Rasialisme di Jantung Kota Paris

”Jika kapitalisme telah menciptakan jurang pemisah dengan penyekatan ras manusia, Islam justru secara efektif dan konkret telah menghapus supremasi ras atau etnik sejak 14 abad yang lalu.”

Oleh. Sartinah
(Tim Penulis Inti NarasiPost.Com)

NarasiPost.Com-Penembakan terhadap etnis minoritas Kurdi kembali terjadi di Paris, Prancis, pada 23 Desember 2022. Aksi brutal itu dilakukan oleh seorang pria berusia 69 tahun di pusat Ahmet-Kaya di Rue d'Enghien, pada Jumat pagi waktu setempat. Akibat penembakan tersebut, tiga orang suku Kurdi meninggal dunia dan tiga lainnya mengalami luka parah.

Aksi demonstrasi pun digelar sebagai protes atas penembakan yang terjadi di pusat kebudayaan suku Kurdi di Prancis. Unjuk rasa yang kemudian berakhir bentrok antara pihak kepolisian dan suku Kurdi terjadi selama dua hari, yakni tanggal 13 dan 14 Desember 2022. Dalam kerusuhan Sabtu (24/12/2022), setidaknya terdapat satu mobil yang terbakar dan beberapa mobil terbalik. Para demonstran pun merusak jendela-jendela pertokoan dan menyalakan api di dekat Republik Square. Sebelumnya tempat tersebut pernah menjadi pusat unjuk rasa suku Kurdi dan berjalan damai.

Penembakan terhadap suku Kurdi di Kurdish Center tak hanya kali ini terjadi. Pada 2013 silam, tiga aktivis perempuan Kurdi termasuk pendiri Partai Pekerja Kurdistan (PKK), Sakine Cansiz, ditembak mati di sekitar tempat tersebut. Sayangnya, tersangka pembunuh mereka yakni Omer Guney, meninggal pada 2016 karena tumor otak sebelum sempat diadili. Lantas, apa sejatinya motif penembakan tersebut? Siapa pula suku Kurdi yang sering termarginalkan di berbagai negara?

Motif Rasialisme

Warga minoritas acapkali menjadi korban kekerasan hingga pembunuhan, tak terkecuali suku Kurdi. Terkait pembunuhan kali ini, pemerintah Prancis menduga bahwa penembakan yang terjadi di Kurdish Center atau pusat budaya Kurdi tersebut bermotif rasial. Meski demikian, seorang jaksa di Paris, Laura Beccuau, menyebut belum menemukan bukti bahwa pelaku terkait dengan gerakan ideologis ekstrem mana pun. Namun, menurut Laura, pelaku memang pernah dihukum sebelumnya akibat penyerangan dan kepemilikan senjata ilegal pada 2016 dan 2017 silam. (Cnnindonesia.com, 24/12/2022)

Angka kekerasan karena alasan rasial di Barat memang cenderung naik. Sebelum terjadi kasus penembakan di Kurdish Center misalnya, Kementerian Dalam Negeri Prancis mencatat telah terjadi peningkatan tindak kriminal terkait ras ataupun pelanggaran lain sebesar 13 persen pada 2021. Jumlah tersebut cenderung meningkat jika dibandingkan dengan tahun 2018-2019, yang tercatat 11 persen. Dijelaskan pula mayoritas tindak kekerasan menyasar warga keturunan Afrika, serta ratusan kasus lain yang bermotif agama. (Kompas.TV, 25/12/2022)

Tanpa Kewarganegaraan

Kurdi menjadi salah satu etnis yang kerap termarginalkan. Mereka ditolak di negara yang satu, dan tidak diinginkan oleh negara lainnya. Lantas, siapa sejatinya suku Kurdi yang kerap menjadi korban diskriminasi? Bangsa Kurdi merupakan salah satu etnik di Timur Tengah yang berasal dari wilayah Pegunungan Taurus di Anatolia, Pegunungan Zagros di Asia Barat yang membentang dari tenggara Turki, barat laut Iran, utara Suriah, utara Irak, hingga barat Armenia.

Etnik Kurdi termasuk kelompok terbesar keempat di Timur Tengah dengan jumlah sekitar 25 sampai 35 juta orang. Sebagian besar dari mereka merupakan penganut muslim Sunni dan sebagian lainnya penganut agama lain. Mereka pun dipersatukan melalui ras, budaya, dan bahasa yang menjadikan mereka komunitas yang khas.

Meski terlihat seperti sebuah bangsa, sejatinya mereka tidak pernah sekali pun memiliki wilayah sendiri atau kewarganegaraan. Padahal, sejak awal abad ke-20 silam, orang-orang Kurdi sudah mempertimbangkan untuk memiliki wilayah atau tanah air sendiri yang mereka sebut sebagai Kurdistan. Setelah kekalahan kekhilafahan Turki Utsmani pada Perang Dunia I, sekutu Barat yang memenangkan peperangan telah membuat ketentuan tentang pembentukan negara Kurdi yang tercantum dalam Perjanjian Sevres 1920, sebagaimana dilansir The National Geography.

Sayangnya harapan memiliki wilayah atau negara sendiri harus pupus tiga tahun kemudian. Dalam Perjanjian Lausanne yang menetapkan batas-batas wilayah Turki Modern, ternyata ketentuan untuk negara Kurdi sama sekali tidak dibuat. Sampai sekitar 80 tahun terakhir, langkah apa pun yang dilakukan bangsa Kurdi untuk mendirikan sebuah negara merdeka selalu dicegah dengan berbagai cara. Meski pernah memimpin berbagai dinasti seperti Hasanwayhif, Annazid, serta Ayyubid, tetapi di era modern bangsa Kurdi tidak pernah mendapatkan status sebagai sebuah negara.

Ditolak Berbagai Negara

Bangsa Kurdi tidak memiliki relasi yang baik dengan negara-negara muslim seperti Turki, Iran, dan Irak. Pemerintah Turki misalnya, tidak memberi simpati terhadap bangsa Kurdi dengan mencoba menghapus identitas Kurdi mereka. Bahkan, Ankara melarang mereka menggunakan bahasa Turki dan menyebut Kurdi sebagai "Turki Pegunungan".

Bangsa Kurdi yang menduduki seperlima dari populasi Turki pun dilarang menggunakan pakaian khas negara itu. Akibat pengekangan hak politik dan budaya tersebut, muncullah pemberontakan dari Partai Buruh Kurdistan (PKK) yang melawan pemerintah Turki. Akibat konflik tersebut, sekitar 40.000 orang meninggal dunia. Munculnya pemberontakan tersebut disinyalir sebagai awal hilangnya simpati pemerintah Turki terhadap bangsa Kurdi.

Sedangkan oleh pemerintah Iran, bangsa Kurdi terus mendapatkan tekanan asimilasi dan kerap menjadi sasaran persekusi bagi yang menganut muslim Syiah. Meski kaum Kurdi mengisi populasi Iran sekitar 10 persen, tetapi upaya untuk merdeka selalu ditekan oleh pemerintah. Pada 1979, mantan pemimpin agung Iran, Ayatollah Khomeini bahkan mengingatkan pemimpin Kurdi bahwa upaya kemerdekaan akan dibalas dengan respons yang keras.

Sementara itu, respons pemerintah Irak terhadap bangsa Kurdi pun tak jauh berbeda dengan Turki dan Iran. Diketahui, Irak dihuni sekitar 15 sampai 20 persen kaum Kurdi dan sebagian besar menganut ajaran Islam Sunni. Meski banyak dihuni etnik Kurdi, tetapi pemerintah Irak mengabaikan hak politik Kurdi yang kemudian memicu munculnya pemberontakan. Sebagai solusi, mantan Presiden Irak Saddam Hussein pernah menawarkan kesepakatan otonomi formal pada tahun 1970.

Namun, belakangan hal ini menjadi kontra setelah Saddam berniat ’menjauhkan’ makna otonomi. Di sisi lain, saat terjadi ketegangan antara Irak-Iran, bangsa Kurdi merasa mendapat kesempatan untuk mengajukan otonomi. Sayangnya, saat ketegangan Irak-Iran mulai menurun, Irak justru melakukan genosida terhadap bangsa Kurdi dengan senjata kimia. Saat itu sekitar 5.000 warga Kurdi tewas ketika Irak menggunakan senjata kimia di Halabja, tepatnya tahun 1988. Tak hanya itu, pemerintah Irak pun membunuh 180.000 pria, wanita, serta anak-anak dan meratakan hampir 4.000 dari 5.000 desa di Kurdistan. (Cnnindonesia.com, 25/09/2022)

Kegagalan HAM

Rasisme maupun diskriminasi terhadap etnis minoritas khususnya muslim menjadi pemandangan lumrah di negara-negara Barat. Permusuhan dan kebencian kepada warna kulit maupun agama tertentu telah mengakar kuat di negara-negara Barat seperti Amerika Serikat, Eropa, dan Inggris. Amerika Serikat misalnya, yang dielu-elukan sebagai kampiunnya demokrasi nyatanya gagal mengimplementasikan hak asasi manusia (HAM) di tengah masyarakat yang plural. Sebut saja soal pembunuhan pria kulit hitam bernama George Flyod di tahun 2020 oleh seorang polisi kulit putih yang memicu protes banyak pihak.

Rupanya tak hanya negara-negara Barat yang konsisten menyuburkan rasisme, penyakit ini pun menjalar ke negeri-negeri yang mayoritas muslim, seperti Turki, Irak, dan Iran. Contohnya saja untuk kasus bangsa Kurdi yang mendapat diskriminasi dan diabaikan hak-haknya. Mirisnya, jika dunia banyak mengecam pelanggaran HAM terhadap muslim Palestina, Rohingya, Xinjiang, dan lainnya, tetapi dunia seolah bungkam dengan nasib bangsa Kurdi yang juga bernasib serupa.

Inilah cacat bawaan sistem demokrasi sekuler dengan kebebasan berekspresi yang kebablasan. Meski banyak negara membuat undang-undang yang melarang adanya kebencian rasial, tetapi di sisi lain masih mempromosikan pandangan menyesatkan terkait kebebasan berbicara. Fakta ini menunjukkan gagalnya sistem demokrasi liberal dalam merawat pluralitas.

