"Bersekolah di sekolah Islam bahkan di pesantren, namun lingkungan liberal yang mengagungkan kebebasan merupakan magnet sangat kuat yang bisa memorak-porandakan fondasi yang sudah dibangun dalam keluarga."
Oleh. Novianti
(Kontributor NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Seorang ibu menyampaikan kegundahannya dengan bercucuran air mata.
“Putri saya meminta izin melepaskan kerudungnya. Padahal sejak dari TK, saya masukkan di sekolah Islam sampai usia SMA. Kenapa begitu masuk perguruan tinggi, ia berubah?”
Lain lagi dengan cerita seorang ibu yang stres menghadapi tingkah putrinya yang menjalin hubungan dengan banyak pria tanpa pernikahan. Bahkan, putrinya menemui dokter kandungan untuk memasang alat KB sebagai pencegah kehamilan. Tujuannya mencari kepuasan. Itulah yang menjadi alasan kenapa berganti-ganti pasangan.
Kasus-kasus semacam ini banyak terungkap dalam parenting, kajian, atau ruang-ruang konsultasi psikolog. Wajah para orang tua demikian sedih karena kecewa harus menerima kenyataan, anaknya tidak seperti yang mereka harapkan. Mereka telah melanggar batasan Allah sebagai pelaku kemaksiatan.
Potret Buram Generasi Muda
Keadaan generasi muda hari ini memang sangat mengakhawatirkan. Kepala BKKBN, Hasto Wardoyo yang dirilis oleh antaranews.com (07/01/2022) mengatakan, bahwa banyak anak-anak sudah melakukan hubungan seks sejak usia belasan tahun. Ada enam persen pada kelompok usia 11-14 tahun, sedang pada usia 15-19 tahun ada 74 persen laki-laki dan 59 persen perempuan sudah melakukan hal tersebut.
Muncul pula fenomena baru di masyarakat yaitu FWB, Friend With Benefits. Istilah yang menggambarkan hubungan lawan jenis, berawal dari pertemanan kemudian berkembang menjadi hubungan seksual tanpa pernikahan. Hubungan bisa putus kapan saja dan menurut para pelakunya tidak merugikan siapa pun karena sejak awal sepakat tidak ada komitmen harapan masa depan.
Ada lagi istilah jatah mantan. Menyerahkan kehormatan pada mantan, lelaki yang bukan calon suaminya pada hari menjelang pernikahan. Dan masih banyak kasus lain yang menunjukkan buramnya kondisi generasi muda. Padahal mereka adalah harapan masa depan, tetapi persoalan dirinya sendiri saja belum terselesaikan.
Keluarga dalam Kepungan Liberalisme
Pada beberapa kasus, pola pengasuhan menjadi salah satu penyebab, namun tidak sedikit anak muda yang 'nakal' berasal dari keluarga ‘baik-baik’. Bersekolah di sekolah Islam bahkan di pesantren, namun lingkungan liberal yang mengagungkan kebebasan merupakan magnet sangat kuat yang bisa memorak-porandakan fondasi yang sudah dibangun dalam keluarga.
Dalam paham liberalisme, setiap orang memiliki kebebasan berakidah, bisa keluar-masuk agama. Berbuat tanpa mempertimbangkan halal dan haram atau dosa dan pahala. Hawa nafsu menjadi guru besar, hasil eksperimen atau sains menjadi kitab sucinya.
Tak heran, pemikiran yang merusak dan kemunkaran merajalela karena gaya hidup liberal di-support negara. Media sosial menjadi akselerator sehingga berita seperti muslim murtad, muslimah lepas jilbab, menikah beda agama, menjalar dengan cepat.
Negara yang seharusnya menjadi pelindung, makin menambah berat tanggung jawab orang tua. Melalui kurikulum moderasi beragama, konsep agama dikaburkan. Identitas kemusliman dicerabut dari kalangan generasi muda.
Tidak sedikit orang tua putus asa, bingung tidak tahu harus melakukan apa. Ada yang memilih pasrah atau mengusir anak daripada harus menanggung malu. Tentunya keputusan ini akan memperburuk keadaan karena anak semakin terperosok dalam lubang dosa.
