”Sungguh menyedihkan, mahalnya biaya kesehatan di negeri ini, ternyata belum mampu menyejahterakan para tenaga kesehatan secara menyeluruh. Penanganan kesehatan di negeri kapitalis tidak pernah lepas dari unsur bisnis dan korporasi.”
Oleh. Muthiah Al Fath
(Tim Penulis Inti NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Isu kesejahteraan tenaga honorer di negeri ini merupakan masalah yang tak kunjung menemui titik cerah. Cita-cita tenaga kesehatan honorer akan adanya persamaan hak profesi, faktanya sering diabaikan pemerintah. Harapan demi harapan tentang adanya perubahan kebijakan dari pemerintah, tampaknya hanya sekadar janji-janji. Pemerintahan silih berganti, namun tuntutan dari tenaga honorer masih belum juga terealisasi.
Kali ini, massa yang tergabung dalam FKHN (Forum Komunikasi Honorer Nakes dan Non-Nakes) menggelar demo di kawasan Patung Kuda, Jakarta Pusat. Mereka menuntut janji pemerintah untuk mengangkat tenaga kesehatan honorer menjadi ASN (Aparatur Sipil Negara). (CNN Indonesia, 22/09/2022)
Padahal sebelumnya, Menkes Budi Gunadi Sadikin mengungkapkan akan mengangkat tenaga kesehatan (nakes) honorer menjadi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK). Dengan adanya kebijakan ini, diharapkan sekitar 200 ribu non-ASN dapat beralih menjadi PPPK, pada 2022 dan 2023 nanti. (Liputan6.com, 30-04-2022)
Bagi para nakes, pernyataan Menkes tersebut menjadi harapan baru agar hak-hak atas profesi mereka diapresiasi dan diakui oleh negara. Tentu saja, publik sangat mendukung kebijakan tersebut, sebab kesejahteraan tenaga kesehatan akan berimbas pada baiknya kualitas pelayanan kesehatan. Lantas, apakah kebijakan tersebut mampu untuk menyejahterakan para tenaga honorer nantinya ataukah hanya sekadar wacana dari pemerintah? Mengingat problem kesejahteraan tenaga kesehatan honorer karena ketidakmampuan sistem kapitalisme yang diterapkan negara saat ini. Akibatnya, negara lepas tangan dari kewajibannya sebagai pengurus rakyat.
Curahan Hati para Demonstran
Salah satu demonstran bernama Hetta (44), mengaku telah bekerja selama 14 tahun, sejak dirinya digaji Rp150 ribu per bulan. Sejak saat itu hingga kini, ia mengaku tidak mengalami perubahan signifikan dalam hal kesejahteraan. Meskipun beragam hal telah dilakukan, termasuk sering mengikuti aksi demo seperti saat ini.
Para demonstran menilai, pemerintah tidak berkaca dengan peristiwa pandemi Covid-19 kemarin. Di mana tenaga kesehatan menanggung risiko tinggi selama menangani pandemi kemarin. Mereka menjadi salah satu yang harus berhadapan langsung dengan pasien terpapar wabah di tengah keterbatasan fasilitas dan sumber daya manusia.
Waktu pandemi, negara begitu mengelu-elukan para nakes sebagai garda terdepan. Namun, ketika pandemi berakhir, para nakes kembali tidak dianggap. Hingga kini, mereka mengaku belum mendapatkan apresiasi yang setimpal dengan pekerjaannya. Melainkan hanya menerima janji yang tak kunjung dipenuhi. Pemerintah masih tidak memerhatikan kerisauan akan kesejahteraan nakes dan non-nakes honorer di negeri ini. Padahal, kemarin banyak para nakes yang gugur saat menangani pasien Covid-19. (CNN Indonesia, 22/09/2022)
Nestapa Tenaga Kesehatan Honorer
Berawal dari biaya pendidikan yang mahal, namun setelah lulus tidak ada jaminan kesejahteraan bagi mereka. Tidak bisa dimungkiri, banyaknya tenaga honorer karena sebelumnya mereka kesusahan mendapat pekerjaan yang layak dan gagal saat melakukan seleksi menjadi PNS. Padahal, peran dan kontribusi tenaga honorer tak ada bedanya dengan tenaga yang berstatus ASN maupun PPPK. Beban dan tanggung jawab mereka sama, namun perbedaan status dan gaji sangat kontras. Bukan diapresiasi, negara justru tega memberi gaji yang begitu minim dengan nasib yang tidak jelas.