Rasialisme dalam Islam

Islam adalah sebaik-baik aturan dalam mewujudkan harmoni antarmanusia. Jika kapitalisme telah menciptakan jurang pemisah dengan penyekatan ras manusia, Islam justru secara efektif dan konkret telah menghapus supremasi ras atau etnik sejak 14 abad yang lalu. Islam memiliki cara yang khas dalam memandang manusia, yakni dengan cara pemikiran yang rasional. Islam tidak memandang seseorang dari bentuk tubuh, warna kulit, ras, jenis kelamin, dan lainnya. Sebab, semua itu berada di luar kendali manusia.

Dalam Islam, setiap manusia mendapatkan perlakuan yang sama dan tidak membedakan warna kulit mereka. Sebab, sejatinya setiap manusia memiliki kedudukan yang sama di mata Allah. Sebagaimana dijelaskan dalam hadis riwayat Ahmad, "Wahai manusia! Sesungguhnya Tuhanmu adalah satu dan ayahmu (Adam) adalah salah satu. Orang Arab tidak lebih baik dari non-Arab dan orang non-Arab tidak lebih baik dari orang Arab. Orang berkulit merah tidak lebih baik dari orang berkulit hitam dan orang berkulit hitam tidak lebih baik dari orang berkulit merah, kecuali dalam hal takwa (kesalehan) …. "

Hadis di atas jelas menunjukkan bahwa ukuran timbangan seseorang bukanlah warna kulit, melainkan takwa. Hadis ini juga menegaskan bahwa hanya Islam satu-satunya agama yang mampu merangkul seluruh umat manusia tanpa memandang warna kulit dan etnik. Islam pun melarang adanya prasangka buruk terhadap umat lainnya karena semua berhak mendapatkan penghormatan dan kesempatan yang sama tanpa diganggu maupun didiskriminasi.

Islam secara tegas telah menolak semua paham yang lahir dari sistem demokrasi, seperti nasionalisme. Juga mengutuk rasisme maupun diskriminasi warna kulit dan etnik. Untuk mencegah praktik-praktik rasisme, Islam di bawah naungan Khilafah akan menerapkan aturan praktis dalam aspek pendidikan, ekonomi, politik, sosial, maupun peradilan. Penerapan seluruh aspek tersebut akan mencegah dari eksploitasi satu kelas di atas yang lain. Satu hal yang pasti, Islam tidak akan memberi peluang berkembangnya penyakit kelas dan tumbuhnya rasisme di tengah masyarakat.

Daulah Islam mengadopsi pendekatan zero tolerance atas rasisme. Fakta ini dapat dibuktikan pada era kejayaan Islam di masa lalu. Bilal bin Rabbah r.a. misalnya, seorang budak berkulit hitam dibebaskan serta diberi penghormatan yang luar biasa dengan menjadi muazin di Madinah. Di sisi lain, Islam benar-benar tidak membiarkan penindasan terhadap minoritas dan keyakinan mereka. Rasul saw. telah berhasil mewujudkan hubungan yang erat di antara masyarakat meski berbeda-beda agama. Hal itu dilakukan terutama saat Madinah menjadi negara pertama yang diperintah berdasarkan syariat Islam.

Di bawah naungan Khilafah, Rasulullah saw. menjadikan akidah Islam sebagai satu-satunya pengikat di antara kaum muslim. Di bawah ikatan akidah pula, Islam menolak ikatan ras yang memecah belah manusia, seperti nasionalisme. Sedangkan di antara muslim dan nonmuslim di Madinah saat itu diikat oleh kewarganegaraan. Ikatan ini akan memberikan hak dan kewajiban yang sama antara muslim dan nonmuslim sebagai warga negara tanpa memandang agama atau warna kulit mereka. Meski nonmuslim, negara akan tetap melindungi keyakinan mereka sebagai warga negara yang sama terlepas apa pun latar belakangnya.

Khatimah

Masifnya tingkat rasisme di negara Barat yang sekuler justru bertolak belakang dengan sistem Islam. Melihat fakta bagaimana kegagalan sistem demokrasi sekuler menangani pluralitas, seharusnya para pemimpin dunia mempertimbangkan ideologi Islam sebagai solusi alternatif. Sebab, hanya Islam yang terbukti mampu menyatukan berbagai bangsa dan menyemai kebersamaan tanpa memandang agama maupun warna kulit. Wallahu a'lam bishshawab.[]

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com

Penulis Rempaka literasiku
Sartinah Seorang penulis yang bergabung di Tim Penulis Inti NarasiPost.Com dan sering memenangkan berbagai challenge bergengi yang diselenggarakan oleh NarasiPost.Com. Penulis buku solo Rempaka Literasiku dan beberapa buku Antologi dari NarasiPost Media Publisher
Previous
Fakta Miris Negeri Agraris, Bahan Pokok Kian Naik Tiap Akhir Tahun
Next
Menghadapi Resesi, Tidak Cukup Gotong Royong
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram