"Sebagian masyarakat menilai hal ini tidaklah tepat, bahkan bisa dikatakan salah kaprah dalam memberikan gelar. Sebagian lain membiarkan karena selalu ada kepentingan di balik pemberian gelar kehormatan kepada seseorang. Inilah potret sistem demokrasi yang bisa dikatakan sarat akan kepentingan individu semata."
Oleh. Firda Umayah
(Kontributor NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Deddy Corbuzier mendapatkan pangkat letnan kolonel tituler dari Menteri Pertahanan (Menhan) Prabowo Subianto. Pangkat ini diberikan karena Deddy dianggap mempunyai kapabilitas komunikasi di media sosial yang dibutuhkan oleh TNI (kompas.com, 12/12/2022).
Pangkat ini merupakan bentuk penghargaan tanpa adanya penugasan dari Menhan, sebagaimana pangkat yang diberikan kepada tentara TNI lainnya. Bahkan, pangkat ini didapatkan tanpa harus memimpin dan mengendalikan sejumlah prajurit. Pangkat yang diberikan secara "cuma-cuma" dinilai tidak tepat dan menjadikan pangkat terkesan mudah didapatkan. Padahal, pangkat merupakan bentuk penghargaan bagi mereka yang dianggap berjasa dalam mengemban amanah negara.
Sarat Kepentingan Individu
Adanya pemberian pangkat bagi orang yang ternama, menambah deretan panjang para pesohor negeri yang mendapatkan gelar tanpa harus bersusah payah memiliki keahlian di bidang tertentu. Sebut saja, Megawati Soekarnoputri, Moeldoko, Nurdin Halid, dan Erick Thohir. Mereka merupakan sebagian pejabat yang mendapatkan gelar kehormatan sepanjang tahun 2022. Banyaknya pejabat yang mendapatkan gelar kehormata, lantas menimbulkan satu pertanyaan, mengapa hal itu terjadi?
Pemberian gelar kehormatan tanpa sumbangsih nyata bagi negeri merupakan bagian dari adanya distorsi gelar. Rendahnya integritas dan ikatan kemaslahatan yang terjadi antara pemberi gelar dan yang diberi gelar, juga menjadi indikasi dalam kejadian serupa. Siapa pun yang dianggap dapat memberikan keuntungan, maka ia akan dengan mudah mendapatkan penghargaan atau penghormatan.
Bahkan, di antara pemberian gelar kehormatan, ada pula indikasi politik balas budi. Karena, orang yang memberikan gelar mendapatkan posisi atas jasa yang diberikan oleh pejabat negara. Pemberian gelar tanpa adanya proses atau prosedur yang biasanya dilakukan tak ayal menuai pro kontra di kalangan masyarakat.
Sebagian masyarakat menilai hal ini tidaklah tepat, bahkan bisa dikatakan salah kaprah dalam memberikan gelar. Sebagian lain membiarkan karena selalu ada kepentingan di balik pemberian gelar kehormatan kepada seseorang. Inilah potret sistem demokrasi yang bisa dikatakan sarat akan kepentingan individu semata.
Islam Menjunjung Tinggi Integritas
Dalam agama Islam, integritas di dalam kehidupan harus selalu dijaga. Integritas merupakan hal penting, karena dengan ini, mutu, kualitas, dan kemampuan seseorang dapat teruji, termasuk dalam pemberian gelar kehormatan. Seseorang mendapatkan gelar haruslah sesuai dengan bidang keahlian yang dimiliki. Bukan semata-mata disematkan tanpa aktivitas yang menyertai. Karena, hal ini sama saja dengan orang yang mengatakan sesuatu, namun hal itu tidak ia kerjakan. Islam mencela perbuatan ini.
Dalam Al-Qur'an surah Ash-Shaff ayat 3 dijelaskan adalah suatu kemurkaan yang besar di sisi Allah jika orang-orang yang beriman mengatakan apa yang tidak mereka lakukan. Gelar kehormatan juga merupakan amanah yang kelak akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat.
Allah Swt. berfirman yang artinya, "Dan tiap-tiap manusia Kami berikan catatan amal perbuatan (yang dikalungkan) pada lehernya. Dan pada hari kiamat, Kami keluarkan baginya kitab yang terbuka. "Bacalah kitabmu, cukuplah bagi dirimu sendiri pada hari ini sebagai penghisab (penghitung amal) bagimu." (TQS. Al-Isra : 13-14)
Dalam sistem pemerintahan Islam, yakni Khilafah, gelar atau bentuk penghormatan hanya diberikan kepada mereka yang memiliki keahlian atau ilmu di dalam bidang tertentu. Seperti gelar syekh, ustaz, imam, mujtahid, dan lain sebagainya. Khilafah juga mengharuskan para pejabat dan jajaran pemimpin yang ada memiliki integritas dan amanah. Mereka tidak akan memberikan gelar kepada seseorang yang tidak memiliki keahlian dalam bidang tertentu.
Sehingga, para ilmuwan, ulama dan cendekiawan muslim yang ada dalam Khilafah, merupakan orang-orang yang memiliki kapabilitas dan bertanggung jawab terhadap ilmu atau tsaqafah Islam yang mereka miliki. Lihat saja sosok imam mazhab seperti Imam Syafii, Imam Hambali, Imam Hanafi dan Imam Malik yang telah diakui oleh dunia akan pemahaman terhadap fikih Islam.
Begitu juga dengan para ilmuwan seperti Ibnu Sina, Ibnu Batuta, Ibnu Khaldun, Abbas Ibnu Firnas yang hingga kini penemuannya masih digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Mariam Al Asturlabi, penemu yang namanya disematkan kepada hasil temuannya, yaitu astrolub.
Penutup
Begitulah gambaran hasil dari pendidikan pada masa Khilafah yang memberikan jaminan bagi setiap warga negara untuk mengenyam pendidikan secara gratis. Sehingga, menghasilkan para intelektual yang memiliki integritas tinggi dan keahlian di berbagai bidang kehidupan.
Hal itu dapat terjadi karena keimanan menjadi landasan bagi setiap muslim dalam berpikir dan bersikap. Ditambah lagi, dengan besarnya perhatian negara dalam mengurusi segala urusan rakyatnya, membuat masyarakat dapat memaksimalkan potensi yang ada. Hingga membangun sebuah peradaban yang mulia, yaitu peradaban Islam yang mampu berdiri tegak hingga 13 abad lamanya.
Wallahu a'lam bishawab[]