Happy Weekend

"Setelah tiga orang ibu-ibu itu pergi aku baru menghampiri warung untuk membeli kebutuhan. Sepanjang jalan pulang aku berjalan lunglai, pembicaraan itu masih terngiang-ngiang di kepalaku. Sebenarnya ini bukan kali pertama ada tuduhan negatif pada keluargaku, tapi aku masih belum terbiasa untuk tidak menghiraukannya."

Oleh. Raisha Nazneen
(Kontributor NarasiPost.Com dan Siswi STT Hagia Sophia IBS Sumedang)

NarasiPost.Com-Untuk menutup hari Sabtu ini aku berencana membuat kue bersama ummi. Meskipun ini bukan bulan Ramadan, tapi aku merindukan nastar enak buatannya. Aku berjalan keluar kamar menuju dapur. Dari ruang tamu terdengar anak-anak asuhan abah yang sedang melantunkan ayat-ayat Al-Qur'an. Sudah dua tahun abah membuka les baca Al-Qur'an untuk anak SD dan SMP. Alhamdulillah terdapat sekitar 38 orang yang abah asuh, 21 orang anak SD dan 17 orang anak SMP.

Di dapur, aku sudah menemukan ummi yang sedang mengecek kelengkapan bahan untuk membuat kue, tapi sepertinya terlihat sedikit ada masalah.

“Kak, boleh minta tolong beliin gula sama mentega? Ini kayaknya kurang deh!”

Oalah, ternyata itu masalahnya. “Iya siap Ummi, mumpung belum Magrib.”

Ummi memberikan selembar uang seratus ribu dan aku langsung bergegas menuju warung yang tidak terlalu jauh dari rumahku. Langit terlihat sudah berwarna jingga, indah sekali. Terlihat sekawanan burung terbang, mungkin mereka sedang menuju sarangnya, jalan pun agak sepi jadi aku bisa bebas berlari. Namun, saat mendekati warung, aku mendengar perbincangan tetanggaku.

“Nah iya, itu tuh ciri-cirinya orang radikal, makanya untung saya gak pernah ngizinin anak saya ikutan ngaji di situ, nanti diajarin yang aneh-aneh.”

“Iya kemarin juga anak saya udah berani lawan saya, dia nyuruh-nyuruh saya pake gamis kalo keluar rumah, dia mana tau ribetnya emak-emak kalo harus make gamis ke mana-mana.”

“Tapi itu bukannya bagus ya bu? Lagian yang saya lihat anak-anak pada baik kok, saleh-saleh…”

“Yeeuh bu Dina ini, ya itu tuh bisa jadi topeng aja. Di luar nya aja baik, kan nggak tau dalemnya.”

“Lah kalo gitu anak saya pura-pura saleh dong?!”

“Ya enggak gitu juga, coba aja berentiin ngajinya biar nanti keliatan aslinya.”

“Ah, ibu ini, sudah ah saya mau pulang.”

Mendengar itu aku bersembunyi di saung samping warung. Sakit sekali mendengar permbicaraan itu. Setelah tiga orang ibu-ibu itu pergi aku baru menghampiri warung untuk membeli kebutuhan. Sepanjang jalan pulang aku berjalan lunglai, pembicaraan itu masih terngiang-ngiang di kepalaku. Sebenarnya ini bukan kali pertama ada tuduhan negatif pada keluargaku, tapi aku masih belum terbiasa untuk tidak menghiraukannya.

“Aduh Kak… ummi tunggu dari tadi, kok lama, ummi kan khawatir.” aku tidak menyadari ternyata langkahku sudah menginjak halaman rumah. Sedari tadi aku berjalan sambil menunduk.

“Hehe.. iya Ummi maafin Amira ya.” ummi dan aku langsung menuju dapur dan memulai membuat kue. Mood-ku sudah turun, tidak se- exited sebelumnya. Tapi tidak mungkin aku meninggalkan ummi membuat kue sendirian.


Sinar matahari sudah mulai mencoba masuk dari sela-sela jendela yang masih tertutup gorden, aku menyingkap gorden itu dan membuka jendela untuk memudahkannya masuk ke dalam rumah. Sinarnya hangat dan semilir angin menerpa kulitku. Aku tidak akan menyia-nyiakan segarnya udara minggu pagi, aku memutuskan untuk jogging di taman sekitar komplek.

Selesai jogging aku membeli batagor untuk sarapan dan aku teringat pada anak-anak asuhan abah. Di hari minggu mereka belajar mengaji mulai pukul 9.00-11.00 a.m. Aku ingin memberi mereka reward dan membungkuskan batagor untuk mereka. Selesai makan aku langsung pulang dan bersih-bersih diri.

Di meja, ummi sudah menyiapkan banyak makanan, seketika perutku terasa lapar. Abah mengajakku untuk bergabung, dan tentu aku tidak akan melewatkannya.

“Lho Mi, ini kok batagor masih sisa? Nggak dibagiin semua?” di antara makanan-makanan itu terdapat sepiring batagor yang tadi pagi aku beli. Ummi memelototiku, mengarahkan matanya pada abah yang terdapat rona sedih dalam wajahnya.

“Tadi ada beberapa anak yang ditarik sama orang tuanya, katanya karena mereka sudah bisa baca Qur'an dan mereka juga sibuk sekolah, jadi udah nggak ngaji lagi." jawab abah. Aku mengerti mungkin hidangan makan yang banyak ini untuk menghibur abah.

“Mira, kalau ada apa-apa bilang aja sama Abah, maaf ya Abah kemarin tidak sengaja mendengar telponanmu sama Bang Ashim.” aku hanya tersenyum. Perbincangan tetanggaku kemarin sengaja tidak aku ceritakan pada ummi dan abah, karena takut membuat mereka sedih. Aku lebih memilih menghubungi kakakku yang sedang di luar kota.

“Abah, Amira boleh nanya sesuatu?” aku memberanikan diri untuk menanyakan sesuatu yang sudah dari lama ingin aku tanyakan.

“Ya silakan…”

“Abah kenapa nggak tutup aja les ngajinya? Iya, Amira tahu niat abah baik tapi daripada banyak omongan buruk terus fitnah-fitnah jahat, terus juga capeknya Abah juga tidak mereka bayar kan.” aku sebenarnya takut bertanya, takut aku tidak bisa merangkai kata dengan baik, dan sepertinya memang aku melakukan sedikit kesalahan.

“Astagfirullah… iya iya, Abah tahu maksud kamu. Kamu tahu apa yang membuat abah bertahan?” tanya abah. Aku hanya menggeleng menunggu kelanjutan abah berbicara.

“Abah hanya ingin mendapatkan rida Allah. Dan karena mendapat rida Allah itu ada tantangannya, Abah siap dan ikhlas menerimanya.”

“Iya sih, Bah. Tapi kalau Amira ya, kadang kalau berbuat sesuatu Amira ikhlas banget cuma berharap Allah yang kasih balasannya, tapi Amira kadang nggak kuat kalo udah dinyinyirin orang. Hehe..”

“Amira, yang namanya ikhlas nggak sekadar amalan hati, ada juga perwujudan sikapnya, yaitu dengan tetap melakukannya meski tanpa atau dengan pujian atau cercaan dari orang, inget nih huruf-huruf ini E-G-P-Y-P-A-R.”

“Hah? Apaan itu Bah?”

“Emang Gue Pikirin? Yang Penting Allah Rida.”

“Hahaha… Abah ini bisa aja!” Sahut ummi, dan akhirnya meja itu dipenuhi tawa.

Terima kasih abah, nasihat abah sudah cukup untuk mengobati semua sakit hati dari tuduhan-tuduhan yang orang tujukan pada keluarga kita. Amira juga jadi tahu alasan selama ini abah bertahan. Mekipun sudah sering aku mendengar kalimat “Rida Allah” tapi ucapan abah kali ini terasa sangat masuk ke dalam hati. Aku akan terus berdoa semoga Allah selalu merahmati abah dan ummi.

Selesai.[]

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com

Kontributor NarasiPost.Com Dan Pegiat Pena Banua
Raisha Nazneen Kontributor NarasiPost.Com
Previous
Hijrah dan Istikamahlah
Next
Teuku dan Tsunami (Bagian 1)
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram