"Apakah kebebasan menetapkan peraturan di negaranya juga berlaku bagi Qatar? Mungkin di depan media mereka akan memberi penghargaan terhadap budaya yang dipertahankan Qatar. Tapi di balik hal tersebut seluruh dunia akan digiring untuk membenci Qatar atas sikapnya terhadap komunitas LGBT. Standar ganda dalam kebebasan berperilaku dan berpendapat adalah hal yang nyata di sistem demokrasi."
Oleh. Pipit NS
(Kontributor NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Piala dunia tahun 2022 yang diselenggarakan di Qatar sejak bulan November lalu telah menyerap atensi besar kaum muslimin. Pasalnya, negara ini digadang-gadang akan menjadi sarana dakwah Islam nantinya. Setidaknya tampak pada pembukaan piala dunia yang disertai pembacaan ayat suci Al-Quran, barcode hotel yang memperkenalkan pengunjung dengan Islam, serta pelarangan minuman keras serta larangan kampanye LGBT.
Tentu hal ini memicu berbagai respons dari banyak pihak. Kaum muslimin dari berbagai dunia merespons hal ini sebagai angin segar bagi perspektif dunia terhadap Islam. Islam yang damai tanpa kekerasan tampak dalam pelaksanaan Piala Dunia 2022 ini. Namun, bagi sebagian orang, pelarangan minuman keras dan larangan kampanye LGBT merupakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia.
Steve Da Cruz, seorang penggemar asal Meksiko, mengaku kecewa terhadap keputusan pelarangan alkohol meskipun hal tersebut adalah budaya masyarakat setempat. Menurutnya, alkohol dan sepak bola merupakan hal yang berjalan beriringan dan tak bisa dipisahkan, sehingga wajar penggemar dari berbagai negara kecewa terhadap keputusan ini. Lebih dari itu, protes atas kekecewaan pelarangan penggunaan ban lengan OneLove berwarna pelangi juga datang dari berbagai negara besar Eropa. Mereka menganggap bahwa pelarangan penggunaan ban lengan merupakan pelarangan terhadap suara untuk mengkampanyekan keberagaman. Hubungan Qatar dengan Jerman akhirnya tidak begitu baik akibat peristiwa tersebut. Hingga pada Rabu (30/11), lewat sebuah wawancara dengan media Jerman, Menteri Energi Qatar mengatakan bahwa boleh saja komunitas LGBT tersebut mengunjungi Qatar, tapi Barat tak bisa mendikte Qatar untuk melegalkan LGBT.
Di sisi lain, Qatar sebagai negara tuan rumah Piala Dunia hanya melaksanakan apa yang telah negara ini percaya sejak dahulu. Qatar yang berusaha untuk menjadikan syariat Islam dalam lingkup bernegara seakan sulit untuk mempertahankan hal tersebut di hadapan negara-negara Eropa yang sejak lama menjalin hubungan baik dengan FIFA. Pada akhirnya, kebebasan untuk berpendapat atau melakukan sesuatu berdasarkan yang diyakini, hanya akan terlihat benar jika yang berpendapat adalah negara yang memiliki bargaining position yang tinggi di hadapan FIFA.
Selama ini dapat kita ketahui bahwa liga-liga besar yang meraup keuntungan besar bagi sponsor berasal dari negara-negara yang menggugat Qatar atas larangan kampanye OneLove. Apakah kebebasan menetapkan peraturan di negaranya juga berlaku bagi Qatar? Mungkin di depan media mereka akan memberi penghargaan terhadap budaya yang dipertahankan Qatar. Tapi di balik hal tersebut seluruh dunia akan digiring untuk membenci Qatar atas sikapnya terhadap komunitas LGBT. Standar ganda dalam kebebasan berperilaku dan berpendapat adalah hal yang nyata di sistem demokrasi.
Lalu, bagaimana sikap kita sebagai seorang muslim?
Seorang muslim tentu memercayai bahwa tak ada pengaturan yang benar, kecuali hal tersebut berasal dari Allah dan Rasul-Nya. Begitu pula terhadap isu legal tidak legalnya LGBT. Sebisa mungkin kita menolak akan normalisasi LGBT karena hal tersebut mendatangkan laknat Allah.
Lalu bagaimana dengan kita yang memprotes ketidakadilan Barat terhadap kaum muslimin atas dasar kebebasan berpendapat yang dilanggar? Kaum muslimin tidak dapat menjadikan kebebasan berpendapat sebagai dasar untuk menggugat normalisasi terhadap LGBT. Kebebasan berpendapat merupakan salah satu pilar dalam demokrasi, yang meniscayakan pengaturan hidup sepenuhnya diserahkan pada manusia. Menyetujui dan menerapkan demokrasi sama halnya dengan bersedia diatur selain dengan syariat-Nya. Tentu hal ini sangat mungkin berujung pada ternoda-nya akidah kita sebagai seorang muslim.
Seorang muslim cukup menjadikan Islam sebagai pedoman dalam bertindak serta menyatakan sikap. Jika akhirnya pada saat ini alasan ini tidak dapat berpengaruh, hal ini tak lain karena kaum muslimin yang fitrahnya bersatu dalam satu naungan kekuatan besar, memilih berjuang dalam lingkup negara yang masih dalam kendali negara adidaya yang mengusung ideologi selain Islam. Akibatnya, tak ada kewibawaan terhadap segala keputusan yang dihasilkan. Dalam hal ini, apakah benar kita masih berharap pada standar ganda kebebasan berpendapat untuk mempertahankan akidah, menerapkan syariat, dan menentukan sikap? Sementara kita masih memiliki kemampuan mengusahakan tegaknya institusi milik kaum muslim, Khilafah Islamiah? Wallahu alam bishawab.[]