"Tak dimungkiri, politik uang harus dilakukan dalam sistem demokrasi. Hal ini karena tujuan kontestasi sendiri untuk mendapatkan kekuasaan. Namun, setelah menjabat, kekuasaannya digunakan untuk mendapatkan uang dan kemewahan. Layaknya lingkaran setan yang tak bisa dilepaskan."
Oleh. Erdiya Indrarini
(Kontributor NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Politik uang dalam sistem demokrasi mustahil dihindari. Ia telah menjadi penyakit bawaan. Pesta demokrasi tak lebih sebagai ajang jual beli kursi bagi para pemburu kekuasaan. Lalu, akankah dipertahankan? Sistem apakah yang mampu mengobati?
Presiden Joko Widodo atau Jokowi mengatakan bahwa politik uang sudah menjadi penyakit di setiap pemilu. Pernyataan itu ia sampaikan dalam acara Konsolidasi Nasional Bawaslu di Jakarta, Sabtu, 17 Desember 2022. Pengakuan ini disampaikan Jokowi karena pengalamannya bertarung di pemilihan Wali Kota Solo, pemilihan gubernur, hingga pemilihan presiden.https://narasipost.com/2022/04/18/anggaran-pemilu-bernilai-fantastis-akankah-rakyat-kembali-meringis/opini/
Sebenarnya aturan sudah diperketat, namun praktiknya tetap terjadi politik uang. Mereka yang terkena sanksi pun sangat sedikit. "Jika dibiarkan lama-lama, rusak demokrasi kita," kata Jokowi. Untuk itu, Jokowi meminta Bawaslu untuk meningkatkan pengawasan. (tempo.co, 21/12/2022)
Senada dengan Jokowi, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD juga pernah mengatakan bahwa, praktik politik uang atau money politic akan tetap ada, baik dalam sistem pemilihan umum langsung atau tidak langsung. Ia menjelaskan bahwa kalau pilihan langsung itu money politic-nya eceran, bayar ke rakyat pakai amplop satu per satu. Tapi kalau lewat DPRD itu borongan, kita bayar ke partai, selesai. Pernyataan ini ia sampaikan pada acara diskusi daring "Pilkada dan Konsolidasi Demokrasi Lokal tahun 2020. (Compas.com 5/9/2020)
Suara Terbanyak Menjadikan Uang Bertindak
Sistem pemilihan dalam demokrasi mensyaratkan bahwa kemenangan berdasarkan suara terbanyak. Maka, agar menang mendapat suara terbanyak, para calon akan berkampanye besar-besaran. Mereka mesti melakukan segala macam cara agar dikenal dan mendapat simpati dari rakyat. Untuk itu, mereka harus siap menggelontorkan dana yang tak terkira banyaknya. Seperti untuk membayar iklan/spanduk, media masa, tim sukses, tim survei, buser, juga saksi saat pemungutan suara berlangsung. Serta pemberian uang untuk serangan fajar, sembako, suvenir, dan lain-lain. Bahkan mereka akan mengobral janji-janji demi memenangkan kursi. Praktik politik uang alias money politic ini sudah menjadi cacat bawaan sistem demokrasi.
Fakta membuktikan bahwa fenomena politik uang seperti ini selalu terjadi setiap pemilihan pemimpin dalam sistem demokrasi, baik di tingkat daerah ataupun pusat. Hal ini karena demokrasi merupakan anak kandung dari ideologi kapitalisme. Sedangkan ideologi kapitalisme menjadikan manfaat sebagai landasannya, dan keuntungan materi sebagai barometernya. Sehingga praktik uang seperti ini menjadi syarat yang harus dijalani. Terkait hal itu, busuknya politik uang juga dampak dari ketentuan bahwa yang mendapatkan suara terbanyak, dialah pemenangnya. Padahal, Allah Swt. telah memperingatkan untuk tidak mengikuti suara terbanyak. sebagaimana dalam firman-Nya :
"Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah)." (QS. Al-An'am: 116)
Mahalnya Mahar yang Harus Dibayar
Untuk mengikuti kontestasi demokrasi, kontestan harus memberi mahar yang besar. Mahalnya mahar ini tentu mustahil ditopang dengan biaya pribadi. Maka, para pemburu kekuasaan itu akan menggandeng donatur, baik cukong, oligarki, juga dari asing. Semua dana yang ia dapatkan tentu tidak gratis, ada kesepakatan yang harus dibayar setelah sang calon duduk di kursi kekuasaan. Mereka harus mengembalikan modal yang sudah digelontorkan untuk biaya pencalonannya. Jika tidak dibayar secara langsung, maka akan dibayar dengan memberikan proyek-proyek kepada para pemodal. Jika perlu, akan dibuat kebijakan maupun peraturan perundang-undangan yang menguntungkan para pemodal tadi.
