"Terkadang Bu Widya masih menyalahkan dakwah karena setiap Muhis keluar rumah fokus utama Muhis adalah dakwah, bukan pekerjaan. Ia gemas dengan hal itu dan bertekad untuk mencarikan Muhis pekerjaan yang layak."
Oleh. Raisha Nazneen
(Kontributor NarasiPost.Com dan Siswi STT Hagia Sophia IBS Sumedang)
NarasiPost.Com-Matahari dengan sinarnya yang membakar siang itu mulai sedikit bergerak ke barat, kumandang azan Zuhur saling bersahutan di seluruh penjuru kota. Meski terkadang miris, panggilan itu sering sekali diabaikan, kecuali oleh mereka yang masih beriman. Seperti perkumpulan ibu-ibu yang sedang mengadakan pengajian di salah satu perumahan elite di kota Subang. Mereka memutuskan mengakhiri majelisnya setelah selesai azan.
“Baik ibu-ibu karena waktu kita sudah habis, kita tutup saja perjumpaan kita siang ini dengan doa kifaratul majlis, dan istighfar.” ibu dengan jilbab berwarna marun itu memimpin untuk mengakhiri acara. Setelah ditutup, Bu Widya sang pemilik rumah mempersilakan para tamunya untuk salat di musala kecil yang berada di samping halaman rumahnya. Setelah itu ia pergi ke dapur dan membawakan makanan untuk menyuguhi tamu-tamunya.
“Aduh Bu saya sangat iri sekali, ibu itu orangnya baik, dermawan, sudah banyak harta yang ibu keluarkan untuk dakwah padahal ibu baru kemarin-kemarin gabung dakwah. Saya jadi malu, sudah lama tapi belum bisa sedekah sebanyak ibu.” ucap seorang ibu yang membantu Bu Widya menghidangkan makanan.
“Iya Bu Alhamdulillah..” Bu Widya menjawab dengan senyuman, dalam hatinya terucap syukur bisa merasakan nikmatnya berdakwah, dan untuk ke sekian kalinya ia merindukan seseorang yang menjadi wasilah ia meniti jalan ini.
Tok..tok…tok…
“Assalamualaikum, Bu…” Muhis telah membuat keputusan, ia memilih untuk pulang.
“Eh, kok ada di sini? Lagi libur? Ini kenapa bawa barang-barang banyak kayak gini?” Bu Widya kaget melihat anaknya pulang di luar jadwal biasanya, tanpa pemberitahuan sebelumnya tiba-tiba ia sudah berada di depan pintu rumah.
“Salamnya dijawab dulu dong Bu, malah diteror sama banyak pertanyaan.”
“Iya, iya, Wa'alaikumussalam.”
“Muhis sudah berhenti kerja Bu, alasannya nanti Muhis ceritakan, Muhis mau izin dulu bersih-bersih dan istirahat dulu ya bu? Nanti setelah makan malam Muhis ceritakan."
Dahi Bu Widya mengernyit, ‘berhenti kerja’ kalimat itu membuat pertanyaan di benak Bu Widya makin bertambah. Namun, melihat anaknya yang kelelahan, ia mengangguk mengizinkan. Setelah salat Isya, Muhis turun dari kamarnya menuju ruang makan, di sana sudah ada ibunya yang sedang menyiapkan makan malam.
“Ayo sini cepat, ibu sudah menyiapkan makanan favoritmu."
Makanan itu terlihat sangat lezat, dari kejauhan pun Muhis sudah bisa mencium aromanya. Muhis makan dengan lahap, dan sesekali ia menyuapi ibu yang ia cintai itu. Setelah selesai makan dan meneguk air, Muhis mulai menceritakan tujuan kepulangannya.
“Bu, untuk saat ini Muhis mau mencari kerja di sini saja, tidak di Jakarta lagi. Muhis mau sekalian dakwah. Soalnya di daerah kita kayaknya masih sedikit pendakwah."
“Coba ulang ucapanmu! Mau dakwah? memang kamu siapa, ibu sekolahin kamu, kuliahin kamu itu supaya kamu jadi pebisnis hebat, sekarang kamu tinggalkan posisi managermu untuk dakwah? Apa yang ada di pikiranmu? Memang keuntungan dari dakwah apa? Atau jangan-jangan kamu mau menipu berkedok agama? Astagfirullah Muhis ibu gak mau ya kamu menjadi orang seperti itu!” baru saja Muhis ingin menyampaikan alasan kepulangannya, lagi-lagi ia telah ditimpali oleh ibunya.
