Termasuk aksi 'politisasi agama' merupakan bentuk dari naluri mempertahankan diri agar menang dalam pertarungan pilkada. Maka, sesuatu yang wajar pada perhelatan demokrasi, apapun akan dilakukan para kontestan pemilu untuk mendapatkan suara terbanyak.
Oleh: Aprilina, SE. I (Aktivis Muslimah Peduli Umat)
NarasiPost.Com — Hari-hari menjelang pilkada, sudah menjadi tradisi para politikus praktis mengusung agama demi meraih suara rakyat. Padahal, sejatinya demokrasi memisahkan agama dari kehidupan serta menjauhkannya dari urusan politik. Bahkan, ada yang mengatakan bahwa para nabi tidak pernah mencontohkan ikut berpartisipasi dalam politik. Ketika berpolitik pun tidak boleh bawa-bawa agama. Katanya, jika bawa agama nanti bisa mengarah pada teokrasi.
Namun, hari ini justru marak 'politisasi agama' yang membahayakan. Bagaimana tidak, agama hanya dijadikan sebagai narasi yang bisa ditarik ulur sesuka hati sang pemain politik. Penyelewengan terhadap pemahaman agama dilakukan oleh para politisi demi mendapatkan kursi kekuasaan. Sungguh narasi sesat dan menyesatkan masyarakat.
Indonesia sebagai negara yang jumlah muslimnya terbesar di dunia telah menjadikan 'politisasi agama' ini sebagai jurus yang jitu untuk mengumpulkan suara terbanyak. Umat Islam pun berkali-kali dibohongi. Namun, selalu berulang setiap kali pilkada, pileg maupun pilpres. Kasihan bin menyedihkan. Sudah jatuh, tertimpa tangga pula. Suara diambil, tapi janji kampanye hanya tinggal janji. Bagaikan lagu melankolis artis zaman emak-emak kolonial, "kini janji...tinggal janji…." semua hanya mimpi.
Demokrasi dengan segala ide 'pamungkas'-nya dalam pemecahan permasalahan itu hanya sebuah ilusi. Apalagi, jika penyelesaian itu bersumber dari akal manusia yang lemah dan terbatas. Bahkan manusia dengan tingkat intelegensi yang tinggi sekalipun, tetaplah dia sebagai makhluk yang lemah. Potensi akal yang diberikan oleh Tuhan pun terbatas.
Ini menunjukkan bahwa manusia tak pernah bisa menjadi makhluk 'super' dengan segala potensinya. Manusia merupakan makhluk yang memiliki naluri dan kebutuhan jasmani. Misalnya, lapar dipuaskan dengan makan, haus dipuaskan minum, lelah dipuaskan dengan istirahat (tidur), dll. Adapun naluri, seperti mengagungkan sesuatu yang memiliki kekuatan lebih daripada dirinya adalah bentuk dari naluri beragama. Melestarikan keturunan dengan menikah adalah bentuk penyaluran naluri kasih sayang. Berusaha keras mempertahankan pendapatnya dalam diskusi ataupun perdebatan merupakan bentuk naluri mempertahankan diri.
Termasuk aksi 'politisasi agama' merupakan bentuk dari naluri mempertahankan diri agar menang dalam pertarungan pilkada. Maka, sesuatu yang wajar pada perhelatan demokrasi, apapun akan dilakukan para kontestan pemilu untuk mendapatkan suara terbanyak. Tak perduli apakah aksi yang dilakukannya benar atau salah, yang penting mendatangkan kemenangan dan manfaat. Inilah yang menjadi dasar (asas) demokrasi-kapitalisme. Memisahkan agama dari kehidupan. Namun, jika agama bisa mendatangkan manfaat untuk keberlangsungan demokrasi, maka cara itupun ditempuh.
Setelah memenangkan pertarungan dalam pemilu, umat Islam ditinggalkan. Ulama dipersekusi dan generasi mudanya dicurigai sebagai teroris. Tak hanya itu, generasi muslim dicekoki dengan berbagai propaganda penjajah, seperti 4F (food, film, fun & fashion), serta ide kebebasan yang menyesatkan. Alangkah malangnya. Urusan agamanya dianggap urusan pribadi, mau bertakwa dipersulit dan mau beribadah pun dicurigai.
Umat Islam seperti ikan yang hidup di darat. Bukan pada habitat aslinya. Memang, demokrasi-kapitalisme pada hakikatnya bukanlah sistem yang nyaman dan cocok bagi kaum muslimin. Namun, yang mengherankan justru ada sebagian muslim yang kelihatan nyaman dalam sistem ini. Bahkan mau mati-matian mempertahankannya dan menghambat perjuangan muslim yang lain untuk mengembalikan habitatnya, yaitu Khilafah Islam. Sebuah sistem pemerintahan yang cocok dan sesuai dengan manusia.
