” Sejatinya PayLater tak ubahnya 'rentenir versi modern' yang menggunakan berbagai tipu daya untuk menjerat orang agar berutang.”
Oleh. Hesti Andyra
(Kontributor NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-E-commerce atau Perdagangan Elektronik belakangan makin diminati banyak orang terutama generasi muda. Jika dulu transaksi perdagangan dilakukan dengan tatap muka antara penjual dengan pembeli, saat ini perkembangan pesat teknologi memudahkan akses transaksi secara online. Tanpa harus meluangkan waktu datang ke lokasi jual beli, tanpa harus tawar menawar, dan terutama tanpa perlu menyediakan uang tunai. Berbagai kemudahan yang ditawarkan tak pelak membius sebagian besar orang untuk beralih ke transaksi perdagangan digital ini.
Sayangnya berbagai kemudahan ini juga memiliki sisi negatif. Perlahan namun pasti masyarakat tenggelam dalam gaya hidup konsumerisme dan hedonisme. Demi memenuhi gaya hidup ala standar budaya kapitalisme, masyarakat terutama kaum muda tanpa ragu menghabiskan penghasilannya asalkan bisa show off di media sosial dan tidak ketinggalan tren terkini. Jika penghasilan sudah tak cukup untuk memenuhi keinginan belanja, mereka tak ragu berutang dengan menggunakan berbagai layanan pembiayaan.
Salah satu layanan pembiayaan jangka pendek yang cukup terkenal di kalangan anak muda saat ini adalah Buy Now Pay Later (BNPL) biasanya disingkat PayLater. Lewat fitur ini konsumen bisa memiliki suatu barang dengan membayar belakangan sesuai jatuh tempo yang telah ditentukan ditambah dengan biaya bunga pinjaman. Dilansir dari simulasikredit.com, PayLater telah dikembangkan sejak abad ke-19 dan semakin populer sejak tahun 2020 seiring peningkatan volume belanja online.
Berdasarkan riset KataData Insight Center, dengan survei terhadap 5.204 responden, pengguna fitur PayLater dari generasi Y atau milenial mencapai 16,5 persen, sementara dari gen Z jumlahnya berkisar di angka 9,7 persen. (republika.com, 24/9/2022)
Akibatnya bisa ditebak. Makin banyak kaum muda yang terlilit cicilan utang skema PayLater ini. Usia yang masih muda, minimnya literasi keuangan, serta belum memiliki penghasilan sendiri tidak lantas membuat mereka berpikir matang sebelum memilih pembiayaan PayLater. Demi memenuhi keinginan belanja yang menggebu, tak heran jika rata-rata anak muda akhirnya terjerat utang kredit macet sebesar 2,8 juta per orang. (bbc.com, 29/12/2022)
Sejatinya PayLater tak ubahnya “rentenir versi modern” yang menggunakan berbagai tipu daya untuk menjerat orang agar berutang. Para pengemban sistem hidup kapitalis memanfaatkan berbagai celah untuk mendapatkan keuntungan. Kemajuan teknologi pun pada akhirnya menjadi senjata bagi kapitalis memperoleh konsumen sebanyak mungkin. Di satu sisi berusaha mendapatkan keuntungan, namun di sisi lain para kapitalis menutup mata akan kesulitan ekonomi yang membelit rakyat. PayLater pada akhirnya menjadi solusi sementara “gali lubang tutup lubang.” Alhasil banyak nasabah yang melakukan blunder keuangan. Terlilit utang di satu pihak demi melunasi pinjaman dari pihak lain.
Sementara itu pemerintah sebagai penyelenggara negara belum membuat regulasi mengikat untuk metode pembiayaan PayLater ini, tidak seperti regulasi kartu kredit yang diwajibkan melakukan penilaian mendetail saat calon nasabah mengajukan pembiayaan. PayLater dianggap tidak bermasalah selama terdaftar di OJK, memberikan bunga rendah, serta tanpa syarat adanya penghasilan dan lainnya. Dianggap wajar dengan menafikan potensi bahayanya terhadap kesehatan finansial generasi muda.
Skema Paylater sendiri tidak dibenarkan dalam Islam karena mengandung riba yang jelas diharamkan. Setiap tambahan dari pinjaman yang disepakati di awal (saat akad), maka statusnya adalah riba yang hukumnya haram. Bisa berupa bunga ataupun denda apabila terjadi keterlambatan pembayaran. Sebagaimana dijelaskan dalam Al-Qur’an: “Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (QS Al-Baqarah: 275)
Ulama Imam Ibnu Qudamah berkata, ”Setiap pinjaman (qardh) yang mensyaratkan adanya tambahan padanya, maka tambahan itu adalah riba tanpa perbedaan pendapat di kalangan ulama.” (Ibnu Qudamah, Al Mughnî, Juz IV, hlm. 360).
Jebakan riba yang nyata-nyata haram ini tidak akan tumbuh dan berkembang pesat apabila syariat Islam diberlakukan. Dengan sistem hidup sesuai Islam, anak-anak generasi penerus akan tumbuh dengan sikap qanaah dan tawadhu. Merasa cukup dengan apa yang dimiliki dan tidak mudah tergoda pesona konsumerisme ala kapitalis. Mampu menimbang dengan menyandarkan semua keputusan sesuai hukum syarak. Hanya sistem Islam yang menjamin generasi muda memperoleh pendidikan kepribadian dan akademis yang berkualitas.
Sistem Islam dengan tegas akan mengatur segala jenis pembiayaan dengan sesuai kaidah syarak sebagaimana sabda Rasulullah saw.: “Setiap utang-piutang yang menghasilkan manfaat adalah riba.” (HR. Baihaqi). Perkembangan teknologi finansial dan segala model bisnis turunannya akan tetap terjaga dalam koridor perspektif Islam dengan mengupayakan kejelasan akad dalam setiap transaksi yang muncul. Dengan demikian umat dengan tegas bisa menolak produk dan layanan yang batil ataupun haram.
Wallahu’alam bisshowab.[]