“Astagfirullah Bu, nggak ada niatan-niatan seperti itu terpikirkan oleh Muhis. Ilmu agama Muhis memang belum banyak, tapi Muhis siap mengemban amanah ini dari pertama kali ditawarkan dan Muhis pun akan terus belajar Bu…”
“Di kota ini sudah ada pesantren-pesantren dan kiai-kiai. Kamu tidak perlu khawatir kota ini kekurangan pendakwah, kembalilah kau ke Jakarta dan bekerjalah di sana.”
“Iya Bu memang di kota ini sudah ada kiai-kiai tapi apa salahnya Muhis juga ingin menjadi pengajar agama seperti mereka? Abdurrahman bin auf pun masih bisa berbisnis sambil berdakwah…”
“Aahh.. sudahlah terserah kau saja, siapa juga itu Rahman Rahman itu.” karena kekesalannya Bu Widya meninggalkan Muhis di meja makan dan menuju kamarnya.
“Astagfirullah.. yaa muqallibal quluub tsabbit qalby ‘ala diinika.” Muhis maklum dan ia sudah memprediksi jika ibunya tak akan mendukung keputusannya itu. Tapi ia sudah bertekad dan akan membujuk ibunya untuk menerima keputusannya itu.
Hari-hari berlalu, akhirnya Bu Widya membiarkan keputusan anaknya itu, meski tiap sekembalinya Muhis dari luar ia selalu bertanya, “Sudah mendapat pekerjaan?” dan dengan santai Muhis menjawab, “Iya, insyaAllah nanti dicari lagi.”
Terkadang Bu Widya masih menyalahkan dakwah karena setiap Muhis keluar rumah fokus utama Muhis adalah dakwah, bukan pekerjaan. Ia gemas dengan hal itu dan bertekad untuk mencarikan Muhis pekerjaan yang layak. Seminggu kemudian, Muhis bersiap untuk menghadiri acara besar yang diadakan olehnya dan teman-teman dakwahnya, acara ini ia adakan untuk menarik anak-anak muda yang ada di kota itu agar mau bergabung mempelajari Islam lebih dalam. Saat hendak keluar kamar ia mendapati ibunya yang hendak mengetuk kamarnya.
“Ada apa, Bu?” tanya Muhis.
“Nah, kebetulan kamu sudah siap begini, ayo turun itu ibu sudah minta kenalan ibu untuk datang menawarkan pekerjaan untukmu, katanya ada beberapa posisi di bank yang enak, kerjanya tidak terlalu berat tapi gajinya lumayan besar.” ucap Bu Widya
“Astagfirullah Bu.. kerja di bank itu tidak boleh, bisa jadi gaji yang nanti diterima tercampur dengan riba. Maaf Bu, Muhis menolak.”
Mendengar penuturannya, Bu Widya menjadi marah, sudah susah payah ia mencarikan pekerjaan tapi ditolak begitu saja.
“Kamu ini memang tidak tahu diuntung, tiap kali ibu tanya kamu selalu jawab masih belum ada pekerjaan, sekarang pekerjaan itu yang mendatangi kamu malah kamu tolak begitu saja bahkan sebelum kamu menemuinya.”
“Muhis minta maaf Bu, tapi kalau untuk di bank Muhis tidak bisa menerimanya.”
“Lalu pekerjaan apa yang kamu inginkan? Penceramah? Iya? Muhis, sampai saat ini Ibu masih rahasiakan tentang kamu dari Ayah, karena Ibu masih sayang sama kamu. Ayah pasti akan marah jika tahu kondisimu sekarang. Lusa ia akan pulang dari Australia dan Ibu tidak akan membelamu sedikit pun!”
