Revisi UU IKN, Jalan Mulus Penjajahan

”Revisi UU tersebut disinyalir terjadi setelah ada proses tawar-menawar antara oligarki dan pemerintah. Hal ini tidaklah mengherankan. Pasalnya, para investor jelas tak mau rugi jika akan menginvestasikan uangnya ke IKN.”

Oleh. Sartinah
(Tim Penulis Inti NarasiPost.Com)

NarasiPost.Com-"Dikasih hati minta jantung." Peribahasa tersebut tampaknya mewakili keserakahan para oligarki atas negeri ini. Tak puas dengan memiliki hak pengelolaan tanah IKN selama 90 bahkan 180 tahun, kini mereka ingin diberi hak kepemilikan selamanya. Mirisnya pemerintah bukannya menolak, justru memberi karpet merah agar mereka legal memiliki tanah IKN. Satu-satunya jalan instan merealisasikan keinginan para oligarki adalah dengan mengubah undang-undang.

Lantas, apa alasan Presiden Joko Widodo merevisi UU IKN yang bahkan belum berjalan setahun? Benarkah revisi tersebut makin memuluskan penjajahan? Bagaimana pula pandangan Islam tentang jual-beli tanah kepada asing?

Dalih Revisi

Pemerintah akhirnya mengajukan revisi UU IKN yang belum setahun disahkan. Terkait revisi tersebut, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Suharso Monoarfa mengatakan, ada beberapa alasan revisi UU IKN Nusantara. Pertama, untuk mengakomodasi keinginan investor. Suharso menyebut, salah satu keinginan para investor adalah terkait perubahan status lahan yang awalnya hanya hak pengelolaan menjadi hak kepemilikan.

Kedua, revisi UU IKN juga membahas tentang struktur organisasi, pertanahan, kewenangan, struktur pembiayaan, serta kewenangan kementerian/lembaga yang bisa dimandatkan langsung ke otorita selaku pengelola IKN. Suharso pun menyebut jika revisi UU IKN harus dilakukan. Sebab, jika tetap pada UU sebelumnya, maka akan ada aturan turunannya yang bertabrakan dengan UU lain. (Tempo.co, 01/12/2022)

Urgensi dari revisi tersebut adalah untuk mempercepat proses persiapan pemindahan IKN serta penyelenggaraan pemerintahan Daerah Khusus IKN, serta penguatan Otorita IKN secara optimal. Hal tersebut sebagaimana dikemukakan oleh Menteri Hukum dan HAM, Yosanna Laoly, dalam rapat bersama Baleg DPR pada Rabu, 23 November 2022.

Cacat Aturan

UU IKN memang sejak awal tak pernah sepi dari kontroversi. Meski ada pihak yang mendukung, tetapi tak sedikit yang mengkritisi hingga menggugat ke Mahkamah Konstitusi (MK). Sayangnya, gugatan tersebut ditolak secara keseluruhan oleh MK. Adanya kontroversi UU IKN jelas mengindikasikan bahwa UU tersebut bermasalah sejak awal. Beberapa catatan kritis tentang UU tersebut adalah:

Pertama, pembahasan UU IKN terbilang sangat singkat karena hanya memakan waktu 43 hari, terhitung sejak 7 Desember 2021 hingga 19 Januari 2022. Di sisi lain, hasrat memindah ibu kota pun terjadi di tengah kondisi ekonomi Indonesia yang sedang terpuruk saat itu. Ditambah pula dengan terjangan pandemi Covid-19 yang makin memperburuk kondisi perekonomian negeri ini. Walhasil, pindah ibu kota saat ekonomi melemah, bukanlah sesuatu yang urgen.

Kedua, klaim pemerintah bahwa perumusan UU IKN sudah melalui proses diskusi yang matang dan komprehensif, nyatanya tidak terbukti. Pasalnya, belum setahun UU tersebut disahkan bahkan bisa dikatakan belum dijalankan, pemerintah kembali mengajukan revisi kepada DPR. Artinya, UU IKN memang memiliki kecacatan, tidak sempurna, dan dikerjakan secara terburu-buru. Hal ini sekaligus menegaskan bahwa pemerintah tidak profesional menyiapkan UU IKN.

