"Fentanyl dijadikan sebagai pelarian bagi mereka yang mencari ketenangan hidup semu, krisis iman, stres dan depresi yang terus menghinggapi. Alhasil, membuat mereka ketergantungan dan kehilangan independensi. Bahkan, tidak menyadari ketika nurani beserta akalnya telah termanipulasi."
Oleh. Witta Saptarini, S.E
(Kontributor NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Kian hari dunia semakin tidak baik-baik saja. Bukan suatu hal yang perlu dipertanyakan lagi, bahwasanya di setiap negara di dunia hari ini pasti memiliki banyak sisi gelap di baliknya. Seperti halnya di negara yang notabene kampiun demokrasi. Ya, Amerika Serikat salah satu negara super power di dunia yang terkenal dengan kemajuan teknologi, ekonomi, serta sumber daya manusia yang tinggi. Di balik kekuatan serta kemegahannya, namun tetap menyimpan sisi gelap kehidupan warga negaranya. Salah satunya, banyak memiliki kawasan zona merah alias wilayah darurat narkoba. Ya, surga bagi para pecandu narkotika.
Sebut saja, kehidupan para pecandu di Kensington Avenue, Philadelphia. Sebelumnya kota ini pernah menjadi ibu kota negara Amerika Serikat. Namun, siapa sangka kini mendapat julukan sebagai ‘kota zombi’ lantaran sejumlah penduduknya di sepanjang jalanan berperilaku aneh, dan memberi kesan mengerikan layaknya mayat hidup alias ‘zombi’, disebabkan pengaruh efek narkotika. Saking banyaknya pengedar dan pecandu di kawasan ini, tak heran Kensington memiliki beberapa julukan, di antaranya sebagai ‘Walmart of Heroin’ dan ‘Philadelphia’s Skid Row’. Ditambah julukan terbaru sebagai ‘pasar obat terbuka’ di pantai timur. Pada tahun 2019 kematian yang diakibatkan overdosis penyalahgunaan obat di kota ini sebanyak 1.150 jiwa. Kemudian data kematian tersebut meningkat sekitar 1.214 jiwa pada tahun 2020, serta mencapai 1.250 jiwa pada tahun 2021.
Menurut data departemen masyarakat Philadelphia, sekitar 80% angka kematian tersebut disebabkan oleh overdosis obat yang melibatkan opioid, yaitu kelas obat yang mencakup heroin serta fentanyl, jenis obat farmasi penghilang rasa sakit, yang sering terdeteksi sebagai pencetus utama terjadinya overdosis fatal. Sebenarnya, candu fentanyl ini telah menjadi epidemi dunia sejak tahun 2014, dan hari ini menjadi teror yang tengah menghantui Amerika Serikat, bahkan dunia.
Teror itu Bernama ‘Fentanyl’
Di sebuah gang kecil, kotor, dan kumuh di Los Angeles, di mana kini disebut pula sebagai surganya bagi para pecandu fentanyl, tengah menjadi sorotan dunia. Pasalnya, baru saja terjadi wabah horor akibat overdosis penyalahgunaan fentanyl yang kini menghantui. Ya, wabah fentanyl ini telah merenggut lebih dari 100 ribu nyawa warga Amerika Serikat, serta tak dimungkiri berpotensi meneror dunia. Mayoritas pecandu fentanyl ini adalah para tunawisma. Hal ini terlihat dari sampah jarum suntik, dan alat penyokong lainnya berserakan di jalanan, taman, hingga sudut kota. Bila digambarkan bagaikan rumah bagi populasi pecandu obat terlarang. (detik.com, 2/12/2022)
Menurut data Associated Press, tercatat dari April 2020 hingga Maret 2021, hampir 2.000 tunawisma meregang nyawa di Los Angeles akibat ketergantungan. Korban bergeletakan menyebar hingga melampaui jalanan. Diketahui 51% dari tunawisma ini mengidap gangguan psikologis alias gangguan mental. Sedangkan, 46% memiliki gangguan dalam hal penggunaan zat berbahaya yang menyebabkan ketergantungan.
Bahaya Penyalahgunaan Fentanyl
Fentanyl adalah obat synthetic psychoactive, pada umumnya digunakan sebagai penghilang rasa nyeri pada saat atau setelah dilakukan tindakan pembedahan, sebagai alternatif pengganti morfin, tentunya dengan dosis yang tepat. Fentanyl terkategori jenis obat opioid yang dapat menyebabkan kecanduan, dan sangat mudah disalahgunakan. Menurut National Institute on Drug Abuse (NIDA), fentanyl memiliki efek samping setara dengan heroin, atau jenis obat candu lainnya. Di mana, fentanyl mampu bekerja dengan cara mengikat reseptor tubuh di area otak yang biasa menyimpan rasa emosi dan rasa sakit. Dengan mengonsumsinya, otak manusia akan mengeluarkan hormon endorfin. Di mana seseorang akan merasa jauh lebih tenang, bahagia, dan tidak merasakan sakit.
