”Bahkan, tidak hanya rawan sengketa pulau, prinsip liberalisasi pun meniscayakan adanya jual beli pulau secara legal yang difasilitasi oleh negara melalui UU.”
Oleh. Sartinah
(Tim Penulis Inti NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Sengketa gugusan pulau kembali mengemuka di negeri ini. Gugusan Pulau Pasir yang terletak di antara Laut Timor dengan perairan utara Australia tersebut, kini diperebutkan Australia dan masyarakat adat Laut Timor. Australia mengeklaim bahwa gugusan Pulau Pasir atau yang mereka sebut Ashmore Reef sebagai hak miliknya. Sementara, masyarakat adat Laut Timor menyatakan bahwa Pulau Pasir adalah bagian dari kepulauan milik Indonesia.
Lantas, siapa sejatinya pemilik Pulau Pasir jika dilihat berdasarkan hukum internasional ANCLOS 1982? Jika pulau tersebut milik Indonesia, mengapa kini diklaim Australia? Mengapa pula sebuah negara sangat mudah memiliki harta kepemilikan umum negara lain?
Klaim Sepihak
Sengketa gugusan Pulau Pasir di Nusa Tenggara Timur (NTT) kembali ramai diperbincangkan setelah masyarakat adat Laut Timor mengancam akan melakukan gugatan di Pengadilan Commonwealth di Canberra, jika Australia tidak segera meninggalkan Pulau Pasir. Hal tersebut sebagaimana diungkapkan oleh Pemegang Mandat Hak Ulayat Masyarakat Adat Laut Timor, Ferdi Tanoni.
Setelah polemik makin meruncing, Kementerian Luar Negeri Indonesia akhirnya mengeluarkan pernyataan bahwa Pulau Pasir Australia merupakan wilayah milik, bukan Indonesia. Direktur Jenderal Hukum dan Perjanjian Internasional Kementerian Luar Negeri, L Amrih Jinangkung menjelaskan bahwa Pulau Pasir tidak pernah menjadi bagian wilayah Hindia-Belanda (yang berubah menjadi Indonesia) setelah merdeka. Pihak Kemenlu pun menyebut bahwa Pulau Pasir merupakan pulau yang dimiliki Australia berdasarkan warisan dari Inggris. (Antaranews.com, 22/10/2022)
Klaim tersebut dikuatkan oleh Ashmore and Cartier Acceptance Act pada 1933 yang menyebut bahwa Pulau Pasir merupakan milik Inggris. Setali tiga uang, Australia pun menegaskan bahwa pulau tersebut termasuk dalam wilayah Ashmore dan Cartier Islands. Dalam sejarahnya, Belanda disebut tidak pernah mengakui bahwa Pulau Pasir adalah miliknya, tetapi justru Inggris-lah yang mengeklaim memiliki pulau tersebut. Perlu diketahui, hukum modern menganut suatu konsep bahwa wilayah suatu negara setelah merdeka adalah semua wilayah kekuasaan milik penjajahnya. Artinya, jika Belanda tidak pernah mengeklaim memiliki wilayah tersebut, maka menurut hukum internasional wilayah tersebut juga tidak termasuk wilayah administrasi Indonesia. Namun, benarkah demikian faktanya?
Salah Kebijakan
Memanasnya sengketa kepemilikan Pulau Pasir antara Australia dan masyarakat adat Laut Timor, sejatinya berpangkal dari kebijakan pemerintah. Diketahui, Pulau Pasir adalah pulau tidak berpenghuni yang terdiri dari pulau-pulau berpasir dan karang, serta beberapa bagiannya tertutup rumput. Jauh sebelum ditemukan pertama kali oleh Samuel Ashmore pada 11 Juni 1811 dan sebelum dianeksasi oleh Inggris, Pulau Pasir sudah menjadi tujuan para nelayan NTT, tepatnya pada awal abad ke-18.
Beberapa bukti yang menunjukkan bahwa pulau pasir adalah milik Indonesia, di antaranya: Pertama, klaim kepemilikan gugusan Pulau Pasir oleh Australia bertentangan dengan Konvesi Hukum Laut PBB 1982 (UNCLOS 1982). Dalam konvesi tersebut dijelaskan bahwa apabila jarak dua negara kurang dari 400 mil laut, maka yang digunakan adalah median line atau garis tengah.