Ketiga, Indonesia baru saja pulih dari pandemi dan menghadapi ancaman resesi tahun depan. Namun, dalam revisi UU IKN akan ditambahkan kewajiban pindah ke ibu kota sebelum masa jabatan presiden berakhir. Hal ini tentu saja mengoyak kewarasan publik. Bagaimana mungkin, presiden yang sudah bolak-balik mengingatkan ancaman resesi, tetapi pada saat yang sama mengebut proses perpindahan ibu kota. Revisi pun makin menjelaskan bahwa pemerintah dan DPR hanya sibuk mengurus kepentingannya sendiri.

Bahaya Mengancam

Tak bisa dimungkiri, problem utama di pemerintahan saat ini adalah mudahnya para penguasa dan pejabat berbuat semau sendiri. Usulan revisi UU IKN menunjukkan bahwa pemerintah sangat ugal-ugalan dalam menjalankan negara. Lebih menyedihkan lagi, DPR yang seharusnya menjadi pembela rakyat, justru menjadi alat stempel bagi rezim. DPR terus mengaminkan apa pun yang menjadi keinginan penguasa, seperti halnya persetujuan DPR terhadap revisi UU IKN.

Jika dikaji secara mendalam, revisi tersebut hanyalah alat bagi rezim untuk menyempurnakan UU IKN yang sudah ada saat ini. Hal ini tentu menjadi preseden buruk karena bisa mengacaukan tata kelola peraturan perundang-undangan yang ada. Siapa pun yang memiliki nalar akan berpikir satu hal, bagaimana mungkin sebuah produk undang-undang yang tertinggi (di bawah UUD), begitu mudahnya direvisi dan diubah kapan saja?

Berikutnya, tak ada asap jika tidak ada api. Revisi UU tersebut disinyalir terjadi setelah ada proses tawar-menawar antara oligarki dan pemerintah. Hal ini tidaklah mengherankan. Pasalnya, para investor jelas tak mau rugi jika akan menginvestasikan uangnya ke IKN. Para investor pun tentu menginginkan kemudahan berinvestasi, menggunakan aset-aset negara, serta berbagai keistimewaan lain yang dituntut dari pemerintah. Dengan kata lain, investor ingin memiliki jaminan keamanan atas investasinya. Jadilah revisi tersebut sebagai bantalan untuk mengamankan aset-aset para investor.

Padahal, memberikan konsesi IKN terhadap swasta sangat berbahaya bagi kedaulatan negeri ini. Lebih dari itu, keinginan para investor untuk memiliki tanah-tanah IKN sepenuhnya adalah bentuk perampokan dan penjajahan. Bagaimana mungkin negara akan mampu mengatur sistem pertahanan dan keamanan jika para investor turut serta bergabung ke ibu kota negara? Di sisi lain, revisi tersebut pun memasukkan rencana dalam suatu pasal yang akan menyandera siapa pun pemimpin berikutnya agar tetap melanjutkan proyek IKN.

Inilah wajah asli negara berparadigma kapitalisme. Prinsip pengurusan di bawah untung dan rugi menjadikan penguasa lalai mengurus rakyatnya. Negara melalui para penguasanya justru menjadi kaki tangan para oligarki yang memuluskan langkah-langkah mereka merampok tanah negeri ini. Melalui berbagai UU yang disahkan para legislator, republik ini pelan tetapi pasti telah berubah menjadi republik investor. Negeri ini hanya berdaulat atas kepemilikan tanah, tetapi tidak dalam pengelolaannya.

Kembali pada Aturan Islam

Hukum buatan manusia telah nyata mendatangkan kemudaratan dan menyengsarakan rakyat. Hukum-hukum tersebut pun sering kali menjadi alat untuk melegalkan perampokan aset-aset negara oleh swasta, baik lokal maupun asing. Sebut saja berbagai UU yang dihasilkan dari kelemahan akal manusia, nyaris seluruhnya mendatangkan mudarat bagi rakyat. Karena itu, demi mengembalikan tanah-tanah negara pada pemiliknya yang sah, negeri ini harus mengambil Islam sebagai solusi.

Sebab, hanya Islam yang mampu menjelaskan secara detail tentang hal-hal yang berkaitan dengan penguasaan dan pengusahaan, serta hukum-hukum yang berkaitan dengan pemanfaatan tanah. Hal ini penting dibahas agar para penguasa tidak sewenang-wenang memperjualbelikan tanah ibu kota kepada para korporat hanya demi dalih investasi. Berikut tentang hal-hal yang berkaitan dengan kepemilikan dan pemanfaatan tanah dalam Islam.