“Tak apa Bu, Muhis akan berbicara dengan Ayah, yang Muhis butuhkan Ibu dukung Muhis dan bersabar karena Muhis juga sedang mencari pekerjaan. Dan Muhis akan cari pekerjaan yang tidak akan mempermalukan Ibu dan Ayah, Bu, Muhis pamit dulu, Muhis ada agenda…"
Ketika Muhis hendak mencium tangan ibunya, Bu Widya mengibaskan tangannya dan berlalu begitu saja. Muhis pun bergegas menuju tempat acara dilangsungkan, meski sekarang semangat dia sudah mulai menurun. Ia pun merasa tidak enak kepada ibunya atas kejadian tadi. Selama acara berlangsung pun pikiran Muhis tidak fokus. Ia terlihat sering melamun bahkan hingga akhir acara. Setelah acara selesai, ia membantu tim logistik membereskan kembali tempat itu. Ia mencoba menurunkan spanduk berukuran 5 x 4 yang menjadi backgdrop acara tadi. Namun, saat sedang menurunkannya kaki Muhis terpeleset dari tangga hingga ia jatuh, kepalanya terbentur palu yang ia pegang dan tak sadarkan diri. Ia langsung dibawa oleh teman-temannya itu ke rumah sakit yang alhamdulillah tak jauh dari tempat acara itu berlangsung.
Bu Widya yang sedang asyik menyiram tanamannya di sore hari itu terkejut mendengar kondisi anaknya yang terkena patah tulang dan kerusakan di bagian otak. Ia bergegas menuju rumah sakit itu dengan penuh cemas. Sesampainya di rumah sakit, Bu Widya pun belum bisa menemui anaknya karena sedang di UGD. Tak lama kemudian keluarlah dokter dari ruangan tersebut, namun sayangnya meski hanya terjatuh dari tangga, qadarullah itulah yang menjadi wasilah pemutus kehidupannya di dunia. Bu Widya menangis histeris, kini ia telah kehilangan putra semata wayangnya. Dalam hatinya ia masih mengambinghitamkan dakwah atas apa yang terjadi pada Muhis. Hingga saat jenazah Muhis hendak dipulangkan dari rumah sakit, dokter yang menangani Muhis tadi menghampiri, “Bu maaf, kata petugas ambulance tadi saat putra ibu sadar ia meminta untuk merekam ucapannya dan meminta ibu mendengarkannya. Ini Bu rekamannya.” dokter itu menyodorkan handphone kepada Bu Widya dan menekan tombol play.
“Ibu, Muhis minta maaf, mungkin ibu sangat kecewa dengan pilihan Muhis, tapi Bu sungguh Muhis percaya bahwa pilihan yang Muhis ambil tidak salah, dakwah ini kewajiban kita sebagai seorang muslim. Dan kita pun harus menaati setiap perintah-Nya. Bu, seseorang akan dikumpulkan di akhirat bersama orang yang ia cintai. Muhis mencintai Rasulullah dan mengikuti jejak kehidupannya agar kelak Muhis bisa bertemu dengan beliau. Muhis juga menginginkan ibu dan ayah menapaki jejak yang sama agar kita bisa bersama kembali kelak dengan keadaan yang selamat. Muhis minta maaf Bu, jangan membenci dakwah ya, Bu…” ucapan Muhis terhenti.
Detik-detik selanjutnya hanya menyisakan kegaduhan dan rekaman selesai. Rekaman itu berhasil membuat air mata di pipi Bu Widya terus mengalir, dan menjadi penggerak hatinya.
“Aduh Bu saya sangat iri sekali, Ibu itu orangnya baik, dermawan, sudah banyak harta yang Ibu keluarkan untuk dakwah padahal Ibu baru kemarin-kemarin gabung dakwah. Saya jadi malu, sudah lama tapi belum bisa sedekah sebanyak Ibu.” ucap seorang ibu yang membantu Bu Widya menghidangkan makanan.
“Iya Bu Alhamdulillah.” Bu Widya menjawab dengan senyuman, dalam hatinya terucap syukur bisa merasakan nikmatnya berdakwah, dan untuk ke sekian kalinya ia merindukan seseorang yang menjadi wasilah ia meniti jalan ini.
“Muhis, doa untukmu selalu Ibu panjatkan, terima kasih telah menyadarkan Ibu. Tunggu Ibu dan Ayah di surga ya, Nak..” ucap Bu Widya dalam hati sambil mengusap matanya yang hampir menitikan air.[]