Bahwasanya Muslim Indonesia kala itu tetap mengarahkan pandangannya pada Khilafah. Bahkan mereka pun berusaha memperjuangkan tegaknya kembali, kata Mona Hassan. Padahal ketika itu Indonesia sedang di bawah tekanan penjajahan Belanda.
Judul Buku: Longing for The Lost Caliphate
Pengarang: Mona Hassan
Terbit pertama kali: 2016
Harga buku: Rp115.000,00 (soft cover)
Peresensi: Lulu Nugroho
NarasiPost.com - Buku ini sangat menarik, sebab memandang peristiwa runtuhnya khilafah melalui sudut pandang yang berbeda. Sejarah transregional yang terjadi di tengah kaum Muslim merupakan gambaran atas kejadian tak terduga hilangnya kekhilafan pada abad 13 Daulah Abasiyah dan 20 Daulah Utsmaniyah.
Maka yang menjadi pertanyaan besar pada buku ini adalah, apa yang dibayangkan oleh kaum Muslim saat 1258 dan 1924? Sangat menarik, karena Mona Hassan sendiri bukan aktivis pengusung ide khilafah. Ia hanya sejarawan yang melihat fakta secara obyektif.
Bagaimana kaum Muslim merespons atau recapture, kehilangan yang sangat dahsyat itu? Dan bagaimana mereka mendefinisikan ulang atau redefine, tentang makna khilafah pada kehidupan mereka?
Pada bab 1 ada visi dari khilafah yang hilang di tahun 1258 M pada Bani Abassiyah. Melalui manuskrip kuno dikisahkan tentang seseorang bernama Zahir al-Dín ibn al Kázarúní (611-97/1214-98). Dia adalah seorang sejarawan, penulis, matematikawan, hakim, ahli agrikultur, petugas publik.
Dia menjadi saksi kala itu ketika Mongol hanya membiarkan 17 orang saja yang mereka pilih secara acak untuk dibiarkan hidup menemani sang khalifah. Sedangkan sisanya, dibantai oleh tentara Mongol selama 40 hari. Hingga darah seolah tumpah di mana-mana.
Mona Hassan juga menjelaskan tentang tentang konsep Khilafah, bahwasanya hal tersebut adalah kewajiban hukum dan jamaah atau legal necessity and communal obligation. Ia mendapatkannya melalui nash-nash, rujukan syar'i, juga ijma sahabat.
Sebagaimana kita ketahui, setelah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wassalam wafat, maka mereka sepakat mengangkat Abu Bakar Radhiyallahu 'Anhu. Kemudian setelahnya ada para khalifah, berlanjut, tidak pernah kosong kepemimpinan atas kaum Muslim.
Bahkan Ibn Hisyam pun menyatakan hal yang serupa bahwa semua sunni, syiah, mu'tazilah dan khawarij sepakat untuk menegakkan imamah yang menerapkan hukum-hukum Allah. Begitu pula dengan Imam Qurtubi yang menyatakan bahwa tidak ada khilafiyah untuk mengangkat khalifah.
Pada kekalahan yang kedua, Turki Utsmani, Perang Dunia I melawan sekutu. Negeri-negeri Muslim yang lain pun berjibaku melawan penjajah. Muslim Afrika Utara dijajah Prancis dan Italia. Inggris menjajah India dan Mesir. Belanda menjajah Indonesia. Akan tetapi ada yang menarik dari buku ini, saat Mona Hassan menulis tentang Indonesia.
Bahwasanya Muslim Indonesia kala itu tetap mengarahkan pandangannya pada Khilafah. Bahkan mereka pun berusaha memperjuangkan tegaknya kembali, kata Mona Hassan. Padahal ketika itu Indonesia sedang di bawah tekanan penjajahan Belanda.
Bahkan tatkala Khilafah Turki Utsmani kalah dari sekutu, dan sekutu menduduki Istanbul, kaum Muslim Indonesia merespon hal tersebut dengan sangat berani. Mereka menyatakan bahwa ketika sekutu melawan Khilafah, maka pada saat itu melawan umat Islam di seluruh dunia. 'In acting against the caliph (the victors) were interfering with the entire Muslim world'
Hal tersebut ada di Buku 'Muslims of The Dutch East Indies and The Caliphate Question' halaman 264, tulisan van Bruinessen.
Bahkan pada 3 Maret 1924, Abdul Majid II diasingkan ke Le Grand Hotel di Switzerland, ia masih memiliki kharisma sebagai pemimpin negara adidaya. Sebab di tanggal 11 Maret, media internasional seperti Reuters, Havas, Wolf, Stephanie, berkunjung untuk mewawancarai Khalifah.
Muslim India dan Indonesia pun menyatakan kesedihannya yang mendalam atas runtuhnya kekhilafahan. Tidak cukup di situ, upaya-upaya Muslim Indonesia untuk terus mencari jalan terhadap penegakan khilafah sangat luar biasa. Berbagai ormas seperti Sarikat Islam, Muhammadiyah, membicarakan tentang kehadiran mereka di Konferensi Cairo.
Raden Oemar Said Tjokroaminoto (1882-1934) pidato dengan berapi-api menunjukkan betapa kaum Muslim sangat kehilangan Khilafah. Pada 1890-1929 Haji Fachrudin sebagai pemimpin Muhammadiyah menyarankan untuk membentuk komite khusus untuk mengirim delegasi ke Cairo.
Kemudian komite khusus inilah yang nantinya akan menyelenggarakan Kongres al Islam Hindia pada 12-16 Desember 1924 di Surabaya. Kala itu, semangat menegakkan khilafah masih menjadi cita-cita Muslim Indonesia. Tidak seperti sekarang, tatkala pemikiran umat terbelah akan ajaran Islam yang satu ini.
Fakta mengejutkan ditulis Mona Hassan di buku ini bahwa Nahdatul Ulama (NU) yang lahir pada Januari 1926, lahir untuk menjawab dilema yang muncul seputar Khilafah. Kyai Asnawi dari Kudus dan Kyiai Bisri Syansuri dari Jombang yang rencananya akan dikirim ke Cairo.
Epilog ditutup dengan pusaran harapan-harapan dan aspirasi religius. Banyak organisasi dan gerakan massa berdiri untuk memperjuangkan kebangkitan umat. Pertama Ikhwanul muslim disebut oleh penulis sebagai gerakan modernis, aspirasionis, dengan solusi bertahap terhadap permasalahan umat.
Kemudian ada gerakan lain yang ideologis, radikalis, dengan solusi inqilabiyah atau revolusioner, dan tanpa kekerasan, yaitu Hizbut tahrir, sebuah partai pembebas. Demokrasi, kapitalisme dan nasionalisme adalah halangan bagi penegakan khilafah, kata Mona Hassan. Tsumma takuunu khilafatan ala minhajin nubuwwah.