Sikap Orang tua
Anak adalah amanah yang akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah Swt. Karenanya, meski mendidik dalam alam liberal tidak mudah, orang tua harus tetap optimis dan tidak putus harapan. Tidak menyerah dan membiarkan anaknya tetap dalam kemaksiatan. Jika keluarga tidak menerima, anak akan mencari kenyamanan dalam circle yang sefrekuensi.
Apa yang dapat dilakukan orang tua?
Pertama, orang tua harus introspeksi dan melakukan tobat nasuhah. Mereka mengevaluasi terutama dalam pendidikan iman. Keimanan anak tidak bisa diukur dari perilaku salat lima waktu atau berkerudung saja. Pola pikir anak yang menentukan cara pandang dan sikap terhadap sesuatu harus dipastikan tegak lurus dengan prinsip kebenaran Islam.
Liberalisme yang dibangun di atas akidah sekularisme, menempatkan Islam sebatas ibadah ritual, sementara kemaksiatan tetap dijalankan. Orang tua harus memahamkan konsep keimanan tidak dalam pandangan sempit. Anak diajak dialog atau ngobrol untuk menggali pandangannya terhadap sesuatu dan segera koreksi kekeliruannya.
Tanggung jawab ini merupakan perintah Allah sebagaimana disebutkan dalam surah Al-Baqarah ayat 133 , “Adakah kamu hadir ketika Ya’kub kedatangan (tanda-tanda) maut, ketika ia berkata kepada anak-anaknya, 'Apa yang kalian sembah sepeninggalku?' Mereka menjawab, 'Kami akan menyembah sesembahanmu dan sesembahan nenek moyangmu: Ibrahim, Ismail, dan Ishak, (yaitu) Tuhan Yang Maha Esa dan kami (hanya) tunduk kepada Dia.'”
Kedua, menyampaikan konsep Islam kaffah agar tergambarkan kesempurnaan Islam. Radar anak terhadap realita yang jauh dari Islam akan makin sensitif dan menyadari bahwa dirinya merupakan korban dari sebuah skenario global yang menyasar generasi muda muslim. Akan teridentifikasi siapa musuh-musuh Islam dan berbagai strategi yang dilakukan.
Ketiga, jadilah teladan bagi anak sebagai pejuang Islam kaffah. Ujian berat terkait anak tidak boleh menyurutkan semangat untuk menegakkan sistem Islam kaffah, karena inilah solusi tuntas bagi semua persoalan yang ada hari ini dan dapat menyelamatkan generasi. Menjadi pejuang Islam kaffah berarti menolong agama Allah, dan Allah berjanji dalam surah Muhammad ayat 7 , ”… Jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu.”
Keempat, selalu berprasangka baik pada Allah. Ketika anak tergelincir dalam perbuatan dosa, tidak berarti hilang kesempatan meraih surga. Sampaikan motivasi seperti sabda Rasulullah saw. bahwa meski seorang manusia memiliki dosa-dosa setinggi langit lantas minta ampunan kepada Allah, niscaya akan diampuni. Bahkan dengan dosa-dosa yang hampir memenuhi bumi pun, akan Allah ampuni selama tidak berbuat kesyirikan.
Pendampingan anak untuk kembali pada jalan yang benar tidaklah mudah terlebih untuk kasus-kasus berat seperti kecanduan pornografi atau narkoba. Membantu proses hijrahnya tidak selesai dalam waktu sehari atau dua hari. Bisa berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun. Meminta bantuan tenaga profesional seperti psikolog atau psikiater yang memiliki pemikiran yang sama dapat dilakukan jika diperlukan. Tetapi orang tua tetap yang menjadi pemimpin dalam proyek penyelamatan anak.
Kelima, mendorong anak terlibat dalam komunitas seusia agar memperoleh pengalaman yang mengasah fitrah dalam dirinya. Anak dengan versi baru akan memiliki nilai dan prinsip sehingga tumbuh visi misi besar pada dirinya. Ia merasakan bahwa dirinya berharga dan paham makna berjuang. Hidup ini tak layak untuk diratapi lantas terpuruk dalam penyesalan. Selalu ada kesempatan bagi siapa pun yang ingin berubah dan kembali mendekat pada Allah.
Allah melarang hamba-Nya berputus asa dari rahmat Allah. Tugas manusia terus berikhtiar. Fokus pada proses bukan pada hasil. Nikmati lelah dalam hijrah karena semua itu sepadan dengan tujuan sesurga di akhirat bersama keluarga.
Allahu a'lam[]