"Dan barang siapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja maka balasannya adalah jahanam ia kekal di dalamnya, dan Allah murka kepadanya dan melaknatnya serta menyiapkan azab yang besar baginya"
Oleh. Aya Ummu Najwa
(Kontributor NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Hukuman mati merupakan salah satu dari jinayat dalam Islam. Sedangkan jinayat adalah bentuk jamak dari jinayah. Menurut bahasa, jinayat bermakna penganiayaan terhadap badan, harta, atau jiwa. Sementara menurut istilah, jinayat adalah pelanggaran terhadap badan yang di dalamnya mewajibkan terhadap tindak penganiayaan. Dengan demikian tindak penganiayaan itu sendiri dan sanksi yang dijatuhkan atas penganiayaan atas badan disebut dengan jinayat. Pematahan terhadap gigi, serta pembunuhan yang mirip dengan sengaja disebut pula dengan jinayat. Masing-masing penganiayaan itu disebut dengan jinayat begitu pula sanksi-sanksi bagi masing-masing penganiayaan itu juga disebut dengan jinayat.
Kita tahu bahwa pembunuhan adalah kejahatan terbesar yang dilakukan oleh manusia. Pembunuhan juga merupakan kejahatan pertama yang dilakukan oleh manusia, yaitu Qabil yang membunuh saudaranya Habil. Maka salah satu bentuk jinayat yang paling besar adalah sanksi bagi tindak pembunuhan yaitu jinayat. Dan termasuk salah satu hukum yang paling menonjol yang telah diketahui pengharaman terhadap tindak pembunuhan tanpa hak. Diharamkannya pembunuhan telah ditetapkan berdasarkan Al-Qur'an dan as-sunnah. Allah subhanahu wa ta'ala berfirman dalam surah Al Isra' ayat 33:
"Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah membunuhnya melainkan dengan suatu alasan yang hak, dan barang siapa dibunuh secara zalim maka sesungguhnya kami telah memberi kekuasaan kepada ahli warisnya"
Juga dalam surat surah An-Nisa ayat 92-93:
"Dan tidak pantas bagi seorang mukmin membunuh seorang mukmin lainnya kecuali karena tersalah atau tidak sengaja… Dan barang siapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja maka balasannya adalah jahanam ia kekal di dalamnya, dan Allah murka kepadanya dan melaknatnya serta menyiapkan azab yang besar baginya"
Ayat-ayat ini adalah dalil pengharaman tindak pembunuhan, oleh karena itu ia termasuk hukum-hukum yang bersifat qat'i atau pasti. Adapun hadis dari Ibnu Mas'ud radhiyallahu anhu ia berkata Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda dalam hadis riwayat Imam Bukhari dan Muslim berikut:
"Tidak halal darah seorang muslim kecuali karena salah satu dari tiga, pertama orang yang telah menikah yang berzina, kedua jiwa dengan jiwa atau membunuh, ketiga orang yang meninggalkan agamanya atau murtad lagi memisahkan diri dari jemaah kaum muslim"
Juga sebuah hadis dari ibunda Aisyah radhiyallahu anha bahwa nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Abu Daud dan Imam An-Nasa'i: "Tidak halal membunuh seorang muslim kecuali karena salah satu dari tiga hal ini yaitu, muhshan atau orang yang telah menikah yang berzina maka ia dirajam, seorang yang membunuh seorang muslim dengan sengaja, dan seorang yang keluar dari Islam atau murtad maka ia diperangi Allah dan Rasul-Nya"
Sebagaimana diharamkannya pembunuhan, maka tidak halal darah seorang muslim dan tidak halal membunuh seorang muslim. Pembunuhan adalah haram, maka itu Islam memberikan sanksi kepada pelaku jinayat. Salah satunya contoh adalah kasus pembunuhan sengaja seperti yang dilakukan oleh Ibnu Muljam atas Khalifah Ali bin Abi Thalib maka sanksi yang diterima oleh Ibnu Muljam adalah dibunuh.
Dalam pelaksanaannya, pembunuhan bisa dilakukan oleh seorang atau kelompok orang yang bersekutu dan memberi bantuan pada pembunuh. Seperti yang terjadi di negeri ini yaitu kasus pembunuhan Brigadir J, yang dilakukan oleh beberapa orang, yang mirisnya hingga saat ini masih terus alot dan berliku. Lalu bagaimana pandangan Islam terkait bersekutu dan memberi bantuan pada pembunuh? Di dalam Islam, pembunuhan merupakan salah satu bentuk jinayat yakni penganiayaan terhadap badan yang di dalamnya diwajibkan adanya hukum qishash, diat atau denda terhadap harta, kecuali dengan alasan yang benar.