Negara khilafah merupakan perisai bagi umat yang melindungi mereka dari kezaliman Fir'aun akhir zaman. Khilafah mengurus semua permasalahan kehidupan manusia dengan aturan Sang Pencipta yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW. Karena hanya Allah SWT saja yang mengetahui segala sesuatu yang dibutuhkan oleh manusia. Bagaimana harus menjalani kehidupannya menuju ketenangan, kemakmuran dan kesejahteraan. Hanya Khilafah yang menjamin keamanan masyarakat dalam menjalankan ibadah agamanya sekalipun bukan muslim.
Keteladanan tersebut sudah pernah terjadi di masa Rasulullah SAW. Saat Rasulullah menerapkan Islam kaffah di Madinah. Penduduk Madinah ketika itu ada dari kalangan Yahudi. Mereka diberikan tempat tinggal dan wilayah untuk berkumpul serta melakukan aktivitasnya dengan aman. Begitu pula di masa-masa kekhilafahan setelah Rasulullah. Pada penaklukan Konstantinopel oleh pasukan Muhammad Al Fatih. Al Fatih tidak menghancurkan tempat ibadah orang-orang Katolik. Bahkan beliau membeli Haghia Sophia, gereja terbesar yang menjadi ikon di kota tersebut.
Khilafah pun tak akan membiarkan siapapun dari manusia melakukan 'politisasi agama' dan pelecehan terhadap agama apapun. Khilafah justru menjaga pemikiran Islam agar dapat diamalkan dan dikembangkan oleh kaum muslimin dengan prinsip-prinsip yang sesuai dengan syari'at. Salah satu diantaranya, "lakum diinukum waliyadiin" (bagimu agamamu dan bagiku agamaku). Ini hanya ada dalam Islam dan benar-benar diaplikasikan, bukan hanya teori. Inilah toleransi yang sebenarnya. Tidak ada asas manfaat. Yang ada dan wajib untuk dilaksanakan ialah kebenaran (al Haq) dan yang harus dimusnahkan ialah kesesatan (kebathilan).
Khilafah menjadikan aturan Islam sebagai pijakan dalam mengatur urusan masyarakat. Sepanjang ada kekhilafahan Islam, sejak Rasulullah SAW hijrah ke Madinah hingga runtuhnya kekhilafahan Turki-Utsmani, tidak pernah ada politisasi agama. Justru khilafah menjadikan aktivitas politik berlangsung sesuai dengan agama. Sehingga, akan mengarahkan masyarakat pada kehidupan yang benar sesuai dengan fitrahnya, menuju kemakmuran dan kesejahteraan. Hal ini pernah terjadi pada masa kekhilafahan Umar bin Abdul Aziz. Keturunan Umar bin Khattab ini berhasil menjadikan masyarakatnya sejahtera dengan tidak adanya 8 asnaf yang berhak menerima zakat. Bisa dibayangkan, suatu negara tak ada orang yang berhak menrrima zakat. Padahal wilayah kekuasaannya meliputi Arab sampai Afrika. Luar biasa, bukan?
Inilah bukti kemakmuran dan kesejahteraan yang pernah dirasakan oleh masyarakat dibawah naungan khilafah Islam. Politiknya berlangsung sesuai dengan aturan Islam dan para pejabatnya tidak pernah melakukan politisasi agama yang menyesatkan seperti yang terjadi hari ini.
Cukuplah tiga perkara yang telah diwariskan oleh Rasulullah SAW menjadi pegangan dan pedoman setiap muslim menjalani kehidupan ini agar selamat dunia dan akhirat.
Ketiga warisan tersebut adalah ; pertama, Islam yang terwujud dalam Al Qur-an dan As-Sunnah. Rasulullah SAW bersabda,
“Telah aku tinggalkan di tengah kalian dua perkara yang kalian tak akan tersesat selama kalian berpegang teguh dengan keduanya; Kitabullah dan Sunnah Nabi-Nya.” (HR Malik, Al-Muwaththa`, no 1594).
Kedua, ulama yang hakiki atau ulama pewaris para nabi (waratsatul anbiya') Rasulullah SAW bersabda :
"Sesungguhnya ulama adalah para pewaris dari para nabi. Sesungguhnya para nabi tidaklah mewariskan dinar atau dirham melainkan mewariskan ilmu. Maka barangsiapa yang mengambilnya (ilmu), maka dia telah mengambil bagian yang cukup (banyak).” (HR Tirmidzi, no 2682).
Ketiga, khilafah dengan para khalifahnya yang bertugas menerapkan Islam secara kaffah (keseluruhan) dalam segala aspek kehidupan tanpa kecuali. Beliau SAW bersabda ;
"Dahulu Bani Israil diatur hidupnya oleh para nabi, setiap seorang nabi meninggal, dia digantikan oleh nabi lainnya, dan sesungguhnya tidak ada nabi setelahku. Dan akan ada para khalifah dan jumlah mereka akan banyak.” (HR Muslim, no 1842)
Demikianlah Islam menjadi agama dan politik sebagai satu kesatuan yang utuh. Agama adalah pondasi, kekuasaan (politik) adalah penjaganya. Tanpa kekuasaan, agama akan hilang. Seperti yang terjadi hari ini. Agama tiada perannya dalam kehidupan, kecuali jika itu bermanfaat bagi kekuasaan kufur. Wallaahu 'alam bishawab []