Membumikan Ide Kebangkitan Islam

”Semua kekayaan serta kesuksesan sebuah peradaban ditentukan oleh seberapa hebat pemikiran yang diusung masyarakat. Meski kekayaan material sebuah bangsa hancur tak bersisa, mereka akan segera mampu bangkit dengan cepat selama pemikiran masih terpelihara dalam benak mereka.”

Oleh. Vivin Indriani
(Kontributor NarasiPost.Com)

NarasiPost.Com-“Sebuah ide yang relevan selalu punya kaki sendiri.” (Prof. Salim Said, Ph.D)

Ide kebangkitan Islam sebagai sebuah supremasi hukum dan institusi masih ramai diperbincangkan. Tak sedikit yang pro dan memiliki euforia tinggi untuk menyongsong janji kenabian yang banyak dituturkan dalam hadis-hadis. Namun banyak juga yang kontra dengan beragam alasan, baik alasan logis maupun sekadar demi memuaskan ego pribadi dan kelompoknya. Namun sebagai sebuah gagasan, ide kebangkitan kembali Islam ini cukup layak untuk diuji sebagai salah satu dari sekian banyak tawaran sistem pengganti atau setidaknya solusi fundamental bagi kerusakan negara dan dunia pada umumnya. Sebuah gagasan perubahan bagi bangsa yang terkatung-katung oleh ketidakpastian praktik penerapan kapitalisme liberalisme hari ini.

Bagi negara seluas Indonesia, dengan masyarakat yang fragmanted society -tidak punya kesamaan latar belakang baik sejarah maupun kesamaan jenis latar belakang lainnya- ide ini membutuhkan pergerakan yang tidak sekadarnya. Perlu upaya sungguh-sungguh untuk membumikan gagasannya. Gagasan ini juga harus mampu untuk menemukan relevansi pada kondisi yang mereka hadapi baik di masa sekarang maupun di masa yang akan datang. Yang paling menyedihkan adalah jika sebuah ide dan gagasan justru tidak menemukan makna di tengah masyarakat yang buta gagasan, buruk literasi serta memiliki kesulitan untuk menerjemahkan teks ke dalam konteks. Dalam arti, sebuah masyarakat yang rendah taraf berpikirnya. Inilah tantangan terberat yang dihadapi negeri ini.

Menguak Tabir Rendahnya Taraf Berpikir Umat

Sebuah masyarakat yang sehat adalah masyarakat yang pemikiran dan individunya berporos pada gagasan atau ide. Sebaliknya, masyarakat yang sakit adalah masyarakat yang pemikiran dan individunya berporos pada materi atau kebendaan. Demikian buah pemikiran Dr. Majid Irsan Al Kilani dalam buku beliau Model Kebangkitan Umat Islam, Kemunculan Generasi Shalahudin dan Kembalinya Al-Aqsa Palestina. Masyarakat yang individunya lebih banyak menghabiskan waktu dalam rangka memenuhi sebanyak-banyaknya materi, serta masyarakat yang memandang bahwa sumber kebahagiaan mereka adalah terpenuhinya materi atau harta justru menunjukkan bahwa masyarakat tersebut berada pada level kehidupan yang rendah. Makin dibiarkan kondisinya akan makin lemah, kritis bahkan bisa mati, dalam arti masyarakat tersebut selangkah menuju kehancuran. Namun bagi masyarakat yang poros kehidupannya adalah gagasan, ide dan pemikiran, sesungguhnya kebangkitannya kian dekat. Juga masyarakat yang literasi dan keilmuan merupakan hal yang begitu diminati, serta masyarakat yang meletakkan penghormatan tinggi kepada aktivitas menuntut ilmu dan kepada para aktor keilmuan tersebut, maka masyarakat seperti inilah yang akan menjadi pangkal muasal kemajuan dan kebangkitan. Inilah masyarakat yang sehat.

Ketika Al-Quds jatuh ke tangan Pasukan Salib, butuh tiga generasi untuk mengambilnya kembali dari tangan musuh. Sepanjang 50 tahun periode kekalahan tersebut, para ulama dan para penguasa muslim berupaya mengembalikan kejayaan Al-Quds dengan membangkitkan pemikiran umat Islam. Pendidikan menjadi salah satu pilar untuk melahirkan generasi-generasi yang siap memanggul kebangkitan, mengalahkan musuh serta mengembalikan kemuliaan Al-Quds dengan cara menjadi penguasa tanah yang diberkati tersebut. Maka lahirlah kemudian generasi yang bangkit itu melalui sosok Shalahudin Al-Ayyubi, menaklukkan kembali Al-Quds dari tangan Pasukan Salib tanpa banyak menumpahkan darah. Tentu saja hadirnya generasi pembangkit ini adalah peran dari tingginya pemikiran Islam di tengah masyarakat.

Ketika kita berbicara tentang penaklukan Baitulmaqdis, kita tidak hanya sedang bicara tentang sosok di balik penaklukan itu. Baik oleh Umar bin Khaththab di tahun 638 H maupun oleh Shalahuddin Al-Ayyubi di tahun 1187 H. Keduanya hidup di era ketinggian tsaqafah dan pemikiran Islam. Dalam era ketika kekuasaan Islam menjadi institusi besar negara adidaya yang disegani dunia. Ada berjilid-jilid generasi di atas keduanya yang meletakkan dasar bagi bangunan pemikiran Islam. Ada para ulama yang menjaga fikrah Islam dan mewariskannya dalam sistem regenerasi yang sangat baik dan sempurna.