Sebagai perbandingan, fentanyl lebih kuat sekitar 75 kali daripada morfin, dan beberapa turunannya. Bilamana dicampurkan dengan jenis kokain dan heroin, maka efek yang ditimbulkannya bisa meningkat 10 ribu kali lebih kuat daripada morfin. Jika mengisapnya dalam jumlah dua miligram saja, setara dengan beberapa butir garam, sangat berpotensi mematikan. Fentanyl legal saja telah banyak memakan korban akibat overdosis, bayangkan saja betapa fatalnya bila di pasar gelap zat ini dioplos oleh bandar narkoba. Maka tak heran, fentanyl disebut sebagai ‘a powerful synthetic opioid’, karena itu pula pantas disebut ‘si pembunuh massal’, karena banyak menelan korban jiwa akibat penyalahgunaan serta overdosis.
Kerusakan Mental di Negara Kampiun Demokrasi
Pada awalnya, tidak semua orang menggunakan fentanyl sebagai ‘recreational drugs’ atau narkoba. Banyak pula yang menggunakannya pasca operasi atas resep dokter dengan dosis tepat. Namun, mereka terjebak setelah menemukan kenikmatannya alias candu. Hingga akhirnya berburu ke pasar gelap, tempat di mana banyak bandar menjualnya.
Begitu pun dengan kejadian yang sedang menghantui Amerika Serikat saat ini, di mana fenomena fentanyl ini sebagian besar diidap oleh para tunawisma. Menurut laporan BBC, makin meningkatnya jumlah tunawisma di Amerika Serikat diakibatkan beberapa faktor, di antaranya pekerjaan yang tidak tetap, mahalnya harga hunian, kekerasan dalam rumah tangga, serta krisis obat penenang.
Fentanyl dijadikan sebagai pelarian bagi mereka yang mencari ketenangan hidup semu, krisis iman, stres dan depresi yang terus menghinggapi. Alhasil, membuat mereka ketergantungan dan kehilangan independensi. Bahkan, tidak menyadari ketika nurani beserta akalnya telah termanipulasi. Inilah bukti gambaran kerusakan mental di negara kampiun demokrasi, serta menegaskan bahwa tak ada alasan yang layak untuk mempertahankan sistem kapitalis-sekuler.
Solusi Utopis dalam Paradigma Kapitalisme
Telah lama sejak masa kekuasaan Trump, Amerika Serikat tengah gencar menghentikan penyelundupan obat pereda rasa nyeri ini, yang kini dikembangkan oleh Cina. Meski pada awalnya, fentanyl dibuat tahun 1960 oleh Paul Janssen, dan penggunaan medisnya telah disetujui pada tahun 1968 di Amerika Serikat. Kini, otoritas Amerika Serikat masih berupaya keras untuk menekan ketergantungan masyarakatnya terhadap obat-obatan yang terkategori opioid ini. Salah satu upayanya demi kepentingan penegakan hukum, yakni bekerja sama dengan direktur pelabuhan untuk bea cukai dan perlindungan perbatasan Amerika Serikat beserta tim. Mereka melakukan tracking dilengkapi teknologi ‘spectrometry’, dengan menembakkan laser ke sebuah paket tanpa harus melakukan pelanggaran, dan memastikan paket tersebut aman.
Dengan kecepatan rekor, opioid sintetis yang sangat berbahaya ini tak terbendung terus mengalir ke negara itu, hingga tidak terlacak mulai tahun 2015, dan ditemukan sekitar 1.296 pon pada tahun 2017. Disusul fakta yang mengerikan, para bandar menjualnya di pasar gelap sebagai ‘recreational drugs’ dalam wujud lain. Ya, zat ini bertransformasi dalam bentuk permen, lolipop, koyok, pil, dan helaian plastik yang lumer di mulut. Fakta yang lebih mengkhawatirkan lagi, zat ini telah ditemukan dalam permen anak-anak, buah-buahan, dan sayur-sayuran. Dengan berbagai cara, bandar obat ini terus mendistribusikannya dengan tujuan meraup keuntungan, yakni dengan memberikan efek candu agar terjebak untuk terus mengonsumsinya. Celakanya, saat ini fentanyl bisa dengan mudah didapatkan dengan pembelian online.