Oleh karenanya, jangan berharap pemilihan dengan sistem demokrasi ini mendapatkan pemimpin yang terbaik dan amanah. Karena yang akan menang adalah mereka yang mendapat suara terbanyak dengan dukungan pemodal terbanyak pula. Akibatnya, setelah kursi singgasana didapat, pemimpin hanya menjadi boneka pajangan semata. Karena yang sejatinya berkuasa adalah para pemilik modal. Semua kebijakan dan aturan akan berpihak pada pemodal, baik swasta maupun asing. Selama pemilihan pemimpin masih menggunakan sistem demokrasi yang niscaya kan adanya money politic, maka negara tak akan pernah mandiri dan berdaulat. Hal ini karena negara tak bisa lepas dari intervensi swasta maupun asing. Negara justru menjadi sasaran empuk bagi para imperialis asing.
Dampak Politik Uang
Slogan "dari rakyat, untuk rakyat" ternyata hanya tipu muslihat. Karena faktanya adalah dari pemodal untuk pemodal. Penguasa tidak lagi peduli akan tugasnya mengurus urusan rakyatnya. Ia hanya fokus melayani segelintir elite yang telah memberikan modal dana. Sebagaimana tempat asal demokrasi adalah ideologi kapitalisme. Maka negara hanya mengurusi para pemilik kapital alias pemodal saja. Baik modal berupa kekayaan uang, jabatan, maupun ketenaran. Tak heran, ketika sebuah kebijakan untuk rakyat bertentangan dengan pemilik modal, maka penguasa dengan zalim dan tega akan berpihak pada pemilik modal. Bukan pada kepentingan rakyat.https://narasipost.com/2022/08/17/pemilu-benarkah-solusi-masalah-bangsa/opini/
Hal ini tercermin bagaimana pemerintah bersepakat dengan DPR dalam mengeluarkan UU Omnibus Low, yaitu Undang-undang sapu jagat yang bisa mengganti, menghapus, ataupun mengubah UU yang ada. Seperti UU Cipta Kerja yang sangat merugikan para pekerja. Walaupun para pekerja telah mati-matian menolak, namun pemerintah tak bergeming. Mereka lebih membela kepentingan para investor dari pada rakyatnya. Begitu pun UU minerba dan UU IKN, walau rakyat menentang, tetap saja melenggang.
Oleh karenanya, umat harus menyadari betapa bobroknya sistem demokrasi. Ia merupakan sistem pemerintahan dari ideologi kapitalisme buatan Barat. Terlebih, sistem ini mensyaratkan adanya asas sekularisme, yaitu pemisahan aturan agama dari kehidupan, seperti dalam berekonomi, berpolitik, dan lainnya. Sehingga tak kenal halal haram dalam setiap kebijakan. Apalagi banyaknya uang yang telah dikeluarkan, akan menggiring penguasa untuk korup demi mengembalikan modal saat kampanye. Sementara, rakyat hanya diperalat, dimanfaatkan saat pencoblosan demi melegalkan kursi kekuasaan. Pemimpin yang terpilih pun bukan karena kualitas, tapi karena membeli suara rakyat. Maka patutkah sistem demokrasi yang kental dengan politik uang ini dipertahankan ?
