"Tak heran, jika suatu gelar bergengsi mudah didapat oleh orang-orang tertentu, demi popularitas untuk meraih, mendukung, dan mempertahankan suatu jabatan. Pada akhirnya, suatu gelar justru mencederai integritas pemerintah, lembaga negara, dan akademisi."
Oleh. Ikhtiyatoh, S.Sos
(Kontributor NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Pepatah ‘apalah arti sebuah nama’ sempat begitu populer sekian lama. Kisah drama Romeo & Juliet melatarbelakangi pepatah yang lengkapnya berbunyi, ‘What’s in a name? That which we call a rose by any other name would smell as sweet’. Dikatakan, meskipun kita menyebut mawar dengan nama lain, wanginya akan tetap harum. Pengarang kisah drama tersebut, William Shakespeare tampak mencoba mengajak pembaca untuk merenung, terpenting dari seseorang adalah sifat, karakter atau kualitasnya, bukan sekadar nama (marga.red).
Karakter seseorang bisa tampak dari pemikiran dan sikapnya. Sementara kualitas diri bisa ditunjukkan antara lain dengan gelar. Masih ingat, Mantan Presiden Megawati Soekarnoputri pernah menantang putrinya, Ketua DPR RI, Puan Maharani untuk menyaingi jumlah gelar yang diperolehnya. Hal itu disampaikan saat mendampingi Puan mendapat gelar Doktor Honoris Causa dari Pukyong National University (PKNU), Korea Selatan (7/11/2022). Megawati sendiri telah memperoleh 2 gelar profesor kehormatan dan 9 gelar Doktor Honoris Causa.
Bukan Karena Prestasi?
Sayangnya, suatu gelar yang tampak bergengsi sering tak menunjukkan kualitas diri atau ‘prestasi’ yang sesungguhnya. Deretan gelar yang muncul, sering tidak berkorelasi dengan prestasi yang berbasis kompetisi. Pada akhirnya, pemberian gelar bukan menciptakan kebanggaan terhadap anak bangsa, tapi justru menciptakan sinisme hingga muncul berbagai kritik dan kontroversi.
Ada sejumlah gelar yang disorot masyarakat di tahun 2022, di antaranya :
Pertama, gelar pangkat Letnan Kolonel Tituler Angkatan Darat kepada YouTuber Deddy Corbuzier oleh Kementerian Pertahanan. Publik pun heboh mempertanyakan alasan pemberian gelar tersebut. Dikutip dari laman Kompas.com (11-12-2022), Juru Bicara Menteri Pertahanan, Dahnil Azhar mengatakan, gelar diberikan dengan pertimbangan Deddy memiliki kemampuan khusus yang dibutuhkan TNI saat ini, yaitu kapasitas komunikasi di media sosial. Dengan kemampuan tersebut, diharapkan mampu menyampaikan pesan-pesan kebangsaan.
Harapan tersebut terasa ironis. Mengingat, Podcast Deddy sering menciptakan kegaduhan. Deddy beberapa kali mengundang pasangan dan pegiat L6Bt+ hingga memancing kontroversi. Meski ada video yang akhirnya di takedown, tapi bagaimana mungkin pemerintah berharap Deddy mampu menyampaikan pesan kebangsaan? Kenapa tidak memilih sosok seperti Rocky Gerung atau Refly Harun yang selalu membahas masalah bangsa di kanal YouTube mereka?
Kedua, gelar Duta Kekayaan Intelektual Pelajar untuk Farel Prayoga dari Kementerian Hukum dan HAM. Hanya karena menyanyikan lagu ‘Ojo Dibandingke’ pada Upacara HUT RI ke-77 di Istana Negara, Farel mendapat gelar bergengsi tersebut. Berdasarkan KBBI, intelektual memiliki makna cerdas, berakal, dan berpikiran jernih berdasarkan ilmu pengetahuan. Lalu, sudah tepatkah sorang anak usia SD menyanyikan lagu cinta-cintaan mendapat gelar tersebut?
Lagi-lagi, terasa ironis. Ada banyak putra putri Indonesia yang berhasil mengharumkan nama bangsa dengan meraih medali emas, perunggu, dan perak, setelah berjuang mengikuti berbagai Olimpiade sains dan teknologi. Termasuk Afifah Fariha Rafasyahlia, siswi kelas 3 SD yang sukses meraih medali perunggu di tiga lomba matematika tingkat internasional.
Ketiga, obral gelar sejumlah kampus. Universitas Brawijaya, Malang dipenuhi papan bunga dan puluhan poster bernada protes atas penganugerahan Doktor Honoris Causa kepada Ketua Umum Partai Nasdem, Surya Paloh pada Juli lalu. Gelombang protes kembali terjadi di Universitas Negeri Semarang saat pemberian gelar Doktor Honoris Causa kepada KSP Moeldoko pada bulan Oktober 2022. Pemberian gelar kepada politikus dan pejabat oleh sejumlah universitas sudah dianggap menjadi barang obral yang kehilangan makna. Pemberian gelar tersebut dinilai tidak berdasar kontribusi, jasa, dan karya yang luar biasa.
Keempat, Duta Kejaksaan kepada Bonge Citayam Fashion Week (CFW) oleh Kejaksaan Agung RI. Tugas Bonge di antaranya, menyosialisasikan anak-anak di Taman Dukuh Atas untuk tidak melanggar aturan serta tidak membuang sampah sembarangan. Padahal, pagelaran busana CFW yang berlangsung di zebra cross jelas melanggar Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Ironis bukan?
Gelar untuk Menghukum?
Selama ini, istilah reward (penghargaan) selalu dibenturkan dengan punishment (hukuman). Pemberian reward atas prestasi, sementara punishment atas suatu pelanggaran. Gelar duta idealnya disandang oleh seseorang yang memiliki prestasi di bidang terkait, sebagai bentuk penghargaan. Tapi dalam perkembangannya, gelar duta justru diberikan kepada seorang yang melanggar aturan.
Seperti, artis Zaskia Gotik yang didaulat menjadi Duta Pancasila, setelah viral menghina dasar negara (2016). Dewi Persik juga sempat ditunjuk menjadi Duta Keselamatan Lalu Lintas setelah heboh menerobos jalur busway. Kalangan artis sulit dipisahkan dari hedonisme, dugem, dan narkoba, tetapi justru sering didapuk menjadi Duta Antinarkoba. Tak heran, Duta Antinarkoba Vicky Nitinegoro, Roro Fitria, serta Rizal Djibran justru tersandung kasus narkoba. Terbaru, Komisi Pemberantasan Korupsi hendak merekrut eks koruptor menjadi Duta Antikorupsi.
Pemberian gelar duta bagi pelanggar dianggap sebagai hukum restitutif, yaitu pengganti hukuman yang biasanya berupa sanksi denda, penjara, atau hukuman fisik. Pemberian gelar duta dinilai mampu memberi edukasi, sekaligus berfungsi untuk introspeksi diri para pelanggar. Sayangnya, harapan tersebut tak seindah kenyataan. Lihat saja, Roy Marten yang sempat ditunjuk dan melaksanakan tugas sebagai Duta Antinarkoba, tetapi kembali terjerat kasus narkoba. Pada akhirnya, pemberian gelar tak hanya mengabaikan prestasi, tapi juga kehilangan esensi.
Dunia yang Fana
Hidup di negara yang berlandaskan sekularisme, narasi atau kebijakan yang hadir lebih melihat keuntungan secara materi dan menghilangkan nilai ruhiyah. Tak heran, jika suatu gelar bergengsi mudah didapat oleh orang-orang tertentu, demi popularitas untuk meraih, mendukung, dan mempertahankan suatu jabatan. Pada akhirnya, suatu gelar justru mencederai integritas pemerintah, lembaga negara, dan akademisi. Mereka seolah tak tahu, bahwa apa yang diperbuat tak hanya akan disorot masyarakat, tapi juga memengaruhi tatanan kehidupan sosial.
Padahal, dunia ini begitu fana dan berlangsung hanya sekejap saja. Kesadaran bahwa seluruh alam semesta ini milik Pencipta, Allah Swt. akan membantu manusia mengendalikan diri dari kerakusan dan gemerlapnya dunia. Seperti apa pun kondisinya, ia akan bertahan di jalan-Nya. Adanya pemahaman akan tujuan hidup manusia, yaitu hanya untuk menghamba kepada Allah, maka ia tak perlu menghalalkan segala cara demi meraih sebuah tujuan atau kepentingan.
Kita teramat sering diingatkan dengan sebuah hadis riwayat Bukhari Muslim yang berbunyi, “Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang dipimpinnya”. Juga hadis riwayat Ibnu Hibban yang berbunyi, "Barangsiapa yang berbuat curang/menipu kepada kami (kaum muslim), maka ia bukan termasuk golongan kami”.
Akan tetapi, kondisi di mana manusia senantiasa memiliki kesadaran akan hubungannya dengan Pencipta dalam setiap tindakannya, hanya mampu terwujud dalam masyarakat islami. Suatu masyarakat yang diikat dengan pemikiran, perasaan, dan aturan yang sama, yaitu Islam. Kondisi tersebut bisa diraih tatkala syariat Islam diterapkan secara menyeluruh di segala sendi kehidupan.
Dalam kondisi demikian, individu manusia lebih tenteram. Tak perlu gelar bergengsi yang penuh ilusi. Karena, kebanggaan seseorang tidak lagi terletak pada sebuah gelar semata.
Wallahu’alam bish showab.[]