Pertama, tanah dalam konteks kepemilikan (properti). Islam telah mengklasifikasikan kepemilikan menjadi tiga macam, yakni kepemilikan umum, negara, dan individu. Tanah-tanah yang termasuk kepemilikan umum di antaranya hutan, sungai, danau, padang rumput, selat, pantai, tanah-tanah tambang yang memiliki deposit yang sangat besar, jalan umum, dan sebagainya. Atas tanah tersebut, seluruh kaum muslimin memiliki andil dan hak (berserikat) di dalamnya. Jika pemanfaatan tanah-tanah milik umum dapat terjadi secara alami tanpa ada pelanggaran, maka negara akan membiarkannya.

Harta-harta milik umum hanya boleh dimanfaatkan untuk kepentingan rakyat. Karena itu, pemberian hak pengusahaan hutan (HPH) kepada perusahaan swasta (akibat kebijakan privatisasi), merupakan tindakan haram dan zalim. Sebab, hal itu hanya menguntungkan segelintir orang. Jika ada hak pengusahaan hutan yang sudah terlanjur diberikan, maka negara wajib mencabutnya. Kemudian tanah itu dikelola oleh negara demi kepentingan seluruh rakyat. Kebijakan tersebut disandarkan pada hadis riwayat Abu Dawud, "Kaum muslim itu berserikat dalam tiga hal: air, padang rumput, dan api."

Sedangkan yang termasuk tanah milik negara meliputi gunung, bukit, padang pasir, tanah mati yang tidak terurus, tanah yang belum dikelola atau sudah dikelola tetapi terbengkalai, dan sebagainya. Tanah-tanah tersebut wajib dikelola oleh khalifah berdasarkan pendapat dan ijtihadnya. Atas tanah tersebut, khalifah boleh memberikannya kepada individu, juga boleh memberikan hak guna atau hak pemanfaatannya kepada seseorang atau sekelompok orang.

Adapun yang terkait tanah-tanah milik individu, maka negara akan memberikan proteksi kepada setiap individu yang memiliki tanah, yakni dengan menerbitkan sertifikat kepemilikan tanah. Hal itu dilakukan agar memudahkan pemilik tanah memanfaatkan lahannya dan melindungi dari para perampas.

Larangan Menguasai Tanah Kaum Muslim

Berdasarkan klasifikasi kepemilikan tanah tersebut, maka negara asing dilarang secara mutlak untuk menguasai tanah milik kaum muslim. Pasalnya, penguasaan tanah kaum muslim oleh swasta maupun asing sama artinya dengan memberikan jalan kepada mereka untuk menguasai dan menjajah negeri kaum muslim. Sebagaimana termaktub dalam kalam Allah Swt. surah An-Nisa [3] ayat 141, yang artinya: " … Allah tidak akan memberi jalan kepada orang kafir untuk mengalahkan orang-orang beriman."

Negara pun tidak boleh memberi kesempatan kepada orang-orang asing untuk menguasai tanah milik kaum muslim, baik secara langsung maupun tidak. Demikian pula, negara tidak boleh menjual zat tanah maupun manfaatnya kepada asing, baik atas nama individu, perusahaan, maupun negara asing. Bahkan, di dalam fikih dijelaskan bahwa orang asing yang masuk ke dalam Daulah Islam tanpa izin dan jaminan keamanan, maka harta bendanya berhak dirampas. Sementara negara tidak menjamin keselamatan jiwa mereka. Jika orang asing masuk tanpa izin dan jaminan saja terlarang, apalagi menguasai tanah kaum muslim.

Khatimah

Kelemahan, kecacatan, dan ketidaksempurnaan hukum akan terus terjadi selama manusia masih diberikan hak untuk membuat aturan. Kebijakan demi kebijakan zalim yang berpotensi membuat kedaulatan negeri ini tergadai pun akan tetap bermunculan. Jika tak segera kembali pada Islam dan menerapkan seluruh aturannya dalam kehidupan, maka pelan tetapi pasti negeri ini akan segera berpindah kepemilikan. Saatnya umat kembali pada hukum Allah Swt. yang telah terbukti mampu mewujudkan kesejahteraan dan kebaikan bagi semua manusia. Wallahu a'lam.[]

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]

Penulis Rempaka literasiku
Sartinah Seorang penulis yang bergabung di Tim Penulis Inti NarasiPost.Com dan sering memenangkan berbagai challenge bergengi yang diselenggarakan oleh NarasiPost.Com. Penulis buku solo Rempaka Literasiku dan beberapa buku Antologi dari NarasiPost Media Publisher
Previous
Memutus Rantai Generasi Sandwich
Next
Kembalilah Ibu
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram