanye ini sudah digalakkan, mengapa tetap saja kasus HIV/AIDS tidak selesai dan malah semakin meninggi?

Itu karena kampanye ABCDE hanya sekdar menjadi slogan, tapi di ranah penerapan masih sulit diwujudkan. Bagaimana mungkin bisa mengharapkan Abstain (tidak melakukan hubungan seksual), sedangkan materi pornografi dan pornoaksi merajalela di berbagai media. Anak-anak di bawah umur sudah pegang gadget dan mampu mengakses konten-konten seperti itu. Belum lagi, budaya pacaran yang dianggap wajar, sehingga tak jarang bahkan berbuat di luar nalar. Padahal, dalam Islam jangankan berzina mendekatinya saja sudah dilarang. Dalam Al-Qur'an Allah berfirman,
"Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk." (QS. Al-Isra: 32)

Bagaimana mau Be faithfull (setia pada pasangan) bila perselingkuhan mudah dilakukan. Lewat layanan aplikasi Mi Chat misalnya, sudah bisa memesan wanita, ikut grup FWB (friends with benefit) sudah bisa dapat pasangan tidur, bahkan tanpa berbayar. Sebab masing-masing punya keinginan hanya untuk saling bersenang-senang, dan search open BO di Twitter sudah dapat kontak layanan jual diri. Dengan kemudahan teknologi disertai lemahnya hukum dan sanksi makin membuka lebar peluang terjadinya perselingkuhan, ataupun seks bebas. Terlebih, tempat-tempat prostitusi bukannya ditutup, malah dilokalisasi.

Meskipun sudah ada kampanye use Condom atau menggunakan alat pengaman berupa kondom, namun risiko penularan HIV/AIDS itu tetap ada. Mengapa? Karena, penggunaan kondom harus benar. Menurut National Institutes for Health, kondom yang digunakan dengan benar mampu mampu mengurangi risiko penularan virus HIV hingga 95 persen. Tetapi bila kondom bocor, rusak atau menggunakannya tidak tepat, tetap saja akan terjadi risiko penularan.

Selain seks bebas, penyakit HIV/AIDS bisa ditularkan melalui jarum suntik yang dipakai secara bersama. Maka di poin ke-4 pencegahan HIV AIDS adalah no Drugs. Meski demikian, tampaknya ini masih sebatas lip service bila tidak dibarengi dengan penuntasan narkoba sampai ke akar-akarnya. Begitu pula, poin terakhir kampanye ABCDE yakni Education. Pengetahuan seputar HIV/AIDS tidak akan berarti banyak, jika tidak ditunjang oleh kondisi yang supportif agar HIV AIDS bisa tercegah.

Sayangnya, efektivitas kampanye ABCDE di sistem sekuler saat ini tidak bisa diharapkan. Sebab, dalam sistem sosial yang diterapkan adalah liberalisme. Paham kebebasan ini menjadikan hubungan laki-laki dan perempuan bisa bebas tanpa aturan. Berpacaran dianggap lumrah, berduaan sudah biasa bahkan sampai berhubungan badan asal suka sama suka sudah dianggap legal.

Definisi perzinaan yang diakui dalam KUHP Indonesia adalah, bila yang melakukan hubungan badan salah satunya sudah beristri atau bersuami. Itu pun kalau ada yang melaporkan. Yang dianggap tidak boleh itu hanya berdasarkan consent atau persetujuan. Sehingga, bila hubungan seksual dilakukan atas dasar suka sama suka itu tidak dianggap masalah.

Padahal, jelas dalam sabda Nabi Muhammad saw. “Jika zina dan riba tersebar luas di suatu kampung, maka sungguh mereka telah menghalalkan atas diri mereka sendiri azab Allah". (HR. Al-Hakim, Al-Baihaqi dan Ath-Thabrani)

Apalagi orientasi dalam sistem sekulerisme kapitalisme adalah materi. Sehingga, tempat-tempat prostitusi sulit untuk dihentikan. Sebab, banyak keuntungan materi yang bisa didapat.

Pajak negara untuk tempat hiburan malam juga cukup tinggi sampai 20%. Padahal, jika ditelisik secara matematis, meski ada keuntungan secara materi namun banyak juga kerugian yang bisa ditimbulkan, salah satunya uang negara habis untuk upaya pengentasan HIV/AIDS. Padahal, bila aturan negara orientasinya adalah meraih rida Allah dan landasannya adalah Al-Qur'an, maka tempat -tempat prostitusi akan dilenyapkan dan dibuka lapangan pekerjaan yang lebih halal.

Negara juga harusnya hadir membatasi penggunaan teknologi, agar tidak dipakai oleh PSK menjajakan diri.
Tampaknya hal ini cukup mustahil, bila sistem yang diterapkan masih sekularisme. Sebab, akan selalu ada perlindungan atas nama HAM untuk melegitimasi kebebasan berekspresi, termasuk melakukan zina atau bahkan jual diri. Industri wisata lendir ini menjadi bisnis yang subur di tengah masyarakat yang liberal dan negara yang jauh dari Al-Qur'an. Maka, adanya HIV/AIDS bisa dianggap sebagai teguran dari Allah, agar kita sebagai manusia sadar untuk kembali pada aturan-Nya secara sempurna.[]

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com

Kontributor NarasiPost.Com Dan Pegiat Pena Banua
dr.Ratih Paradini Kontributor NarasiPost.Com
Previous
Enggak Berilmu, Enggak Keren
Next
Terobosan Extraordinary Penyelesaian Utang
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram