Dengan demikian, Islam tidak mengenal yang namanya pemisahan agama dari politik. Karena, perpolitikan terikat dengan standar halal dan haram. Aktivitas inilah yang seharusnya melekat pada para pelaku politik, baik individu, kelompok/partai maupun negara.
Oleh : Nur Wahida Lota (Mahasiswi)
NarasiPost.Com — Pemilihan kepala daerah (Pilkada) tidak lama lagi akan digelar di seluruh daerah yang ada di Indonesia. Tahapan kampanye pun masih terus berlangsung hingga saat ini. Politisasi agama dan money politic (politik uang) pun tak bisa dihindari. Bahkan hal tersebut sudah membudaya di tengah-tengah masyarakat.
Maraknya praktik politisasi agama yang dilakukan para kontestan pilkada, beragam respon bermunculan. Ada yang menanggapi positif, bahkan ada yang negatif. Yang positif tentu saja berpikir itu hal yang wajar. Sedangkan, yang negatif menganggap agama hanya dijadikan alat untuk meraih kekuasaan seperti apa yang disampaikan TGB.
Untuk memperoleh suara dan dukungan dalam demokrasi apapun akan dilakukan oleh siapapun yang terjun ke dalam perpolitikan demokrasi. Termasuk menjadikan agama sebagai alat untuk mendapatkan dukungan dari rakyat. Hal tersebut merupakan sesuatu yang biasa bahkan sudah menjadi kebiasaan yang sering terjadi menjelang pemilu. Berbagai cara akan digunakan untuk memikat hati rakyat mulai dari menebar janji-janji manis yang melenakan, hingga menggunakan ayat-ayat Allah ataupun hadis Nabi seolah memberikan harapan baru. Apalagi, bagi kaum muslimin yang mengharapkan sosok pemimpin yang agamis dan benar-benar akan memberikan kesejahteran.
Bahkan sering kali ditemui ketika menjelang pemilu, banyak anggota parpol yang mencalonkan diri akan berlomba-lomba menggunakan atribut keagamaan. Hal tersebut dilakukan untuk mendapatkan kepercayaan rakyat agar semakin yakin telah memberikan dukungan pada orang yang tepat. Dengan harapan sosok itu tak mengkhianati janjinya karena penampilannya terlihat Islami.
Dengan memperilahatkan citra positif di tengah-tengah masyarakat, terutama pemilih muslim yang menginginkan kesejahteraan, semakin memudahkan para calon penguasa negeri-negeri muslim dalam melancarkan aksinya. Sebab, di tanah air jumlah umat Islam adalah mayoritas.
Begitulah potret politik dalam sistem demokrasi. Semua yang dilakukan sah demi mendapat dukungan. Bahkan rela mengeluarkan modal banyak untuk melakukan kampanye yang berbau agama. Katakanlah dengan menggelar pengajian besar-besaran, memberikan sumbangan pada orang-orang yang tidak mampu dan melakukan pembangunan rumah ibadah. Hal semacam ini akan semakin menguatkan dan menyakinkan hati masyarakat agar semakin percaya bahwa inilah pilihan yang tepat.
Kemurnian dalam sistem demokrasi akan sangat mustahil didapatkan, karena segalanya dilakukan sudah dipastikan tidak lepas dari kepentingan. Tidak heran jika setiap pergantian pemimpin dengan wajah-wajah baru akan selalu memberikan hasil yang sama. Tidak akan memberikan perubahan yang membawa pada kesejahteraan. Selama sistem yang digunakan adalah sistem buatan manusia yang lemah dan terbatas. Selama itu pula kesejahteraan dan keadilan tidak akan pernah dirasakan oleh masyarakat.
Berbeda halnya dalam sistem Islam, yakni khilafah yang mengatur semua aspek kehidupan termasuk politik. Pencitraan-pencitraan semacam ini tidak akan ditemukan apalagi dalam hal politisasi agama. Sebab, dalam sistem khilafah yang paling utama dicari adalah keridaan Allah bukan penilaian manusia. Terlebih, hanya untuk memperoleh kekuasaan yang pertanggungjawabannya sangat besar untuk dipikul seorang pemimpin.
Sebab, semua keamanan, kesejahteraan dan keselamatan rakyat akan menjadi tanggungjawab seorang pemimpin. Politik dalam sistem khilafah akan dijalankan sesuai dengan aturan agama atau syariat Islam. Karena dalam Islam, politik merupakan salah satu dari wujud keimanan kepada Allah SWT sebagai Pencipta sekaligus Pengatur kehidupan melalui hukum-hukum-Nya.
Dengan demikian, Islam tidak mengenal yang namanya pemisahan agama dari politik. Karena, perpolitikan terikat dengan standar halal dan haram. Aktivitas inilah yang seharusnya melekat pada para pelaku politik, baik individu, kelompok/partai maupun negara.
Dalam tataran individu, aktivitas politik nampak dalam keterikatannya pada hukum syariah dalam segala aktivitas kehidupan yang dilakukannya. Juga akan nampak pada kehidupan sosial di lingkungan masyarakat, termasuk dalam aktivitas dakwah amar ma’ruf nahi mungkar.
Di tataran kelompok, aktivitas politik akan terlihat dari keseriusannya dalam berjuang mencerdaskan umat. Sehingga, Islam dipahami dengan benar, diyakini dan diamalkan dalam setiap aspek kehidupan. Kelompok atau partai politik Islam akan berada di barisan terdepan dalam memperjuangkan tegaknya hukum-hukum Islam dalam kehidupan.
Adapun dalam tataran bernegara atau penguasa, maka aktivitas politik Islam akan nampak dalam konsistensinya menerapkan hukum-hukum syariah, baik dalam negeri maupun luar negeri. Negara akan mengatur seluruh aspek kehidupan rakyat dan menyelesaikan seluruh permasalahan hanya dengan hukum Islam, sebab negaralah institusi pelaksana politik sesungguhnya.
Dengan demikian, sistem Islam akan melahirkan pemimpin-pemimpin yang tulus mengurusi rakyat. Bukan pemimpin yang bermanis muka ketika kampanye saja. Tentu, tidak ada politisasi agama, namun justru menjadikan agama sebagai dasar berpolitik. Sehingga, tidak akan terjadi kecurangan dan kezaliman. Sebab, pengaturannya berdasarkan aturan Sang Pencipta, yakni Allah SWT. Wallahu’alam bishawab []