Tujuan Kontestasi dalam Demokrasi
Tak dimungkiri, politik uang harus dilakukan dalam sistem demokrasi. Hal ini karena tujuan kontestasi sendiri untuk mendapatkan kekuasaan. Namun, setelah menjabat, kekuasaannya digunakan untuk mendapatkan uang dan kemewahan. Layaknya lingkaran setan yang tak bisa dilepaskan. Uang dipakai untuk mendapatkan kekuasaan, dan kekuasaan untuk mendapatkan uang. Karena itu, para kandidat seolah membabi buta, segala cara pun ia lakukan, walau harus saling sikut. Hasilnya, kursi kekuasaan hanya dipenuhi oleh para pekerja yang mencari materi. Baik berupa harta, kesenangan, maupun kedudukan yang mewah. Bukan diisi oleh orang-orang amanah, yang berjuang untuk kesejahteraan rakyat. Itulah kenyataan politik ala demokrasi. Wajar, publik mengatakan bahwa politik dalam sistem demokrasi itu kejam.
Padahal, sejatinya aktivitas politik sangat penting. Karena, hakikatnya politik adalah pengurusan urusan rakyat berdasarkan kebenaran dan keadilan. Rasulullah saw. telah mengajarkan kita semua, bagaimana mengubah peradaban jahiliah menjadi peradaban Islam yang mulia, yaitu dengan aktivitas politik. Oleh kerenanya, memperjuangkan politik Islam merupakan kewajiban bagi setiap muslim. Karena jika kaum muslimin tidak berpolitik, maka politik dan kekuasaan akan diisi oleh orang-orang yang anti dengan Islam.
Pemilihan Pemimpin dalam Sistem Islam
Pemilihan pemimpin dalam demokrasi yang sarat dengan money politic, sangat berbeda dengan pemilihan dalam sistem Islam. Pemilu dalam Islam bertujuan untuk mengetahui calon yang dikehendaki rakyat. Batas kekosongan pemimpin ditetapkan hanya maksimal 3 hari saja. Sehingga tidak perlu ada kampanye akbar yang hanya menghamburkan uang dalam jumlah besar. Hal mendasar dalam pengangkatan kepala negara adalah dengan bai'at, yaitu perjanjian umat untuk menaati kepala negara, yakni kepala negara yang berkomitmen untuk mengamalkan kitabullah dan As-sunnah.
Sehubungan dengan itu, landasan pemilihan pemimpin atau pejabat dalam sistem Islam adalah sebagai pemelihara seluruh urusan rakyat, baik muslim maupun nonmuslim. Dalam memimpin, ia akan menjalankan segala urusan berdasarkan ketentuan-ketentuan syariat yang sangat spesifik sesuai Al-Qur'an dan Al-hadis. Rakyat memilih kepala negara dan para wakilnya di majelis umat. Majelis umat sendiri merupakan institusi yang bertugas menyampaikan aspirasi rakyat serta mengontrol pelaksanaan pemerintahan.
Sistem Islam meniscayakan pemilu dengan biaya yang minimalis, efisien, dan efektif. Hal ini karena kepala daerah seperti wali atau pemimpin setingkat gubernur, maupun amil yaitu kepala daerah setingkat bupati, mereka dipilih langsung oleh kepala negara. Jadi, tidak ada pemilihan kepala daerah sebagaimana pilkada. Dengan sistem seperti ini, tentu sangat hemat biaya. Apalagi, masa tugas kepala negara adalah seumur hidup selama tidak melanggar syarak dalam kepemimpinannya. Karena jika hal ini terjadi, maka jabatan sebagai kepala negara akan dicopot.
Sistem Pemilihan Pemimpin Terbaik
Dari sini bisa kita lihat bahwa metode pemilihan pemimpin yang terbaik adalah dengan sistem Islam. Wajar, karena sistem Islam berasal dari Ilahi, Allah Swt.. Di samping berbiaya murah, juga praktis dan sesuai syariat. Dengan metode Islam ini, akan mencegah adanya praktik politik uang atau money ppolitic Hal yang esensial adalah bahwa kepala daerah dipilih karena ketakwaan dan kemampuannya sebagai pembantu kepala negara dalam menjalankan tugas pemerintahan sesuai hukum syarak. Jadi bukan diangkat karena suara terbanyak hasil kekuatan modal, juga bukan dari keturunan atau kerabat oligarki yang penuh dengan kebusukan. Oleh sebab itu, bertahan dengan sistem demokrasi sama saja dengan mempertahankan ketidakadilan bagi semua penduduk negeri.
Wallahua'lam bisshowab[]