Tenaga kesehatan honorer banyak menyumbang keberhasilan program kesehatan karena jumlah mereka lebih dominan. Banyaknya tenaga kesehatan honorer di tengah kondisi keuangan negara yang sedang terpuruk, jelas akan membebani dan menjadi persoalan baru ke depannya. Apalagi jika keuangan negara banyak dikorupsi akibat tidak adanya hukum jera bagi pelaku KKN. Makanya jangan heran, meskipun rakyat rutin membayar iuran BPJS, pajak, dan membayar mahal biaya kesehatan, sampai sekarang masih ada tenaga kesehatan honorer yang bekerja sukarela dan digaji seadanya.
Kekhawatiran pun semakin bertambah sebab pemerintah akan menghapus tenaga honorer di semua instansi pemerintahan mulai tahun 2023 nanti. Hal tersebut tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 48 Tahun 2005. Minimnya lapangan kerja, gaji pekerja yang pas-pasan, mahalnya biaya hidup, serta tingginya pajak, adalah kenyataan pahit yang dihadapi rakyat saat ini. Entah di mana lagi rakyat harus mengais rezeki untuk menyambung hidup usai lulus dari pendidikannya. Kebijakan zalim seolah mudah sekali terlontar dari para pemangku kebijakan, begitu pun janji manisnya, mudah sekali untuk mereka langgar.
Buah Penerapan Sistem Kapitalisme
Beginilah jika aturan negara dibuat oleh pemikiran dan syahwat manusia. Kekayaan alam yang sejatinya milik bangsa, justru habis dijarah korporasi. Banyaknya SDA di negeri ini, seharusnya rakyat tak layak mengalami krisis ekonomi. Alih-alih ingin menyejahterakan rakyat, kenyataannya rezim hanya mengobral janji manis yang tak kunjung terealisasi.
Sungguh menyedihkan, mahalnya biaya kesehatan di negeri ini, ternyata belum mampu menyejahterakan para tenaga kesehatan secara menyeluruh. Penanganan kesehatan di negeri kapitalis tidak pernah lepas dari unsur bisnis dan korporasi. Pemerintah yang seharusnya menjadi penjamin utama kesehatan dan kesejahteraan rakyatnya, malah tak tampak nyata berperan.
Negara membutuhkan sistem kesehatan terbaik yang mengharuskan pemimpin untuk melayani rakyatnya dengan sepenuh hati. Sebab, jauhnya kesejahteraan tenaga kesehatan honorer dan rakyat akibat penguasa bertindak sebagai pedagang dalam mengurusi rakyatnya. Negara senantiasa menghitung untung rugi saat dihadapkan dengan urusan umat. Bahkan, dalam perkara kebutuhan pokok yang menjadi dasar kesejahteraan rakyatnya. Alhasil, urusan pendidikan, kesehatan, keamanan, bahkan urusan jaminan pangan dan sandang, semua harus dibayar mahal oleh rakyat.
Sistem Kesehatan Islam
Sekiranya kekuasaan tegak di atas paradigma Islam, maka seorang pemimpin akan bertanggung jawab penuh terhadap kesejahteraan rakyatnya. Sebab, Islam menetapkan seorang pemimpin sebagai pengurus dan penjaga umat dalam urusan dunia dan akhirat. Sebagaimana Rasulullah Muhammad saw. bersabda, “Pemimpin yang mengatur urusan manusia (khalifah/imam) adalah pengurus rakyat dan dia bertanggung jawab atas rakyat yang dia urus. (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Semua kekayaan alam akan dikelola sesuai syariat, sehingga akan membawa kebaikan. Dari pengelolaan dan penyaluran yang benar akan memudahkan umat untuk mengakses semua kebutuhan dasarnya. Oleh karena itu, pengadaan layanan, sarana dan prasarana kesehatan wajib senantiasa diupayakan oleh negara.