Pada faktanya jarak antara Australia, Timor Leste, dan Indonesia kurang dari 400 mil, yang artinya Indonesia seharusnya mendapatkan hak yang sama di Laut Timor. Pulau Pasir sendiri berjarak sekitar 320 kilometer dari lepas pantai barat laut Australia dan 170 kilometer di sebelah selatan Pulau Rote, Nusa Tenggara Timur. Jika melihat jaraknya yang lebih dekat dengan Pulau Rote (pulau paling selatan Indonesia), maka seharusnya Pulau Pasir menjadi bagian dari Indonesia.
Kedua, menilik sejarah sebelum zaman kolonial, gugusan Pulau Pasir merupakan bagian integral dari bangsa Indonesia. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya nelayan tradisional Indonesia yang beroperasi di sekitar gugusan Pulau Pasir sampai ke daratan Broome, Australia, untuk menangkap ikan. Selain itu terdapat pula makam-makam para leluhur Rote dan berbagai artefak lainnya di Pulau Pasir.
Ketiga, pada masa berkuasanya pemerintahan kolonial Belanda atas Indonesia (Netherlandsch Indie), telah dilakukan pengukuran dan pencatatan pulau tersebut dengan nama Poelopasir. Dalam dokumen "acta van eigendom", terdapat bukti surat ukur tanah seluar 15.500 hektare pada Juli 1927. Dikutip dari Mediaindonesia.com, pada 1 November 2022.
Namun, jejak-jejak kepemilikan pulau tersebut seolah sirna sejak ditandatanganinya nota kesepahaman (MoU) antara Australia dan Indonesia pada 1974. Dalam MoU 1974 tersebut, pemerintah Indonesia menyerahkan kepada Australia untuk membantu mengawasi Pulau Pasir demi kepentingan konservasi. Padahal, hal itu adalah kesalahan fatal pemerintah sekaligus merugikan Indonesia sendiri.
Sebab, secara tidak langsung Indonesia sudah menyerahkan pulau tersebut kepada Australia. Semenjak itu, Australia langsung mengeklaim gugusan Pulau Pasir sebagai miliknya. Kemudian pada 1976, Australia kembali mengeklaim kepemilikan atas Pulau Pasir yang secara garis pantai masuk wilayah Indonesia. Klaim sepihak oleh Australia tersebut akhirnya menjadi polemik berkepanjangan soal kepemilikan pulau tersebut hingga saat ini.
Buah Kebijakan Kapitalisme
Berpindahnya kepemilikan pulau sebuah negara kepada negara lain menjadi hal lumrah di negeri ini. Sebelum klaim kepemilikan Australia atas Pulau Pasir, Indonesia pun beberapa kali harus melepaskan kepemilikan atas pulau-pulaunya kepada negara lain. Sebut saja kasus lepasnya Pulau Sipadan dan Ligitan serta Blok Ambalat karena sengketa dengan Malaysia.
Karut-marut pengurusan dan pengelolaan tanah terjadi akibat penerapan sistem kapitalisme dengan prinsip liberalisasinya. Bahkan, tidak hanya rawan sengketa pulau, prinsip liberalisasi pun meniscayakan adanya jual beli pulau secara legal yang difasilitasi oleh negara melalui UU. Di bawah prinsip kebebasan kepemilikan inilah setiap individu, korporat, bahkan negara lain bebas memiliki apa pun di negeri ini, termasuk aset-aset milik umum.
Sebut saja tentang pelelangan sekitar 100 gugus pulau di Halmahera Selatan (Halsel). Pulau-pulau tersebut dilelang kepada swasta global di pasar Sotheby's Concierge Auctions yang berbasis di New York, AS. Mirisnya penjualan aset tersebut bukan dilakukan oleh masyarakat maupun pemerintah, tetapi oleh perusahaan pengembang yang diberi hak kelola aset pulau oleh Pemda Halsel yang dalam prosesnya difasilitasi oleh pemerintah pusat. Artinya, undang-undang memang membolehkan swasta sebagai pemegang izin pengembang aset untuk menjual aset-aset negara ke swasta lain di pasar internasional. Inilah kecacatan undang-undang di bawah sistem kapitalisme yang tak lagi bisa disembunyikan.
Harta Kepemilikan dalam Islam
Sistem kapitalisme yang tidak mengatur pembagian kepemilikan mengakibatkan siapa pun boleh memiliki aset-aset negara termasuk harta kepemilikan umum. Fakta tersebut tentu bertolak belakang dengan Islam. Dalam Islam, aset-aset negara diatur dan dikelompokkan sesuai dengan jenisnya agar tidak ada kesalahan pengurusan di dalamnya. Sebab, negara harus menjaga aset milik umat secara keseluruhan. Sebagaimana termaktub dalam hadis riwayat Ahmad, "Manusia bersekutu dalam kepemilikan atas tiga hal: air, padang gembalaan, dan api."
Islam membagi kepemilikan menjadi tiga macam, yakni kepemilikan individu, kepemilikan umum, dan kepemilikan negara. Pertama, kepemilikan individu (milkiyah fardiyyah) adalah izin Asy-Syari' kepada individu untuk memanfaatkan barang dan jasa. Kepemilikan atas suatu barang tidak muncul dari sisi apakah barang tersebut bermanfaat atau tidak, tetapi dari izin Asy-Syari' serta sebab-sebab kepemilikan yang dibolehkan oleh syariat. Secara umum sebab-sebab kepemilikan individu antara lain, bekerja, pewarisan, kebutuhan harta untuk mempertahankan hidup, pemberian negara, dan sebagainya.
Kedua, kepemilikan umum (milkiyah 'ammah) adalah izin dari Asy-Syari' terhadap masyarakat secara bersama untuk memanfaatkan barang dan jasa. Contohnya memanfaatkan; (1) fasilitas umum yang dibutuhkan manusia sehari-hari seperti air, api (bahan bakar, listrik, gas), padang rumput (hasil hutan); (2) barang-barang yang tabiat kepemilikannya menghalangi adanya penguasaan individu, seperti jalan, sungai, lautan, bandara, masjid, dan sebagainya; (3) barang tambang dalam jumlah besar yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat, seperti minyak, emas, perak, dan sebagainya.
Pengelolaan kepemilikan umum menjadi hak dan wewenang negara. Hasil pengelolaan negara atas harta kepemilikan umum diberikan kepada rakyat secara cuma-cuma ataupun dengan harga murah. Negara hanya berperan sebagai pengelola dan pengatur SDA untuk kepentingan masyarakat umum. Karena itu, negara tidak boleh menjual aset-aset milik umum atau melakukan privatisasi sektor publik lainnya.
Hal itu pernah dicontohkan oleh Rasulullah saw. yang menarik kembali tambang garam yang diberikan kepada Abyad bin Hammal setelah beliau mengetahui depositnya melimpah bagaikan air yang mengalir (HR. Abu Dawud). Riwayat tersebut menjelaskan barang tambang yang depositnya melimpah tidak boleh dialihkan kepemilikannya kepada individu maupun swasta.
Ketiga, kepemilikan negara (milkiyah ad-Dawlah) adalah izin dari Asy-Syari' atas harta yang hak pemanfaatannya berada di tangan negara, seperti ganimah, fa'i, khumus, kharaj, jizyah 1/5 harta rikaz, harta orang murtad, harta orang yang tidak memiliki ahli waris, serta tanah hak milik negara. Harta yang termasuk milik negara digunakan untuk memenuhi berbagai kebutuhan rakyat yang menjadi kewajiban negara, seperti gaji pegawai, akomodasi jihad, pembangunan sarana dan prasarana publik, dan sebagainya.
Meskipun negara memiliki kewenangan sama untuk mengatur harta milik umum dan milik negara, tetapi ada perbedaan di antara keduanya. Atas harta milik umum, negara tidak boleh memberikan pokoknya kepada seseorang. Meskipun demikian, orang tersebut boleh memanfaatkan harta milik umum berdasarkan andil dirinya terhadap harta tersebut. Sedangkan terhadap harta milik negara, maka khalifah boleh memberikannya kepada individu atau kelompok individu rakyat, tetapi tidak untuk individu yang lain. Contohnya, khalifah bisa memberikan harta kharaj kepada para petani untuk memajukan pertanian mereka, tetapi tidak memberikannya kepada masyarakat lain.
Khatimah
Pengelompokan harta-harta milik umat akan menjadikan negara mengetahui bagaimana menjaga aset milik individu, umum, maupun negara. Negara pun tidak akan serampangan mengobral pulau maupun menyerahkannya secara sukarela kepada negara lain. Pengurusan dan penjagaan semacam ini hanya mungkin terjadi jika negeri ini menjadikan Islam sebagai solusi. Di bawah penjagaan sistem Islam (Khilafah), negeri ini akan aman dari kerakusan negara-negara kapitalis. Selain itu, rakyat pun akan terjaga dari berbagai kezaliman para penguasanya. Wallahu a'lam.[]