Pada saat berkuasa, Trump menilai bahwa Presiden Cina XI Jinping gagal memenuhi janjinya dalam mengendalikan ekspor fentanyl. Namun, Cina menilai bahwa regulasi Amerika Serikat yang lemah. Sehingga, dianggap memberi akses mudah bagi pasien untuk mendapatkannya. Bahkan, menjadi penyebab meninggalnya ribuan warga Amerika Serikat setiap tahunnya, akibat ketergantungan hingga overdosis. Inilah implikasi dari rusak dan lemahnya ideologi kapitalisme, yang diemban negara-negara Barat, dan telah berkosmopolit ke negeri-negeri muslim, termasuk Indonesia. Sistem ini menempatkan keuntungan materi di atas segalanya tanpa memedulikan nasib dan keselamatan rakyat. Mengatasnamakan medis apalagi jika ada permintaan pasar, apa pun bisa diperjualbelikan dengan syarat mendatangkan keuntungan materi yang fantastis.
Sebab, demokrasi yang notabene turunan ideologi kapitalisme dengan asas sekularisme, yakni pemisahan agama dari kehidupan, meniscayakan pemisahan agama (Islam) dalam mengatur kehidupan, termasuk dalam bernegara. Sehingga, dalam mengambil keputusan tidak akan pernah mempertimbangkan tata nilai halal dan haram. Sistem ini telah mengeliminasi aturan Sang Pencipta, yakni Allah Swt. dengan melegalisasi aturan yang bersumber dari akal manusia dengan keterbatasan kapasitasnya, yang sejatinya dilingkupi hawa nafsu, serta kepentingan. Maka, apa pun upayanya akan berujung sia-sia jika disolusikan dengan paradigma kapitalisme. Bahkan, niscaya tak akan mampu menghentikan kerusakan di muka bumi.
Islam dan Khilafah dalam Menyolusikan Fenomena Fentanyl dan Tunawisma
Dari sudut pandang medis, penguasa dalam sistem kapitalis tidak akan pernah berpikir apalagi tergerak untuk mendanai riset, guna menemukan obat terbaru dari zat halal dan tayib, yang pastinya membutuhkan biaya yang tak sedikit. Sebab hal ini dianggap sebagai sesuatu yang merugikan negara. Sistem ini memandang kesehatan sebagai lahan bisnis semata bagi para kapitalis. Tak heran, mereka yang berkuasa melegalisasi aturan yang mengusung kepentingan segelintir elit.
Islam dalam institusi Khilafah akan menjaga individu dan masyarakatnya untuk hidup sehat sesuai syariat. Sebab, dalam mekanisme syariat Islam, kesehatan merupakan bagian dari kebutuhan dasar warga negara Khilafah, yang pemenuhannya wajib diselenggarakan negara dengan cuma-cuma. Maka, tak tebersit untuk berpikir untung rugi. Khalifah sebagai pemimpin negara akan mendanai riset terbaru di bidang kesehatan yang terbaik, dan berkualitas bagi rakyat. Termasuk, berinovasi menghasilkan obat-obatan yang tidak menimbulkan mudarat guna memenuhi kepentingan dunia medis.
Sehingga, dalam setiap kebijakan yang diambil khalifah wajib bersandar pada tata nilai yang ditetapkan syariat, yakni halal dan haram. Termasuk pemenuhan kebutuhan sekunder, baik bagi individu atau kelompok, muslim dan nonmuslim, laki-laki, perempuan, kaya atau miskin. Sebab, sejatinya hal itu merupakan hak seluruh rakyat negara Khilafah. Maka, mekanisme syariat dalam menangani permasalahan tunawisma pun, negara wajib hadir menjalankan fungsi ri'ayah nya atau mengurusi urusan rakyat. Maka, negara bertanggung jawab penuh menjamin pemenuhan kebutuhan hunian bagi para tunawisma, tentunya hunian yang syar’i, nyaman, dan terjangkau.
Bahkan, akan dibangun langsung permukiman bagi rakyat miskin di tanah-tanah milik negara. Demikian juga, tidak ada larangan dalam syariat bila negara akan memberikan lahannya secara cuma-cuma, selama diperuntukkan bagi kemaslahatan kaum muslim. Maka dari itu, negara Khilafah tidak akan menyerahkan penguasaan tanah kepada korporasi, termasuk kepengurusan pemenuhan kebutuhan pokok rakyat. Di mana dalam mekanisme syariat bisa diwujudkan dengan jaminan tersedianya lapangan pekerjaan yang luas, layak, serta memberdayakan iklim usaha yang sehat. Jelas, tak diragukan lagi, Islam dalam institusi Khilafah adalah solusi kehidupan yang hakiki untuk mencapai kehidupan yang penuh berkah. Sesungguhnya Allah Swt. senantiasa telah mengingatkan di dalam QS. Al-A’raf pada ayat 96, "Dan jika sekiranya penduduk negeri beriman, pasti akan Kami limpahkan bagi mereka keberkahan, baik dari langit dan bumi.”
Wallahu a’lam bish-shawwab.[]