Berawal dari pendidikan yang berkualitas dan gratis, maka lahirlah para dokter dan tenaga kesehatan dengan jumlah memadai dan berkompetensi. Mereka akan ditempatkan pada institusi-institusi pelayanan kesehatan Khilafah sesuai kapasitasnya dan digaji secara layak.
Di dalam Daulah, para tenaga kesehatan tidak dibedakan antara yang honorer dan ASN seperti sistem saat ini. Semua tenaga kesehatan, termasuk nakes adalah profesi mulia di dalam Islam. Bagaimana tidak, selain mengorbankan waktu, tenaga dan pikiran, terkadang mereka harus mempertaruhkan nyawa demi keselamatan pasien. Sebagaimana Rasulullah Muhammad saw. bersabda, “Berikan kepada seorang pekerja upahnya sebelum keringatnya kering.” (HR. Ibnu Majah)
Misalnya, pada masa kekhalifahan Turki Utsmani, seorang residen yang berjaga di rumah sakit dan hanya bekerja dua hari dua malam dalam seminggu saja, memperoleh gaji sekitar 300 dirham per bulan. Bayangkan, bagaimana besaran gaji para dokter dan tenaga medis lainnya, tentu saja akan lebih besar. Semua ini karena khalifah membangun rumah sakit sebagai bentuk kepeduliannya terhadap rakyat dan juga merupakan bentuk ketaatannya terhadap syariat Allah Swt..
Dalam The Story of Civilization, Will Durant menyatakan, “Islam telah menjamin seluruh dunia dalam menyiapkan berbagai rumah sakit yang layak sekaligus memenuhi keperluannya.” Misalnya, pada tahun 1160, Nuruddin membangun Bimaristan di Damaskus, untuk merawat orang-orang sakit tanpa bayaran dengan menyediakan obat-obatan gratis. Para sejarawan menyatakan bahwa cahayanya tidak pernah padam dan tetap bersinar selama 267 tahun.
Begitu luar biasa penghargaan dan perhatian syariat Islam terhadap kesehatan dan kesejahteraan umat. Semua itu karena nyawa manusia begitu berharga di mata syariat. Alhasil, kesehatan tidak dianggap sebagai komoditas yang diperjualbelikan atau dikomersialkan, seperti halnya paradigma kapitalisme. Islam menganggap kesehatan adalah tanggung jawab negara dan bagian dari amal jariah.
Selain itu, tidak optimalnya layanan kesehatan akan mendatangkan bahaya (dharar) bagi masyarakat. Sedangkan dharar wajib dihilangkan, sebagaimana Nabi Muhammad saw. bersabda, “Tidak boleh membahayakan orang lain dan diri sendiri.” (HR. Malik)
Khatimah
Adanya aksi demo menjadi bukti bahwa tenaga kesehatan honorer di negara demokrasi masih jauh dari kata sejahtera. Sungguh menyedihkan, tenaga kesehatan yang memberikan pelayanan kesehatan terhadap masyarakat tidak mendapat apresiasi yang pantas dari negara. Semua ini akibat negara tidak bertindak sebagai pelayan rakyat, sehingga kebijakan yang dibuat tidak pernah mempertimbangkan kemaslahatan hidup rakyatnya. Selain itu, kesehatan tidak pernah dianggap sebagai kebutuhan pokok dalam negara demokrasi. Alhasil, kesenjangan sosial tenaga honorer masih terus mewarnai negeri ini.
Sebaliknya, dalam konsep sistem kesehatan Islam, pelayanan kesehatan diberikan secara gratis, profesional, dan tidak menuntut ’kembalinya uang’. Khilafah akan mengurus kebutuhan warganya (baik muslim maupun nonmuslim) dengan memastikan hidup mereka mendapat jaminan makanan, tempat tinggal, kesehatan, pendidikan, dan keamanan. Inilah yang seharusnya kembali diperjuangkan umat muslim saat ini. Sejatinya, hanya kembali kepada penerapan syariat Islam kaffah yang dapat mewujudkan kesejahteraan rakyat. Wallahu a’lam bishowab.[]
Photo : Canva