Berkaitan dengan pembunuhan yang dilakukan oleh sekelompok orang terhadap seseorang, Abdurrahman Al-Maliki dalam kitabnya Nidzamul Uqubat fil Islam menjelaskan bahwa, suatu hari Umar bin Khattab pernah bertanya kepada Ali bin Abi Thalib tentang bersekutu dalam pembunuhan, maka Ali pun bertanya balik kepada Umar bin Khattab, apa pendapatmu seandainya ada sekelompok orang yang mencuri barang apakah engkau memotong tangan mereka? Umar pun menjawab "Ya" maka Ali pun berkata demikian pula pembunuhan. Jika sekelompok orang bersekutu baik dua orang atau lebih untuk membunuh seseorang maka semuanya dikenai sanksi, semuanya harus dibunuh meski yang terbunuh hanya satu orang.
Yang dimaksud bersekutu dalam pembunuhan di sini tergantung pada keterlibatannya dalam pembunuhan, yaitu peran masing-masing orang dalam proses pembunuhan tersebut. Sanksi yang dikenakannya pun tergantung pada peran masing-masing dalam pembunuhan tersebut.
Yang pertama jika seseorang terlibat dalam pemukulan atau penembakan terhadap pihak yang terbunuh, maka ia tergolong sebagai orang yang terlibat dalam pembunuhan secara pasti, dan hukuman baginya adalah dibunuh.
yang kedua jika seseorang tidak terlibat dalam penembakan atau pemukulan, maka jika dia sebagai orang yang memudahkan terjadinya pembunuhan seperti mencegat pihak yang hendak dibunuh, lalu orang tersebut dibunuh oleh pelaku pembunuhan atau menyerahkan pihak yang terbunuh kepada pelaku pembunuhan, maka orang tersebut tidak dianggap sebagai pelaku yang turut bersekutu dalam pembunuhan akan tetapi disebut sebagai pihak yang turut membantu pembunuhan. Maka orang semacam ini tidak dibunuh akan tetapi hanya di penjara saja.
Sebagaimana hadis Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dari Ibnu Umar riwayat Imam Ad-Daruqutni:
"Jika seorang laki-laki menghentikan seorang laki-laki yang lainnya kemudian laki-laki tersebut dibunuh oleh laki-laki yang lain maka orang yang membunuh tadi harus dibunuh sedangkan laki-laki yang menghentikannya hanya di penjara"
Hadis ini merupakan dalil bahwa orang yang membantu dan menolong si pembunuh tidak dibunuh akan tetapi hanya dipenjara saja, namun demikian ia bisa dipenjara dalam waktu yang lama sampai 30 tahun, bahkan Ali bin Abi Thalib berpendapat agar orang tersebut dipenjara sampai mati. Sebagaimana atsar yang dijelaskan oleh imam Syafi'i dari Ali bin Abi Thalib, yaitu "Pembunuhnya dibunuh sedang yang lainnya dipenjara sampai mati."
Dengan demikian jelas bahwa orang yang bersekutu secara langsung, yakni bersekutu sebagai pihak yang mendorong terjadinya pembunuhan, dan yang mengatur pembunuhan tidak ada bedanya apakah bersekutu pada pemukulan penembakan atau dalam perencanaan pembunuhan, semua itu termasuk bagian dari pembunuhan dan harus dibunuh layaknya pembunuh itu sendiri. Sedangkan pihak yang mempermudah pembunuhan tidak dianggap sebagai pihak yang bersekutu dan baginya hanya diberi hukuman penjara.
Sanksi hukum dalam Islam berfungsi sebagai zawajir dan jawabir. Zawajir atau pencegah berarti dapat mencegah manusia dari tindak kejahatan jika ia mengetahui bahwa membunuh maka ia akan dibunuh maka ia tidak akan melakukan perbuatan tersebut. Juga sebagai jawabir atau penebus dikarenakan uqubat dapat menembus sanksi akhirat. Namun sanksi akhirat bagi seorang muslim akan gugur oleh sanksi yang dijatuhkan negara. Ketika di dunia peran dan tanggung jawab dalam pelaksanaan hukum adalah tugas negara atau khalifah dan semua jajarannya, yang akan menjadi pelaksana hukum Islam sebagai pelindung umat bukan oleh individu atau kelompok masyarakat saja. Dengan demikian penjagaan nyawa dalam masyarakat dapat terjaga dan terlindungi.
Maka sungguh miris peristiwa yang terjadi di negeri ini, ketika pembunuhan melibatkan para penegak hukum yang semestinya mereka adalah pihak yang mengayomi dan melindungi rakyat, tapi justru menjadi aktor dalam pembunuhan. Hal ini semakin membuktikan bahwa kapitalisme benar-benar gagal melindungi warga negaranya. Maka sudah seharusnya umat ini sadar dan mengembalikan pengaturan kehidupan ini pada sistem yang dikehendaki Allah yaitu Islam yang diterapkan oleh sebuah negara Khilafah.
Wallahu a'lam[]