"Aku memacu motor dengan cepat. Jalan desa yang beraspal mulus meski tidak lebar membuatku sangat bersyukur. Harapan bisa menemui Mak Manini di saat terakhirnya lebih dekat pada kenyataan. Aku ingin menuntun nenek renta itu melafalkan Allah di ujung embusan napasnya."
Oleh. Haifa Eiman
Kontributor NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com- Dia seperti kabut:
datang dan pergi parak siang
Dia adalah cerita yang belum usai
Kututup mushaf kecil tatkala ponsel di atas nakas tidak berhenti bergetar. Tanganku bergerak mengambilnya.
Yuk Narti calling. Dia asisten rumah tangga di sini. Kebetulan hari ini izin karena suaminya sakit.
“Mak Manini, Mbak! Mak Manini sekarat. Dia manggil-manggil Puteri Dewi,” lapornya panik.
“Innalillah. Tapi saya bukan Puteri Dewi, Yuk.”
“Tapi tetap saja yang dimaksud kan Mbak Inggar.”
Intensitas pertemuanku dengan Mak Manini berbilang jari, tetapi mendengarnya dia kesakitan, aku tidak bisa berdiam diri. Setiap kali menatapnya, aku ingat eyang di Solo.
“Halo! Halo! Mbak? Mbak Inggar?” Yuk Narti teriak-teriak di ponselnya. Wanita usia tiga puluhan itu terabaikan di seberang sana.
“Iya, Yuk.”
Sembari melepas mukena, Yuk Narti memberikan alamat rumah Mak Manini. Ponsel kujepit di antara pundak dan telinga. Dengan posisi kepala miring ke kiri, tanganku meraih jilbab hitam dan kerudung abu-abu yang tergantung di balik pintu kamar.
Setelah mengirim pesan pada ibu, aku mengeluarkan motor matic merah yang berdebu layaknya terkena embusan abu vulkanik Raung. Tanpa memedulikannya, aku hanya mengusap joknya dengan telapak tangan kanan sebelum mendudukinya agar jilbab hitamku tetap bersih. Kuintip status bensin, Alhamdulillah aman. Begitu mesinnya menyala, kukemudikan sesuai alamat yang diberikan Yuk Narti.
Jujur. Meskipun tempat ini sangat asing, aku merasa aman. Ini bukan karena ayah sebagai camat di sini, tetapi jaminan Allah bagi siapa saja yang keluar rumah dengan tujuan silaturahmi, akan disertakannya tiga ribu malaikat. MasyaAllah. Apalagi yang perlu kukhawatirkan bila Allah yang memberi jaminan?
Keluar dari kompleks rumah dinas, aku belok kanan. Kira-kira lima puluh meter ada pertigaan, aku harus mengambil arah kiri, ke arah Desa Kemuning. Lepas dari pertigaan, jalan sedikit menurun lalu menanjak dan terus menanjak. Saujana di hadapanku Gunung Puteri. Sementara di kanan kiri, sawah dan ladang merana terpapar matahari. Tanah merah merekah tanpa tanaman. Pada sebagian petak, pucuk-pucuk tebu terkulai dan tomat berbuah keriting kecil. Matahari masih sepenggalah, tetapi panasnya mulai mengundang keringat. Hujan rupanya masih enggan menyapa tanah ini.
Aku memacu motor dengan cepat. Jalan desa yang beraspal mulus meski tidak lebar membuatku sangat bersyukur. Harapan bisa menemui Mak Manini di saat terakhirnya lebih dekat pada kenyataan. Aku ingin menuntun nenek renta itu melafalkan Allah di ujung embusan napasnya. Memikirkannya, dadaku terasa sesak. Aku mengenalnya untuk berpisah secepat ini. Setetes air jatuh tanpa permisi dari sudut mata. Lalu disusul tetesan lain hingga aliran air itu menghalangi pandangan.
Kubuka kaca helm, menghapusnya sekilas.
Ayahku mutasi ke kecamatan ini tiga bulan lalu. Saat itu, aku masih di Surabaya. Jadwal kuliah dan amanah dakwah membuatku tidak bisa izin pulang.
Hari pertama libur semester, pagi itu aku menyiram bunga di halaman. Di kejauhan, sekitar lima meter jaraknya, kulihat seorang nenek bungkuk dengan kebaya kutu baru putih lusuh, bawahannya kain sarung batik merah bercorak yang mulai pudar, dan seluruh rambutnya putih keperakan. Nenek tua itu berdiri mengamati bunga-bunga bermekaran. Wajahnya semringah. Disentuhnya helai demi helai mawar merah, kembang kantil, dan cempaka kuning. Dia berlama-lama menghidunya. Setelah dirasanya lega, dia bergeser pada rerimbun melati, merundukkan tubuh keringnya demi menghirup wanginya. Tak lupa dia memetiknya beberapa tangkai lalu diselipkannya di sanggul. Sekira setengah jam berlalu, tubuh bungkuknya tertatih meninggalkan pelataran kecamatan. Hari itu aku mengabaikannya. Kehadiran nenek renta itu tidak cukup menarik perhatianku untuk sekadar menyapanya.
Selang sehari kemudian, aku melihatnya lagi dengan tingkah polah yang sama. Pada pertemuan kedua itu, aku masih mengabaikannya. Di pertemuan ketiga, aku mulai mencari tahu namanya dari Yuk Narti. Katanya, nenek renta itu biasa dipanggil Mak Manini.
“Kenapa Mak Manini rutin ke taman bunga sini, Yuk?” tanyaku saat memasak bersama di dapur.
“Bukan di sini saja, Mbak. Di setiap tempat yang ada taman bunganya, pasti didatangi. Taman sekolah di SMP sebelah, taman di depan Puskesmas, depan Kantor Koramil semua didatangi. Kalau ada kembang telon, diambil. Kalau tidak ada, dia cuma lihat-lihat, duduk-duduk di teras seperti mengobrol lalu pulang.” logat Jawa Yuk Narti membuatku tersenyum.
“Oh, dia ada gangguan jiwa?” tanyaku kaget.
“Bukan, Mbak. Dia itu kerasukan roh inang pengasuh Puteri Dewi Nirmala. Penguasanya Gunung Puteri. Makanya yang dikunjunginya selalu taman bunga. Di Keputren kan banyak taman bunganya. Nah, karena kerasukan itu, jadinya ndak mati-mati. Hidup terus. Kasian, Mbak. Dia ndak pernah nikah, saudara-saudaranya sudah mati semua. Apa enaknya sebatang kara?”
Astaghfirullah. Kok bisa ada pemikiran begini?
“Mak Manini itu usianya mungkin sudah lebih dari seratus tahun, tapi dia tetap sehat. Dia kuat jalan kaki dari Desa Kemuning sampai sini, kadang sampai di Masabit. Itu karena jasadnya ditempati makhluk lain. Kalau orang biasa mana kuat, Mbak?”
“Dia kan sudah terbiasa, Yuk. Jalan kaki dua puluh empat kilometer, pulang pergi ya kuat. Mana ada jasad ditempati makhluk lain? Nggak adalah.”
“Kok ndak percaya sih, Mbak? Dia itu kerasukan roh inang pengasuh Puteri Dewi Nirmala, Mbak. Penguasanya Gunung Puteri,” ulangnya.
“Roh orang mati langsung diterima Allah, Yuk.” aku meluruskan pemahaman salah Yuk Narti. Bahaya kalau sampai berpikir arwah orang mati bisa bergentayangan dan menghuni raga orang lain, “Oya, satu lagi, selama namanya makhluk, maka dia akan mati. Suatu hari Mak Manini pasti mati. Kita hanya tunggu waktu saja.”
Setelah perdebatan panjang dengan Yuk Narti, esok lusanya aku berkesempatan bertemu Mak Manini lagi. Tanpa pikir panjang aku mengajaknya masuk. Di ruang tamu, dia memelukku erat. Dari lisannya berkali dia menyebut Puteri Dewi Nirmala. Aku meralatnya, tetapi dia bersikukuh. Bagaimana bisa? Apa yang sebenarnya terjadi di rentang hidupnya?
Kemarin lusa Allah pertemukan kami lagi, aku tidak bisa mengorek panjang lebar. Nenek tua itu membawakan kami sesisir pisang emas. Katanya itu buah kesukaan Puteri Dewi Nirmala. Dia memetikkan satu untukku, mengupasnya, lalu menyuapiku. Dia tepat di hadapanku dengan gigi tersisa dua di atas. Kulit penuh kerutan berlipat-lipat. Terus terang, aku agak merinding. Apalagi dari tubuhnya menguar wangi cempaka putih, kenanga, dan mawar putih. Inginku kabur, tapi Yuk Narti menahan tanganku.
Bluk! Lamunanku terputus. Sebutir kelapa kecil jatuh sekira satu meter di depanku. Aku menghentikan motor, melempar kelapa kecil itu ke tengah sawah kosong lalu menengadah mencari asalnya. Beberapa meter di atas kepala, tangkai-tangkai bunga kelapa gading berwarna kuning cerah menyeruak di antara selubung coklat yang melindungi rekah bunganya.
Aku mengulas senyum.
Manggar atau muninggar adalah bagian terindah dari sebatang kelapa yang kaya manfaat. Manungso iku kedah anggarwo itu akronim manggar kata eyang. Terjemahan bebasnya, manusia itu seharusnya menikah karena merupakan satu-satunya cara melestarikan keturunan dengan halal. Ah, saking mulianya tujuan pernikahan, prosesnya harus benar sesuai syariat. Tidak boleh mendekati zina. Tidak ada aktivitas pacaran-pacaran. Sampai di sini, betapa aku salut dengan cara ayah ibu memberiku nama Muninggar. Lengkapnya Muninggar Prasetyajati. Ah, perjalanan panjang ini membuatku melantur ke mana-mana.
Aku kembali menyalakan motor. Melaju pelan. Jalanan tidak lagi bersahabat. Aspal mengelupas menyisakan batu-batu runcing dengan tanah merah di sela-selanya. Astaghfirullah.
Berapa menit lagi aku sampai ke rumah Mak Manini dengan kondisi jalan seperti ini? Apa ayah tahu keberadaan jalan desa yang rusak? Jika tidak, apa saja yang dikerjakannya tiga bulan di sini?
Terus melaju meski ada rintangan adalah satu-satunya cara mendekati tujuan. Di kejauhan, di kanan jalan, kulihat beberapa orang berkerumun di halaman sebuah rumah. Ah, akhirnya aku bertemu juga dengan perkampungan. Aku bisa bertanya pada salah satu dari mereka, ternyata aku salah. Mereka sedang mengitari seekor sapi hitam berbadan besar. Di mana rumahmu, Mak?[]