"Kaum ibu diarahkan sedemikian rupa untuk meningkatkan perekonomian keluarga dan juga negara. Tipu daya ini pada akhirnya melenakan perempuan dari tujuan mulia yang sesungguhnya, yaitu sebagai pendidik calon generasi pemimpin masa depan."
Oleh. Hesti Andyra
(Kontributor NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Tanggal 22 Desember diperingati setiap tahun sebagai Hari Ibu Nasional berdasarkan keputusan Presiden Soekarno melalui melalui Dekrit Presiden No. 316 tahun 1959. Pada awal berdirinya, peringatan ini ditujukan sebagai apresiasi terhadap kontribusi para pejuang wanita dalam proses perjuangan kemerdekaan Indonesia. Beberapa pejuang wanita tersebut antara lain, Tjut Nyak Dien, R.A Kartini, Dewi Sartika, Laksamana Malahayati, Martha Christina Tiahahu, dan masih banyak lagi. Keberadaan para pejuang wanita ini membuktikan kiprah perjuangan wanita yang sesungguhnya, yaitu mengusir penjajah demi menyelamatkan generasi muda dari cengkeraman politik westernisasi dan kristenisasi penjajah.
Pada Peringatan Hari Ibu (PHI) ke-94 tahun 2022, pemerintah menetapkan tema utama dan beberapa sub-sub tema peringatan yang semuanya mengarah pada satu tujuan tertentu, yaitu pemberdayaan ekonomi perempuan, khususnya kaum ibu. Dengan menyoroti kehidupan perempuan dari berbagai aspek, diharapkan perempuan Indonesia ke depannya dapat berperan lebih dalam bidang kewirausahaan, melek digital ekonomi, cakap bersaing dalam kepemimpinan politik, sehingga mampu menjadi perempuan berdaya yang terlindungi dari kekerasan domestik.
Dalam sistem hidup yang menomorsatukan asas manfaat dalam segala aspek kehidupan, cita-cita yang luhur akan “pemberdayaan perempuan”, pada akhirnya hanya bermuara pada tujuan ekonomi semata. Dengan peran perempuan sebagai wirausahawati, ataupun dalam politik kepemimpinan, tak lain dan tak bukan hanya menjadi roda penggerak ekonomi, sebagai pangsa pasar hasil industri kaum kapitalis.
Alhasil slogan “Perempuan Berdaya” yang didengungkan selama ini, tak ubahnya hanya tipu daya. Tak lebih dari eksploitasi perempuan dalam hal ekonomi. Kaum ibu diarahkan sedemikian rupa untuk meningkatkan perekonomian keluarga dan juga negara. Tipu daya ini pada akhirnya melenakan perempuan dari tujuan mulia yang sesungguhnya, yaitu sebagai pendidik calon generasi pemimpin masa depan.
Allah Swt. menciptakan fisik yang berbeda antara laki-laki dan perempuan. Karenanya, Allah Swt. juga mengatur perbedaan di antara keduanya, dalam bidang pendidikan dan muamalah. Sistem syariat Islam menempatkan perempuan dalam posisi yang layak dan dihormati. Syariat juga mengatur perkara yang khusus bagi perempuan, dan membolehkannya bekerja sama dengan pria dalam perkara lain.
Dalam bidang ekonomi perempuan diizinkan untuk memiliki atau mengembangkan harta melalui perdagangan, industri, atau pertanian. Sebagaimana yang termaktub dalam salah satu hadis Rasulullah saw. Dari Râfi‘ ibn Rifâ‘ah, ia menuturkan: “Rasulullah saw. telah melarang kami dari apa yang diusahakan pelayan perempuan, kecuali apa yang dihasilkan oleh kedua tangannya. Rafi’ berkata, “Yang dikerjakan tangannya misalnya adalah membuat roti, mencuci, dan memahat.” (HR. Ahmad dan al-Hakim)
Islam juga membolehkan perempuan menjadi pejabat negara dalam urusan pendidikan, pengadilan, dan kedokteran. Umar bin Khattab pernah mengangkat Asy Syifa binti Abdullah al Makhzumiyah sebagai seorang qadhi di sebuah pasar di Madinah.
Karimah binti Ahmad bin Muhammad bin Hatim al Marwaziyyah adalah seorang wanita muslimah pertama yang mempelajari kitab Sahih al-Bukhari. Ia dikenal luas sebagai muhadis, ahli hadis yang teliti dan cermat. Beliau telah membuat karya tulis sebanyak 100 kitab tentang ilmu hadis.
Samra’ binti Nuhaik pernah diamanahi pekerjaan sebagai syurthah (petugas keamanan) di pasar-pasar. Disebutkan dalam riwayat Imam Thabrani bahwa Samra’ mengenakan jilbab dan khimar tebal, menertibkan para pedagang dan pembeli di pasar sambil membawa alat pukul di tangannya. (muhammadyah.or.id)
Wanita-wanita tersebut di atas hanya tiga dari ribuan bahkan jutaan wanita berdaya yang sesungguhnya. Sejak Islam diturunkan, tidak ada larangan bagi wanita untuk bekerja ataupun menuntut ilmu, selama mengikuti rambu-rambu yang diatur syariat.
Allah Swt. memberikan keistimewaan fisik untuk wanita berupa rahim, yang darinya generasi Islam berikutnya dilahirkan. Dengan keistimewaan ini seorang wanita mendapat tugas khusus nan mulia untuk melahirkan, mendidik anak-anaknya, serta mengurus rumah tangga. Sebagaimana yang tercantum dalam Kitab al-Mawsu'at al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah. (republika.co.id)
Rasulullah saw. bersabda, "Perempuan itu mengatur dan bertanggung jawab atas urusan rumah suaminya." (HR. Bukhari)
Dari hadis ini bisa disimpulkan bahwa, seorang wanita tidak dituntut untuk memenuhi kebutuhan hidup dan keluarganya. Karena, hal tersebut merupakan kewajiban ayah atau suaminya. Permasalahan terjadi ketika di era modern syariat Islam tidak lagi diterapkan. Peran negara sebagai periayah urusan umat tidak berjalan baik. Umat dipaksa berjibaku memenuhi kebutuhan hidupnya, tanpa ada keringanan dari negara.
Harga berbagai kebutuhan pokok melambung tinggi, biaya fasilitas pendidikan dan kesehatan makin melangit, kejahatan pun merajalela. Semua problematik ini berakar pada minimnya peran ibu sebagai madrasah pertama anak-anaknya. Ibu yang terpaksa bekerja akhirnya kekurangan waktu untuk mengasuh dan mendidik buah hati. Alhasil, generasi yang dihasilkan pun tak lepas dari berbagai masalah.
Jika ingin mencetak generasi emas seperti di masa Daulah Islam, maka peran Ibu perlu dikembalikan sesuai fitrahnya. Pemberdayaan sebagai ibu generasi pastinya membutuhkan sistem pendukung, yang tidak bisa dilepaskan dari campur tangan negara, dalam semua sistem kehidupan. Dengan negara yang menerapkan aturan-aturan Islam, seorang ibu bisa kembali fokus dalam mengemban amanahnya, tanpa dibebani dengan kewajiban mencari nafkah.
Wallahu’alam bis-shawab[]