Kondisi sebaliknya justru menimpa kaum muslimin hari ini. Umat Islam hidup di masa ide dan gagasan Islam mulai surut. Pemikiran Islam terkalahkan, diganti dengan pemikiran dan tsaqafah Barat (Tsaqafah Gharbiyyah). Ajaran liberalisme, kebebasan berbuat sekehendak hati tanpa aturan menjadi panutan. Hedonisme, ajaran untuk mengejar sebanyak-banyaknya aneka kesenangan materi duniawi menjadi tuntunan. Umat Islam hidup dengan pandangan yang tertuju sepenuhnya pada sebesar-besarnya perolehan materi. Gelar, jabatan serta gelimang kekayaan menarik minat umat akhir zaman ini lebih besar dari minat kepada ketinggian gagasan dan pemikiran. Wajar jika saat ini kondisi mereka demikian mengenaskan.

Belajar dari Shalahuddin Al Ayyubi, Mencetak Generasi Penakluk

Belajar dari Sayyidah Sitkhotun, seorang wanita mulia. Tinggal di daerah pinggiran Kota Tikrit Irak. Wanita sederhana, namun bercita-cita tinggi dan mulia. Di masanya, Sitkhotun menjadikan Penaklukan Baitulmaqdis sebagai cita-cita tertingginya. Kiblat pertama umat Islam yang kala itu berada dalam cengkeraman Pasukan Salib. Cita-cita tinggi menaklukkan Baitulmaqdis adalah opini besar di zaman itu. Tersebar di lembaga-lembaga pendidikan dan lembaga-lembaga keilmuan serta pemerintahan. Para ulama dan penguasa muslim berlomba-lomba mencetak dan mengkader generasi-generasi penakluk. Perasaan dan pemikiran masyarakat tertuju sepenuhnya pada pengambil alihan kembali Kiblat pertama umat Islam tersebut.

Maka demikianlah Sitkhotun, cita-citanya bersanding dengan laki-laki yang mampu menaklukkan Baitulmaqdis dipertemukan Allah dengan Najmuddin Al-Ayyubi. Laki-laki saleh dari kalangan keluarga khalifah yang punya cita-cita sama. Keponakan Nuruddin Zanki-Panglima besar Islam yang telah mempersiapkan penaklukan besar-besaran Baitulmaqdis. Najmuddin Al-Ayyubi berikut cita-cita besarnya kala itu, memimpikan beroleh istri yang dari rahimnya lahir generasi penakluk Baitulmaqdis. Dari dua pasangan mulia inilah lahir sosok Shalahuddin Al-Ayyubi.

Kita menyaksikan bahwa ide dan gagasan kebangkitan menjadi kekuatan besar sebuah peradaban. Pemikiran menjadi poros bagi materi dan individu. Napas masyarakat bergerak oleh pemikiran yang menjadi oksigen kebangkitan. Pemikiran jualah yang menginspirasi masyarakat untuk bergerak ke arah tujuan yang hendak dicapai. Namun, pemikiran seperti apa yang mampu membangkitkan umat Islam hari ini? Pemikiran semacam apa yang mampu menyatukan cara pandang masyarakat yang sudah sangat terpuruk dan jumud?

Imam Taqiyyuddin An-Nabhani dalam Muqaddimah Nidhamul Iqtishadi menyampaikan bahwa pemikiran merupakan kekayaan terbesar sebuah bangsa. Semua kekayaan serta kesuksesan sebuah peradaban ditentukan oleh seberapa hebat pemikiran yang diusung masyarakat. Meski kekayaan material sebuah bangsa hancur tak bersisa, mereka akan segera mampu bangkit dengan cepat selama pemikiran masih terpelihara dalam benak mereka. Allah Swt. berfirman : “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri.” (QS. Ar-Ra’d ayat 11).

Pengkajian mendalam terhadap fakta serta sejarah kebangkitan Islam, bahwa mesin-mesin perubahan hanya diproduksi oleh jiwa-jiwa yang tidak kosong dari pemikiran Islam. Untuk itu, membumikan ide kebangkitan, tidak bisa dilakukan kecuali dengan memasukkan sebanyak mungkin pemikiran tsaqafah Islam ke dalam diri umat. Umat harus mengenali kembali tsaqafahnya yang kini terasa asing bagi mereka. Umat harus dibuat rindu pada penerapan pemikiran Islam itu. Tidak sekadar mereka melihat ada keuntungan dari diterapkannya pemikiran Islam atas kehidupan mereka. Namun, memahami bahwa menerapkan fikrah Islam adalah sebuah kewajiban. Inilah kunci kebangkitan. Inilah pekerjaan rumah hari ini. Wallahu’alam.[]

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]

Kontributor NarasiPost.Com Dan Pegiat Pena Banua
Vivin Indriani Kontributor NarasiPost.Com
Previous
Miris! Bahan Pokok Mahal di Negeri Agraris
Next
Tahun Baru, Resolusi Baru
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram